Dominasi TikTok makin ngadi-ngadi. Setelah mempopulerkan konten berformat video pendek yang banyak dicontek sosmed lain, sekarang mereka merambah bisnis penerbitan buku. Seperti apa jadinya?
FROYONION.COM – Siapa sangka TikTok akan jadi media sosial paling populer untuk saat ini. Padahal, beberapa tahun ke belakang, aplikasi yang menghadirkan konten video pendek ini kerap mendapat cap jelek sebagai aplikasi norak dan dipenuhi kreator alay.
Sekarang, justru format video pendek TikTok seolah jadi kiblat bagi sosial media lain. Instagram menghadirkan Reels dan YouTube meluncurkan Shorts, format konten baru di platform mereka yang mirip dengan TikTok.
BACA JUGA: EVOLUSI TIKTOK: DULU NORAK, SEKARANG JADI ‘KIBLAT’ MEDSOS
TikTok tentu tidak tinggal diam dan terus melakukan inovasi supaya bisa mempertahankan posisi mumpung masih di atas angin. Salah satu langkah ekspansi yang mereka lakukan ialah merencanakan peluncuran perusahaan penerbitan buku.
Hal ini terungkap saat ByteDance, perusahaan induk TikTok, mulai mendekati penulis buku-buku roman berstatus self-published agar bersedia merilis buku mereka melalui perusahaan penerbitan tersebut. Masih sedikit yang diketahui terkait penerbitan buku dari TikTok ini. Namun jika melihat dari fenomena BookTok yang mampu menjangkau audiens dalam jumlah besar, bukan tidak mungkin ada potensi untuk menjual buku dalam kuantitas yang fantastis.
Sebagian besar pengguna TikTok, yang jumlahnya di Amerika Serikat saja mencapai 150 juta orang, tertarik dengan buku. Tahun lalu saja, video yang ditandai dengan tagar #BookTok telah ditonton hingga 91 triliun kali. Jumlah ini jauh meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 60 triliun saja.
Eksposur yang didapat dari platform ini memang luar biasa. Salah satunya adalah Colleen Hoover, penulis novel roman populer It Ends With Us. Postingan yang ditandai dengan tagar namanya telah ditonton lebih dari 4.2 triliun kali dan buku-buku karangannya terjual lebih dari 24 juta kopi.
BACA JUGA: TIKTOK: POTENSI TREN SHOPPERTAINMENT DI INDONESIA DIPREDIKSI CAPAI US$27 MILIAR
Penjualan yang didapat dari lebih dari 100 penulis dengan pengikut BookTok yang besar telah mencapai 760 juta dollar pada 2022, atau meningkat sebesar 60 persen dibanding tahun sebelumnya. Data ini didapat dari Circana BookScan yang melakukan tracking pada penjualan percetakan. Sejauh ini sepanjang 2023, penjualan telah meningkat sebanyak 40 persen dari tahun lalu.
Tren inilah yang membuat ByteDance tampaknya percaya diri untuk meluncurkan perusahaan penerbitan buku mereka sendiri. Dinamakan 8th Note Press, pada April lalu mereka mendeskripsikan perusahaan baru ini akan menyajikan ragam layanan seputar penerbitan buku dan membuat ekosistem di mana seseorang akan dapat menemukan, membeli, membaca hingga mengulas suatu buku.
ByteDance belum menjelaskan secara rinci terkait detail penerbitan termasuk genre apa yang akan dipublikasikan dan kapan judul pertama buku rilisan mereka akan keluar. Akan tetapi, keberadaan ByteDance di bidang ini justru menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak.
Kemampuan TikTok untuk menarik perhatian pada buku dan ditunjang dengan besarnya basis data yang mereka punya akan membuat ByteDance mampu menaikkan pamor penulis di bawah perusahaan penerbitannya. Hal ini dinilai akan membuat BookTok tidak lagi organik, sesuatu yang memancing rasa khawatir dari pengguna TikTok serta para penulis itu sendiri.
