Dilansir dari Kompas, lebih dari setengah penduduk Indonesia–sekitar 183,7 juta atau 68% populasi–belum mampu memenuhi kebutuhan gizi harian. Ternyata makanan bergizi seimbang masih sulit dijangkau oleh masyarakat Indonesia.
FROYONION.COM - Belum lama ini aku baca thread di Twitter yang bahas tentang Indonesia sedang darurat gizi seimbang. Ini mengingatkanku ke pengalaman waktu di bangku kuliah dulu. Ketika menjadi mahasiswa gizi kesehatan di FK-KMK UGM, aku sering mendengar permasalahan ini—bahwa Indonesia memiliki beban masalah gizi, sebutlah double-triple burden malnutrition, wasting, stunting, kurang energi kronis (yang semuanya termasuk masalah malnutrisi) dan memang salah satu penyebabnya adalah kurangnya asupan makanan bergizi.
Aku paham bahwa masalah-masalah ini sudah terjadi sejak dulu dan hingga sekarang pun pemerintah masih berusaha mengatasinya. Namun aku sendiri cukup kaget setelah mendengar berita bahwa sampai tahun ini, ketidakcukupan gizi masyarakat Indonesia masih berada di angka yang cukup tinggi.
Thread cuitan yang aku baca beberapa waktu lalu mendapat respon yang lumayan ramai dari warganet. Dalam cuitan tersebut dibilang kalau lebih dari setengah populasi negara ini kurang akses makan bergizi alias masih jauh di bawah standar. Kesimpulan itu didasarkan pada perbandingan harga pangan dan data pengeluaran penduduk–di mana sebagian besar uang yang dikeluarkan tak cukup membeli makanan bergizi.
Ternyata memang benar sih, saat aku cek data dari lembaga internasional World Food Programme, pada 2021, Global Hunger Index menempatkan Indonesia sebagai urutan 73 dari 116 negara dengan 22,3 juta penduduk yang tidak tercukupi kebutuhan gizinya.
Sebenarnya, kenapa sih kok Indonesia sebagai negara dengan keberagaman pangan yang tinggi, sampai lebih dari setengah populasinya loh yang tidak bisa memenuhi kebutuhan gizi? Apa benar karena daya beli masyarakat yang rendah saja? Atau ada faktor lain yang turut mendukung permasalahan ini?
BACA JUGA: POPO ‘WARPOPSKI’: MAKANAN ITU SIMBOL IBADAH DAN SEBUAH KARYA SENI
Perlu diketahui, bahwa separuh dari penduduk Indonesia yang dimaksud bukan berarti semua daerah di Indonesia memiliki kondisi daya beli yang sama. Pada nyatanya, perbedaan jumlah penduduk yang tidak mendapat akses makanan bergizi antar daerah terpaut cukup jauh.
Dilansir dari Kompas, NTT berada di angka yang paling mengkhawatirkan–78% dan Kep.Riau bisa dibilang cukup aman–23%. Meskipun begitu, bisa saja angka ini terus meningkat tergantung dari bagaimana mindset pilihan makan kita ke depannya.
Dikutip dari jurnal penelitian Plos One, ketika pendapatan rendah kita cenderung memilih makanan murah atau bahkan tidak ada pilihan sama sekali, yang membuat makanan kita itu itu saja alias tidak beragam.
Di satu sisi, meskipun pendapatannya cukup, kita malah makan semaunya dan seenaknya, karena kita jadi punya banyak pilihan makanan enak menurut versi kita sendiri.
Ditambah lagi saat ini isu yang juga sedang berkembang adalah masyarakat lebih memilih makanan bergula, lemak, atau garam tinggi yang lebih lezat di lidah dibanding sayur dan buah yang nyatanya lebih sehat.
Baik tidak punya pilihan maupun terlalu banyak pilihan, sayangnya bisa saja keduanya dikategorikan sebagai kurang bergizi. Melihat dari sudut pandang ini, aku rasa Indonesia darurat gizi bukan hanya karena berasal dari kemiskinan dan kurangnya akses dan ketersediaan pangan di masing-masing daerah–yang merupakan tanggung jawab pemerintah untuk mengatasinya. Namun, problem sebenarnya adalah edukasi mengenai pentingnya gizi seimbang yang perlu diperbaiki.
Setelah membaca ulang thread Twitter lalu membandingkan dengan beberapa berita, jurnal ilmiah, dan pengalaman studi dulu, aku sampai pada kesimpulan, mayoritas masyarakat Indonesia tidak tahu apa yang mereka makan dan kurang edukasi tentang makanan bergizi. Akibatnya apa?
Kebanyakan kita memilih yang lebih praktis dan murah–yang mana biasanya adalah junk food, daripada seporsi nasi dengan lauk dan sayuran lengkap. Padahal kalau mau ditilik kembali, banyak kok makanan bergizi yang terjangkau.
Jadi memang, ketidakcukupan gizi tidak semerta-merta akibat masyarakat tidak bisa membeli makanan, tetapi juga karena kualitas dan kuantitas makanan yang memang belum sesuai dengan acuan AKG (Angka Kecukupan Gizi) dan rekomendasi Pedoman Gizi Seimbang.
Kualitas di sini dimaksudkan sebagai kurangnya keragaman makanan yang dikonsumsi, sedangkan kuantitas diartikan sebagai pola makan yang ternyata belum sampai memenuhi kebutuhan tubuhnya. Semua hal itu dihasilkan dari penyebab utama yakni kurangnya pengetahuan masyarakat tentang makanan bergizi seimbang.
Bagaimana mau dikatakan cukup makan bergizi kalau masyarakat saja tidak tahu mana yang sehat dan mana yang tidak sehat? Yang lebih penting lagi, semisal sudah tahu pun, tidak semua orang cukup sadar untuk menerapkan hal yang ideal.
SKMI (Survei Konsumsi Makanan Individu) pun mendata dari 124.204 masyarakat Indonesia, hanya 1,57% (pada warga perkotaan) dan 1,23% (pada warga pedesaan) yang sudah menerapkan pola makan dengan kualitas dan kuantitas makanan yang baik (keragaman, proporsi, dan kecukupan baik), membuktikan masih sangat rendahnya kesadaran gizi seimbang di antara masyarakat.
Dari sini aku jadi menyimpulkan, bahwa masyarakat Indonesia tidak hanya darurat gizi karena tidak mampu saja, tetapi darurat gizi seimbang akibat kurangnya pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya makanan sehat. Melihat dari orang-orang di sekitarku pun, selama sudah makan dan sudah kenyang, tidak sampai perlu susah-susah berpikir apa makanan tadi sudah sesuai dengan kebutuhan tubuh. “Selama masih sehat, artinya nggak ada masalah dengan makananku,” begitu katanya. (*/)