Kadang berbuat baik nggak selalu dipandang baik. Ada kalanya perbuatan baik kita malah dipandang sebelah mata. Hal serupa juga sempat dialami sama pendiri Rumah Singgah ‘Anak Raja’ yang jadi panti jompo untuk para waria.
FROYONION.COM - Konotasi bencong, banci, atau waria seringkali dipandang negatif di kalangan masyarakat Indonesia. Sosok yang sering kita temui di pinggir jalan, berpenampilan nyentrik dengan baju dan aksesoris yang mencolok, serta dandanan yang ngejreng, entah kenapa bikin beberapa orang takut.
Nggak jarang yang takut malah kaum pria. Entah karena penampilannya atau gestur khas mereka waktu ngegodain. Selain bikin geli dan takut, ternyata citra waria di tengah masyarakat ternyata sering dipandang sebelah mata.
Untuk lingkungan yang masih mengakui gender secara normatif (laki-laki dan perempuan) eksistensi waria jelas sangat minoritas. Pengertian waria sendiri sering dipahami sebagai laki-laki yang berpenampilan sebagai perempuan. Kehadiran mereka yang beda sendiri nggak jarang ditolak mentah-mentah sama masyarakat. Jangankan sama masyarakat, sama keluarganya aja ditolak. Bahkan, perilaku kasar seperti dipukul oleh massa juga pernah mereka alami.
Selain itu, citra waria seringkali dikaitkan dengan dunia prostitusi yang juga turut menambah stigma negatif dalam masyarakat. Hal ini tentunya berdampak terhadap kehidupan mereka. Kayak nyari kerja jadi sulit, melanjutkan hidup juga terasa berat, seakan-akan pilihan yang bisa mereka ambil untuk memperjuangkan hidupnya sangat terbatas. Nggak jarang juga mereka mengidap HIV/AIDS sebagai dampak dari pekerjaan mereka.
Kalo dilihat sekilas, citra waria seakan nggak akan bisa masuk ke norma orang Indonesia. Tapi kalo kita tahu perjuangan mereka, bisa kita sadari kalo mereka sama kayak kita.
“Manusia yang sama-sama berjuang untuk hidup”
Maka dengan semangat ini, Yulianus Rettoblaut, atau yang biasa dipanggil Mami Yuli, mendirikan Rumah Singgah ‘Anak Raja’.
SEMANGAT UNTUK HIDUP BERDAMPINGAN
Rumah Singgah ‘Anak Raja’ pertama kali didirikan tahun 2010 oleh Yulianus Rettoblaut. Mami Yuli sendiri mengakui dirinya sebagai seorang waria yang sudah menjalani kehidupan sebagai waria selama lebih dari 25 tahun.
Berbekal pengalamannya sebagai waria yang sering tinggal di jalan, Yuli melihat betapa mengenaskannya kehidupan para waria untuk bertahan hidup. Nggak jarang ia melihat waria yang sudah tergolong lansia harus meninggal begitu saja di jalan dan dikuburkan secara massal karena tidak punya sanak saudara.
Di rumah singgah yang beralamat di Jl. Terogong I 34-32, Kec. Cilandak, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, saat ini sudah menampung lebih dari 800 waria dari berbagai daerah di Indonesia.
Di sinilah mereka diajarkan berbagai banyak keterampilan yang diharapkan dapat menjadi bekal bagi mereka untuk dapat bertahan hidup di tengah masyarakat. Tujuan didirikannya rumah singgah ini pun adalah untuk memberikan rumah peristirahatan bagi para waria yang sudah lanjut usia. Daripada hidup di jalan, lebih baik hidup bersama-sama.
Karena hidup bersama-sama inilah, mereka bisa saling mendukung satu sama lain dalam sisa hidup mereka. Kalo ada yang sedih, sama-sama dirangkul. Kalo ada yang bahagia, semua ikut bahagia. Kekeluargaan yang mungkin udah lama nggak mereka rasakan dari keluarga asli mereka, kembali mereka rasakan lewat Rumah Singgah ‘Anak Raja’.
Kehadiran rumah singgah khusus transpuan ini sendiri udah melawan stigma masyarakat yang memandang mereka sebelah mata. Nama ‘Anak Raja’ sendiri memiliki arti bahwa semua orang yang ada di rumah singgah adalah sama di mata Tuhan dan juga masyarakat.
Tentunya arti nama ini menjadi doa yang sama-sama diaminkan oleh semua orang terutama para transpuan di luar sana. Tapi, gimana sih pendapat masyarakat Indonesia perihal transpuan atau waria?
MEREKA DI MATA MASYARAKAT
Sejak tahun 2020, eksistensi LGBTQ di Indonesia semakin nampak. Di Indonesia sendiri, kaum LGBTQ mati-matian dihindari dan nggak jarang diperlakukan kasar sama masyarakat. Tapi akibat dari adanya kampanye global soal LGBTQ yang khas dengan bendera pelanginya, kaum LGBTQ di Indonesia semakin berani menunjukkan jati diri.
Penerimaan masyarakat pun berbeda-beda. Ada yang menerima dengan tangan terbuka, ada yang tetap menolak secara keras dengan berbagai norma sebagai acuan, namun ada juga yang berusaha netral.
Hal ini juga turut berpengaruh terhadap kehidupan sosial mereka di tengah-tengah masyarakat. Dilansir dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, ujaran kebencian terhadap kaum LGBTQ khususnya waria masih didapati di tengah masyarakat. Bahkan perlakuan-perlakuan yang memberi kesan seakan mereka bukan manusia bisa dibilang ‘normal’, saking seringnya kejadian.
Salah satu YouTuber Indonesia, Ferdian Paleka, sempat viral karena nge-prank seorang waria. Dalam videonya, diceritakan bahwa dia mau ngasih bantuan sosial ke waria itu. Tapi alih-alih kasiih bantuan beneran, kardus yang seharusnya berisi bahan-bahan makanan itu malah berisi batu bata.
Hal ini menuai banyak kecaman dari masyarakat yang akhirnya di-notice sama Komnas HAM. Hak asasi waria sebagai manusia mulai dipertanyakan di negara +62 ini. Apakah pemikiran masyarakat kita sesempit itu untuk menerima perbedaan? Atau apakah masih ada harapan?
Untuk saat ini, stigma buruk terhadap transpuan atau waria masih bisa ditemukan. Tapi adanya Rumah Singgah ‘Anak Raja’ ini merupakan suatu dobrakan untuk melawan stigma tersebut.
Melawan stigma emang nggak pernah mudah. Tapi berani berbuat baik lebih dibutuhkan dibanding mengkritik.
Kalo lo sendiri, pilih yang mana? (*/)