Perusahaan juga akan sangat mungkin menempatkan penerbit tradisional dan penulis self-published menjadi kian terpinggirkan. Walaupun mereka menggunakan TikTok untuk mempromosikan bukunya, penerbit akan merasa kesulitan dalam membuat video buku yang viral karena pengguna cenderung menolak sesuatu yang terasa dibuat-buat.
Kekhawatiran lain yang muncul adalah bahwa nantinya ByteDance akan menggunakan kekuatan mereka untuk proyek-proyeknya sendiri dan membuat buku-buku dari penerbit lain menjadi lebih sulit untuk viral secara organik. Merespon kekhawatiran ini, pihak perusahaan mengatakan bahwa 8th Note Press adalah entitas yang sepenuhnya terpisah dari TikTok.
BACA JUGA: SEMPAT VIRAL DI TIKTOK, APA ITU ‘LUCKY GIRL SYNDROME’?
ByteDance juga mengatakan bahwa mereka tidak akan berkompetisi dengan penerbit tradisional dan percaya bahwa penawaran mereka terbilang kompetitif sesuai standar industri. Genre yang difokuskan ByteDance untuk saat ini masih berkutat di seputaran fantasi, roman dan misteri yang memang populer di platform TikTok.
Salah seorang penulis yang sempat ditawari kerjasama oleh ByteDance ialah Tricia O’Malley. Ia telah menulis 40 buku roman secara self-published dan mendapat penawaran pada April lalu dari ByteDance untuk membeli dua hak bukunya. Perjanjian itu termasuk kampanye pemasaran di sosial media, royalti dan pembayaran 3500 dollar per buku.
Namun, jumlah uang itu dikatakan O’Malley lebih sedikit dari apa yang bisa didapat per judul tiap bulan. Walau menolak penawaran tersebut, O’Malley mengaku sempat merasa tergiur. Bagaimanapun juga, realitanya BookTok memang terbukti bisa menjual banyak buku.
Bisa atau tidaknya ByteDance menguasai pasar penerbitan buku sebenarnya juga disangsikan beberapa pihak. Pasalnya, penerbitan termasuk dalam bisnis yang dijalankan atas dasar hubungan antar berbagai pihak. Percetakan, misalnya, masih menguasai 70 persen pendapatan penerbit. Perusahaan penerbitan baru harus memiliki kemampuan percetakan, distribusi serta menjalin hubungan baik dengan penjual buku.
Belum jelas akan seperti apa distribusi percetakan 8th Note Press nanti dan apakah mereka akan menjual buku-bukunya melalui toko konvensional. Dalam email yang diulas The New York Times, ByteDance mengatakan pada penulis bahwa mereka merencanakan untuk fokus pada buku digital dengan edisi cetak terbatas sesuai permintaan sampai TikTok merilis toko retail daringnya sendiri.
Penerbit dan editor juga penasaran apakah ByteDance akan dapat mendeteksi penulis self-published yang viral saat mereka mulai trending untuk diberikan penawaran kerjasama sebelum menjadi target penerbit lain. Lebih jauh, veteran di industri ini mengatakan bahwa ByteDance akan tetap menemui tantangan yang sama dengan penerbit tradisional.
Pembaca buku cenderung berubah-ubah, dan sebuah video viral tidak akan secara serta merta menciptakan sebuah blockbuster jika buku itu sendiri tidak menarik. ByteDance boleh saja mendapat lebih banyak views, tapi bukan jaminan banyaknya pengunjung akan berbanding lurus dengan jumlah penjualan.
Pada akhirnya, bisnis itu tentang cuan. Bukan tentang mendapat hits, masuk FYP dan ditonton jutaan orang, tapi bagaimana caranya membuat para pembaca untuk membeli bukunya. Tantangan inilah yang akan dihadapi ByteDance nantinya, dan akan menarik untuk disimak bagaimana kelanjutan kisahnya. (*/)