Saat seisi Indonesia makin demam Korea, gue kok rasanya sudah eneg sejak lama. Itu karena gue udah ‘terinfeksi’ sejak tahun 2000-an.
FROYONION.COM - Saat ini siapa sih yang berani memproklamirkan dirinya masih 100% ‘perawan’ dan belum ‘teracuni’ sama budaya Korea?
Korean Wave ini sudah menyerang tanah air kita secara konsisten sejak tahun 2000-an. Saat itu gue sendiri jadi salah satu saksi hidup masuknya Korean Wave pas masih duduk di bangku kuliah, wara-wiri dengan menenteng handphone Nokia 3315. Era saat polyphonic ringtone, ponsel lipat dan layar warna puluhan ribu warna jenis TFT seakan jadi standar ke-keren-an seorang individu di kampus.
Gue sendiri sebagai bagian dari Geriatric Millenials sebetulnya udah merasa eneg sama Korean Wave yang kayak nggak ada abisnya ini.
Gimana nggak eneg?
Dari sejak zaman kuliah udah nonton serial “Full House” di Indosiar yang tayang tiap sore. Itu udah kayak tontonan wajib buat melepas lelah dari aktivitas kampus yang nggak ada habisnya.
Dan stasiun TV itu kayak sadar banget kalau animo pemirsa tinggi banget. Diulangilah penayangannya sebanyak beberapa kali. Sampai gue di titik apal sama tiap adegan dan lagunya Han Ji-eun (diperankan Song Hye-kyo) yang dinyanyiin di depan nenek Lee Young-jae (diperankan Rain). Lagu anak-anak bertema keluarga beruang.
Saking keranjingannya sama hal-hal yang berbau Korea ini, gue juga sempet-sempetnya daftar kursus bahasa Korea di kampung.
Jadi ceritanya pas itu gue lagi libur ngajar (gue ngajar paruh waktu di sebuah kampus swasta di kampung), dan tiba-tiba pikiran itu terbersit dalam benak: “Ahaaa! Nganggur nih, kenapa nggak daftar kursus Korea aja?”
Di situlah kegilaan mulai berawal. Kursus ini formal banget. Nggak kayak buat anak-anak mahasiswa gitu.
Usut punya usut, kursus ini dibuka emang bukan buat orang-orang yang kena sindrom Korean Wave kayak gue tapi diperuntukkan bagi para muda-mudi setempat yang bercita-cita meraup won untuk kemudian dikonversikan menjadi rupiah.
Kursus ini ternyata gratis jadi gue cuma nyiapin mental aja karena memang bener para pesertanya adalah anak-anak STM yang notabene suka nyeletuk nakal dan jahil.
Untungnya ke gue, mereka agak jinak. Nggak berani ngajakin bolos apalagi yang berbuat yang iya iya. Ternyata mereka tau gue bukan lulusan STM tapi udah S1 saat itu jadi mereka agak agak respek. Selain karena gue lebih tua juga karena pengalaman gue udah lebih banyak.
Dan di kursus ini kami diajari sama tutor yang pernah kerja di Korea sana. Kerjaannya jadi buruh pabrik di negara itu.
Basically ya mereka itu jadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia).
Tutor gue yang bernama Pak Anwar ini orangnya gigih. Ia berencana mau balik kerja lagi ke Korea sana tapi nasib berkata lain. Saat berkendara di jalan saat berlibur di Indonesia di antara masa kontrak kerja, sepeda motornya oleng dan jatuhlah dia. Satu kakinya sekarang jadi pincang sejak itu.
Makanya saat dia ditawari memberikan kursus bahasa Korea dengan didanai perusahaan rokok di kota K, ia pun menyabet kesempatan itu. Ia dirikan lembaga kursus ini dan menerima kami semua menjadi pesertanya.
Pak Anwar ini sangat terbuka dan ramah. Mau banget ngajarin di luar jam kursus. Ia pengen banget ada anak bimbingannya yang sukses di perantauan Korea nanti.
Sebagaimana seorang TKI, mental Pak Anwar sangat tangguh. Bayangin kerja di negeri yang jauh banget dari garis ekuator. Musim dingin bisa terasa tinggal di kulkas raksasa dan meski suhu turun menembus titik nol, tetep aja dia mesti pergi ke pabrik.
