Lifestyle

POLEMIK PENDIDIKAN SEKS, KONDOM, DAN VIRGINITAS DI TENGAH MASYARAKAT

Pentingkah pendidikan seks? Kalaupun penting, apakah bisa diterima baik oleh masyarakat?

title

FROYONION.COM - Sekitar 2 hari yang lalu saya menyelesaikan sebuah buku menarik berjudul “A Feminist Manifesto: Kita Semua Harus Menjadi Feminis!” karya seorang perempuan Nigeria bernama Chimamanda Ngozi Adichie

Masih teringat dengan jelas ketika penulisnya menyatakan:  “Aku berharap mainan itu disusun berdasarkan tipe saja alih-alih gender.”

Menarik, sungguh menarik! 

Hal ini diungkapkan penulis bukan tanpa sebab. Ia merasa geram karena seorang anak perempuan dilarang memainkan helikopter, mobil-mobilan, atau mainan yang menurut masyarakat dianggap maskulin? 

Tiba-tiba sebuah ide liar melintas di kepala saya. Lantas bagaimana dengan pria?

Apakah seorang laki-laki berumur 4 atau 5 tahun diperbolehkan merengek pada ibunya dan meminta bermain boneka Barbie? 

Mungkin sebagian besar ibu akan menolak permintaan ini. Tentunya merasa bahwa permintaan anak tersebut bisa menyebabkan perilaku menyimpang (Brudos contohnya). Sehingga saya kembali berpikir, kapan waktu yang tepat bagi seorang anak mengetahui perbedaan fisik tubuhnya dengan yang lain?

Beberapa ibu mungkin mengenalkan perbedaan fisik ini sejak dini. Melalui boneka Barbie atau bahkan bacaan seks edukasi. Memberi tahu bahwa tonjolan bernama payudara itu hanya dimiliki wanita dan sebuah benda di antara selangkangan pria ialah identitas seksual yang membedakan dua gender ini. Oke, sejauh ini akan baik-baik saja apabila ibu tersebut mendahulukan pendidikan moral anak daripada stigma masyarakat.

Akan tetapi, tentunya tak sedikit yang memilih untuk diam dan justru bungkam tentang seks edukasi. Bagaimana dengan Indonesia? Sejak umur berapa seorang anak perempuan atau laki-laki diajarkan bahwa tonjolan runcing di dada milik barbie adalah tonjolan yang sama dan kelak dimiliki gadis-gadis? Bahwa pria tidak akan memiliki tonjolan sebesar milik wanita kecuali mereka melakukan operasi implan? 

Kondisi masyarakat Indonesia tumbuh dan berkembang dalam lingkaran yang sama. Mereka hidup dalam lingkungan yang membiarkan afeksi, seks, dan identitas seksual tumbuh secara mandiri. Seolah-olah ketika lahir ke dunia mereka memiliki pengetahuan jelas tentang identitas seksual dalam dirinya. Sehingga, tak ayal pengetahuan ala kadarnya membawa masalah baru di lingkup sosial kita.

Yap, hamil di luar nikah. Rasa ingin tahu, dopamin seks, sampai berbagai hal tabu yang selalu mencoba untuk ditutupi menimbulkan rasa penasaran dalam diri remaja bertambah besar. Contohnya saja saat pandemi tahun 2020. Semua siswa diharuskan melakukan pembelajaran via daring, tak terkecuali saya. Beberapa di antaranya memilih untuk melupakan sekolah, beberapa harus bekerja, dan tak sedikit berakhir di kamar, kos, maupun hotel simpangan dengan pacar. 

Salah satu data yang saya dapatkan dari Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah ialah 250% remaja hamil di bawah umur meningkat selama pandemi. Bahkan mulai dari Maret-November terdapat sekitar 19 pasangan di bawah umur menikah di KUA Pasarkliwon (Solo). Pengantin perempuan paling muda pun masih berusia 13 tahun! Data lain dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung juga mencatat terdapat 34.000 permohonan dispensasi pernikahan di bawah 19 tahun. Hal ini terhitung dari Januari sampai Juni 2020.

Sementara itu, dilansir dari BBC Indonesia, ada sekitar 500 perkawinan anak yang terjadi pada saat pandemi Covid-19 di NTB. Data ini diliput terakhir pada 25 Agustus 2020. Sehingga, paling tidak selama 6 bulan terhitung dari 2 Maret 2020, saat gelombang Covid pertama terjadi di Indonesia sampai Agustus 2020, terdapat ratusan hingga ribuan anak di seluruh Indonesia yang belajar dan ‘praktek biologi’ mandiri di rumah. 

Uniknya, salah satu pengalaman saya menjadi tolak ukur bahwa angka-angka dan kasus di atas tidaklah berarti. Pernah suatu hari, ketika hendak membelikan kado pernikahan untuk seorang teman, tanpa sengaja saya mampir ke sebuah minimarket. Kawan pria dan saya sedang asyik tertawa sembari mengambil beberapa minuman. Sesampainya kami di kasir, mata saya teralihkan pada bungkus biru, pink, dan ungu dengan rasa bubble gum di samping meja kasir. Menarik!

Ide pun terlintas di kepala untuk membelikan pasutri baru tersebut sebuah kondom bergerigi. Memang tak berfungsi, hanya saja bukankah seks juga memerlukan variasi? Sontak mbak kasir menatap mata saya. Begitu pula kawan dan seorang ibu yang mengantri di belakang. Salahkan insting saya sebagai perempuan, tetapi tatapan mereka sedikit terkejut ketika saya mengambil kondom bergerigi tersebut. 

Sama halnya dengan kawan saya satu ini. Keluar dari minimarket, ia menggerutu habis-habisan karena merasa ditatap oleh mbak kasir dengan kurang mengenakkan. Katanya, “Pasti dikira kita yang mau ngapa-ngapain!” 

