Kesehatan mental di Indonesia makin banyak dibicarakan oleh pemerintah dan berbagai pihak di Indonesia. Tapi apakah itu sudah cukup?
FROYONION.COM - Kata “depresi” terdengar sangat biasa atau mungkin sebuah masalah yang sangat sepele bagi segelintir orang. Nyatanya, depresi ini adalah salah satu bagian dari kesehatan mental yang harus kita waspadai dan peduli. World Health Organization (WHO) mengatakan bahwa 79 persen kasus bunuh diri terjadi di negara yang penduduknya memiliki penghasilan yang rendah, dan hasil survei dari Global Health Data Exchange menunjukan bahwa pada tahun 2017 ada 27,3 juta penduduk di Indonesia yang mengalami masalah kejiwaan.
Indonesia juga sempat dinobatkan menjadi negara dengan jumlah pengidap gangguan jiwa tertinggi se-Asia Tenggara, yang menunjukkan bahwa masalah mengenai kesehatan mental di negara kita ini sudah sangat serius.
Lantas, kesehatan mental itu sendiri apa sih?
Kesehatan mental merupakan suatu keadaan di mana seseorang tidak mengalami perasaan bersalah terhadap dirinya sendiri, memiliki estimasi yang realistis terhadap dirinya sendiri dan dapat menerima kekurangan atau kelemahannya, kemampuan menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya, memiliki kepuasan dalam kehidupan sosialnya serta memiliki kebahagiaan dalam hidupnya menurut Pieper dan Uden (2006) dalam jurnalnya yang berjudul “Religion in Coping and Mental Health Care”.
Dalam dunia psikologi, kesehatan mental itu mencangkup tingkat emosional, psikologis, serta hubungan sosial. Hal-hal tersebut akan mempengaruhi bagaimana cara kita untuk berpikir, merasa, dan juga bertindak. Di masa sekarang, kesehatan mental masih dianggap menjadi polemik tak berujung. Banyak beberapa di antara kita menganggap bahwa kesehatan mental itu hanyalah sebuah kedok agar seseorang tersebut bisa diperhatikan oleh banyak orang.
Bagi aku, kesehatan mental adalah hal terpenting di setiap tahap kehidupan kita semua. Saat SMA, aku pernah berpikir untuk melakukan bunuh diri. Saat itu aku mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan mengekspresikan isi pikiran atau masalah aku ke orang lain (termasuk keluarga, kekasih, dan sahabat). Pikiran-pikiran negatif itu selalu bermunculan tanpa sudut pandang yang lain dan masuk begitu saja dalam pikiran aku saat itu. Dan ternyata, aku masih beruntung karena saat itu ada yang mau menyelamatkan aku dari pikiran-pikiran negatif tersebut dan membantu aku untuk nggak pernah lagi kepikiran untuk mau menyudahi hidup ini.
Jujur, dulu aku sangat sering mengecilkan masalah dan selalu mensugesti diri “kamu bisa, ngga usah sedih”, kalau ada teman yang sedang terpuruk aku selalu berkomentar dalam hati “yaelah pake dirasa” atau mungkin “lebay banget sih, masalah sepele aja pake dipikirin” (maaf ini pola pikirku dulu hehe). Tapi tenang, I learned to my lessons. So, everyday is a day to learned.
Dan orang-orang yang berpikir sama seperti aku pun bisa dibilang masih cukup banyak, hingga datang sebuah pertanyaan: “Kenapa sih, masih banyak orang Indonesia yang cenderung menabukan pembicaraan tentang isu gangguan jiwa?” atau “kenapa sih, orang-orang masih belum bisa menerima kenyataan bahwa ada anggota keluarga mereka yang hidup dalam gangguan jiwa?”.
Karena yang pertama, gangguan jiwa itu dianggap sebuah masalah yang berat. Di dalam suatu keluarga, gangguan jiwa itu merupakan sebuah aib. Banyak dari orang tua yang tidak mau melihat anaknya mengalami gangguan jiwa karena mereka merasa diri mereka juga ikut berkontribusi, sehingga mengakui hal tersebut itu cukup menyakitkan.