Kala kebosanan melanda, ia melakukan satu kegiatan agar bersemangat: “Ya solawatan aja keras-keras di dalam pabrik!”
Lha emang nggak dimarahin mandor atau pekerja lain?
Jadi di pabrik itu biasanya yang kerja manual emang kebanyakan TKI. Dan mereka bekerja dengan menggunakan mesin-mesin yang kebisingannya lumayan. Suara teriakan pun jadi tertelan sama suara mesin.
Kepada anak-anak lulusan STM tadi, Pak Anwar terus memberikan motivasi agar mereka rajin belajar bahasa Korea. Kenapa? Karena jika ingin bekerja dan bisa menabung banyak, mereka haruslah pintar dan tangkas berkomunikasi dalam bahasa Korea.
Pak Anwar sering membagikan tips menabung. Ia tahu bahwa anak muda pasti kalau pegang duit banyak dikit aja langsung tergiur untuk beli barang-barang yang bersifat tersier.
Supaya bisa menghemat budget baju, di sana ia beli jaket dan pakaian hangat second alias pre-loved. Jadi murah banget harganya dibanding yang baru.
Dia juga masak sendiri dan tinggal bersama-sama pekerja TKI lainnya agar biaya makanan dan sewa apartemen bisa ditekan serendah mungkin.
Gaji bulanan disisakan sedikit dan sisanya ditransfer ke rekening di Indonesia agar bisa untuk membiayai kebutuhan hidup istri dan anaknya.
Meski sebenernya bisa aja Pak Anwar makan babi atau menenggak soju di Korea sana, ia mengaku nggak melakukannya karena alasan keyakinan agama. Emang gue amati Pak Anwar ini tipe orang yang punya pendirian dan akar budaya dan agama yang kuat dari kecil. Gue duga didikan orang tuanya plus juga karena ia lulusan pondok pesantren pula.
Di akhir masa kursus yang berlangsung cuma 2 bulan tapi terasa panjang banget (karena kami masuk literally setiap hari kecuali Minggu selama 2 bulan itu), Pak Anwar sempet bertanya ke gue: “Memang kamu mau jadi TKI?”
“Umm, gimana ya pak?” jawab gue ragu.
“Nggak, saya tau kok kamu nggak bakal mau jadi TKI. Haha!” dia tertawa lepas ngetawain reaksi gue.
Untuk urusan belajar bahasa ini, gue emang paling rajin di kelas. Disuruh ngapalin tata bahasa, ayuk. Dikasih kuis dadakan, nggak ngeluh. Diwajibin ngapalin kosakata yang buanyak sampe kudu lembur belajarnya, siap jiwa raga. Tapi soal minat dan kemampuan untuk bekerja fisik di pabrik, hmm gue mundur teratur. Mianhae. LOL!
Kegilaan gua yang selanjutnya adalah mencoba dengan segala macam cara agar bisa dapetin hape-hape keren model slide dan clamshell ala ala punya orang Korea.
Zaman itu, ponsel-ponsel Samsung sama LG itu yang paling banyak diproduksi dengan model bodi slide dan clamshell yang entah kenapa menurut gue saat itu tampak keren absolut. No debate!
Masalahnya di pasar Indonesia saat itu dominasi Nokia, Siemens sama Sony Ericsson masih sangat kuat banget.
Bisa jadi pangsa pasar ponsel dari pabrikan Korea tuh cuma 10-15% atau kurang. Orang-orang pada ogah beli ponsel Korea karena satu alasan utama: kalo dijual lagi harganya terjun bebas. Padahal ya sama aja sih ponsel lain juga pasti turun banyak kok. Kalo menurut gue sendiri karena ketersediaan service center dan ‘onderdil’-nya di Indonesia masih langka. Para teknisi belum banyak yang menguasai perbaikan ponsel produksi Korea.
Saking ambisiusnya, gue pernah muter-muter di Semarang cuma untuk dapetin ponsel second Samsung dengan model slide yang layarnya udah warna-warni dan polyphonic.