Lantas kenapa? Apakah salah saya membeli kondom? Mungkin saya pakai, mungkin saya buat main, atau saya jadikan kado. Toh, tak ada seorang pun yang tahu. 

Bahkan tak ada batasan usia yang tertera di dalam bungkus kondom berwarna biru itu. Hal ini menjadi anomali di masyarakat kita. Ketika hamil di luar nikah menjadi sebuah aib, lantas pencegahan hamil pun dianggap sesuatu yang memalukan juga. Rasanya agak malu atau bahkan memang malu ketika membeli kondom di sebuah minimarket. Begitukah stigma masyarakat?

Memang, dengan akal yang berdasarkan agama, sosial, dan adat, kegiatan seks ini harus dilakukan setelah menikah di KUA, masjid, atau gereja. Namun, bayangkan saat sebuah agama yang mengajarkan dogma dan mengulang-ulang rangkaian ayat peringatan mengenai dosa zina di setiap sekolah sementara angka hamil di luar nikah stabil atau bahkan terus melonjak, maka bisa disimpulkan larangan agama memang dirasa kurang mempan bagi remaja. 

Apabila setiap pagi, bapak, ibu, bibi, sampai tetangga bergunjing tentang gadis yang hamil di luar nikah dan melarang keras putrinya tidur dengan pria demi menjaga keperawanan sekaligus nama baik keluarga, eh ndilalah angka penggerebekan remaja di kos remang-remang masih meningkat maka bisa dipastikan ocehan dan ludah yang tetua keluarkan tak lagi berpengaruh di otak remaja yang bereuforia ini. 

Keingintahuan tersebut tumbuh dan berkembang sebanding dengan bagaimana internet berjalan. Berbanding lurus dengan banyaknya video di P*rnhub sekaligus bertambah variasi posisi yang kian aneh-aneh saja hari ini. Remaja terpapar secara sengaja dan tak sengaja untuk memuaskan keingintahuan mereka mengenai seks dan dopamin saat bermain dengan kemaluan. 

Sehingga, di posisi seperti ini sudah tidak layak lagi untuk menatap jijik maupun memberikan rasa menyelidik ketika seorang remaja kedapatan membeli kondom di supermarket maupun minimarket. Setidaknya remaja tersebut sadar bahwa tindakan dan niat yang dimiliki menyebabkan bahaya bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu, untuk mengurangi dampak dari bahaya yang ditimbulkan mereka berinisiatif membeli alat pengaman. 

Saya teringat dengan sebuah berita yang cukup menggelikan tentang seorang pasangan yang menggunakan plastik kresek sebagai alat pengaman. Bayangkan, plastik yang entah mungkin daur ulang dari sampah plastik yang sama atau mungkin bungkus gorengan atau plastik apapun menyangkut di antara kelamin yang sangat sensitif?! Tentu saya sangat meragukan apakah sang pria benar-benar mencintai perempuan tersebut?

Sebegitu kebelet kah, hingga menggunakan plastik yang pastinya melukai dinding labia? Saya rasa nafsu boleh, g**lok jangan. 

Namun, hal ini terjadi bukan tanpa sebab. Melainkan karena pendidikan seks masih dianggap sebelah mata dan menganggap hanya pornografi saja yang diajarkan. Pendidikan seks tentu tidak mengajari berbagai posisi seperti missionary atau doggy, melainkan tentang bagaimana organ reproduksi dipelihara. Bagaimana tentang keputihan itu terjadi maupun menstruasi yang melebihi batas wajar. 

Ada banyak remaja yang mengalami keputihan, pola menstruasi tak wajar, benjolan di area tertentu, atau bahkan penyakit kelamin yang tidak hanya terjadi karena berhubungan seksual saja. Tentu faktor kebersihan menjadi hal paling utama. Bahkan, saya sendiri pertama kali mendapati menstruasi merasa takut setengah mati untuk berbicara kepada ibu. Kebanyakan remaja mengetahui keperawanan lebih dahulu sebelum menstruasi. Bahwa darah di celana dalam, terkategori sebagai tidak perawan. Padahal ketidakperawanan ini sungguh berbahaya bukan bagi perempuan melainkan masyarakat dan keluarga. Bahwa rasanya sangat malu dan tak pantas apabila seorang perempuan menjadi tidak perawan di bangku sekolah. 

Mereka berlomba untuk menuhankan virginitas. Bahwa malam pertama menikah, perempuan harus kesakitan luar biasa, kalau bisa sampai tak bisa jalan karena ditusuk oleh kelamin lain. Kalau bisa darah perawannya harus banyak, agar semakin menyakinkan kalau masih benar-benar tersegel dengan aman. 

Apakah begini konsep masyarakat kita yang terus bertahan dengan pola kuno? Justru terkadang saya sering kasihan terhadap perempuan yang malam pertamanya harus tersiksa. Kata mbak saya, kalau di desa semakin sulit jalan semakin oke sang pria. Sudah wanita kesusahan, yang dipuji pria pula. Sudah gila masyarakat kita! Sementara ketika wanita tidak mengeluarkan darah saat malam pertama, dicap tidak perawan dan sungguh aib rasanya.   

Mengerikannya, saya sendiri harus hidup dan bertahan di kondisi demikian. Bahwa pendidikan seks adalah pekerjaan mandiri, kondom atau alat kontrasepsi sungguh aib apabila dibeli, dan seks di luar nikah adalah dosa besar! 

Yah, kalau begini mending saya masturbasi saja. Belajar sendiri (check), no alat kontrasepsi (check), dan anti seks di luar nikah (check)! Toh, Tuhan saya bukan virginitas! (*/)


 

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Abita Jovina

Abita Jovina