Akibatnya, akan muncul respon beberapa kalimat yang biasa dilontarkan seperti “Ya udah, mungkin kamu lebih giat lagi beribadahnya” atau “Kita ruqyah aja nanti deh”. Banyak dari kita yang mungkin terlihat senang atau tanpa masalah ternyata sedang mengalami keterpurukan, ada juga yang terlihat beribadah setiap hari dengan rajin dan khusyuk tetapi mengaku depresi.
Manusia merupakan makhluk yang kompleks, sifat dan emosi kita dapat berubah-ubah tanpa kita sadari. Pada konsep Person in Environment sudah dijelaskan bahwa keberadaan suatu individu pada sebuah lingkungan akan saling mempengaruhi.
Hadirnya individu akan menghasilkan kondisi yang dinamis bagi lingkungannya secara langsung maupun tidak langsung, hal ini cukup menjelaskan bagaimana seseorang yang menderita gangguan kesehatan mental merupakan hasil dari gagalnya suatu individu dalam beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya.
Salah satu faktor utama gangguan kesehatan mental itu menjadi tinggi adalah karena adanya social media. Sesimpel seperti kalau ada social media kita menjadi sering membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Individu itu sering kali merasa bahwa, apa yang sering kita lakukan di dunia maya ini tidak merefleksikan apa yang ada di luar sana.
Kenyataannya, justru apa yang sering kita lakukan di dunia maya akan merefleksikan ‘siapa kita’ sebenarnya. Memang, ketika kita masuk ke dalam dunia maya semua orang akan berlomba-lomba untuk memperlihatkan kesan “gue adalah orang yang paling berbahagia di dunia ini” atau “gue adalah orang yang paling beruntung di dunia ini” dan sebagainya. Tentunya hal seperti ini sangatlah tidak baik, karena hal-hal seperti itu akan memicu perasaan iri dalam diri, perasaan ingin menjadi seperti mereka dan menganggap kalau kehidupan di dunia maya itu seperti ajang perlombaan untuk menarik perhatian.
Kini, masalah kesehatan mental sudah mulai dibahas juga di dalam Kementerian Kesehatan yang mungkin dulu perhatiannya kurang diperhatikan. Psikolog sudah mulai masuk ke dalam puskesmas dan sudah bisa di-cover oleh BPJS. Dengan adanya program ini pemerintah berharap, pemahaman masyarakat akan semakin meningkat mengenai kesehatan mental, dan mengurangi stigma-stigma negatif mengenai kesehatan jiwa dan orang-orang dengan gangguan jiwa.
Namun realitanya, penyebaran tenaga kesehatan jiwa masih belum merata. Seandainya sudah di-cover oleh BPJS pun apakah itu sudah cukup untuk satu Indonesia? Dan jika sudah menyebar rata pun, belum tentu seluruh tenaga kesehatan jiwa yang ada di Indonesia bisa menangani itu satu per satu.
Beberapa orang yang memiliki masalah kesehatan mental yang terganggu mempunyai kesadaran untuk datang ke tenaga profesional psikolog atau psikiater, dan hal tersebut juga belum tentu bisa mencakup semuanya.
Solusi yang dapat diterapkan untuk kondisi saat ini yaitu melatih kembali orang-orang yang bukan cuma tenaga ahli profesional, tetapi juga harus mempersiapkan masyarakat untuk bisa berkontribusi dalam mengatasi atau setidaknya tidak memperparah kondisi. Hal tersebut nantinya bisa mereduksi masalah-masalah kesehatan jiwa, dampak-dampak dari masalah kesehatan jiwa dengan memberdayakan masyarakat itu sendiri.
Sekarang sudah saatnya untuk masyarakat semua untuk lebih aware lagi mengenai kesehatan mental itu sendiri. Beberapa kali aku atau kita selalu berpesan pada teman di sekitar untuk “jangan sedih”, “jangan takut”, “jangan mengeluh”.
Untuk semua teman-teman yang sedang merasa sendiri, jangan takut. Carilah tempat berlindung, carilah tempat untuk sandaran diri dan bercerita.
Bagaimanapun juga, konsep self love itu akan datang dari diri kita. Diri kita ini memang dinamis, yang akan terus menerus dibentuk dalam hidup ini. (*/)