Menurut gue, desain ponsel Korea itu lebih elegan dan unik daripada ponsel Eropa yang lebih menonjolkan kekokohan tapi desainnya itu itu aja, ngebosenin buat diliat. Ponsel-ponsel Eropa merek Nokia dan Sony Ericsson banyak yang bentuknya kayak batubata aja. Sementara ponsel Samsung dan LG ada banyak pilihan model. Ada yang bar, ada yang lipat, ada yang slide. Lebih semarak aja gitu, hyung!
Dan nyari toko yang mau jual ponsel model Korea gini hari gitu masih susah banget. Nggak sembarangan. Kebanyakan ya majang ponsel second Nokia atau Sony Ericsson yang masih jadi primadona sejuta umat kala itu.
Ada saat gue merasa sangat kesal karena merasa selera gue kok nggak selaras sama selera masyarakat kebanyakan.
“Liat aja nanti kalo hape Samsung udah merajai Indonesia. Gue yakin saat itu akan datang!” gumam gue.
Eh, ternyata kok kesampean, yeoreobun (hadirin -pen)!
Tahun 2010-an Samsung di era ponsel pintar malah sempat jadi primadona di pasar Indonesia. Modelnya yang bervariasi dari segmen low-end, mid-end sampai yang high-end membanjiri counter-counter ponsel. Mereka juga membuka service center di banyak kota di Indonesia.
Sayangnya memang nggak selamanya Samsung dan LG bisa berada di atas angin. LG sendiri mengumumkan mundur dari persaingan bisnis ponsel pintar karena nggak kuat bersaing sama pabrikan-pabrikan ponsel cerdas baru yang menawarkan ponsel murah meriah dengan fitur segambreng.
Samsung sendiri masih mencoba bertahan di posisi lima besar produsen ponsel pintar di pasar Indonesia setelah dipukul mundur sama Vivo, Oppo, Xiaomi, dan RealMe.
Gue sampe saat ini masih punya ponsel Samsung dan kayak nggak bisa move on. Itu karena gue masih suka banget sama desain ponselnya.
Kala itu nonton YouTube apalagi Netflix dengan leluasa adalah sebuah ilusi futuristik. Dengan kecepatan koneksi internet di kota kecil yang masih lebih lambat daripada siput, saya yang menjadi bagian dari rakyat Indonesia yang tidak tinggal di ibukota mesti maklum.
Setidaknya yang saya bisa lakukan untuk bisa tetap mengonsumsi konten Korea dalam dosis yang saya butuhkan demi bertahan hidup adalah melalui kepingan VCD.
Biasanya saya ke persewaan VCD di pusat kota, menyewa VCD drama seri Korea kesukaan lalu menyalin isinya. Wkwk.
Memang ini bukan perbuatan terpuji, tapi setidaknya cuma untuk koleksi pribadi. Bukan diperjualbelikan kok. Suer!
Koleksi VCD ini saya buat secara bertahap dengan berbekal sebuah software khusus. Saya unduh di laptop yang punya DVD burner dan yes, saya pun siap menyalin.
Koleksi saya dimulai dari “Memories in Bali”, “Full House”, “Beethoven Virus”, dan masih banyak lagi. Dengan tekun malam demi malam saya memasukkan VCD satu persatu dan mengecek apakah VCD itu bisa diputar lagi.
Di mana semua VCD itu sekarang? Tenang, masih tersimpan rapi.
Buntungnya, laptop saya sendiri sudah nggak ada optical drive-nya. Udah jenis ultrabook yang tipis dan ringan. Cuma bisa bertukar data lewat flash drive.
Alhasil, VCD koleksi itu mangkrak aja nggak jelas di kamar. Diputer nggak, cuma menuh-menuhin kamar doang. Tapi itulah rasanya kepuasan seorang kolektor! Nggak ada faedahnya tapi kok ya masih aja dilakuin. Gue sendiri heran sebagai pelakunya. Apalagi kalian.
Kalau kamar gue kena razia Marie Kondo, pasti gue bakal ditampol abis-abisan. Emotional attachment ama barang-barang ga faedah ini sungguh berat diputus begitu aja. Mungkin bisa menyingkirkan tapi butuh ritual khusus.
Gue bayangin Marie Kondo nyuruh gue buang semua VCD itu, menghardik gue: “Only keep things that spark joyyy!!!”
Terus gue teriakin balik: “But all these things spark the joy in me, Marie-San! Please understanddd!” (*/)