Lifestyle

MENYOAL STIGMA LEMAHNYA IMAN SEBAGAI PENYEBAB ORANG BUNUH DIRI

Jika bunuh diri hanya perkara lemahnya iman, lantas bagaimana dengan orang yang bunuh diri sambil mengatasnamakan Iman?

title

FROYONION.COM - Akhir-akhir ini lagi viral di medsos/Twitter mengenai seorang mahasiswi meninggal secara tragis dengan cara bunuh diri di samping makam ayahnya. Awalnya gue turut sedih dan prihatin melihat berita tersebut di Twitter, hingga akhirnya gue menemukan satu cuitan yang mengubah emosi gue dari sedih menjadi geram. Cuitan tersebut kurang lebihnya begini :

"Dia bunuh diri karena lemah Iman aja, gitu aja bunuh diri".

Cuitan ini menunjukkan bahwa masih ada orang yang salah kaprah terhadap persoalan bunuh diri. Yang menganggap bahwa tindakan  bunuh diri merupakan konsekuensi dari perkara lemahnya iman yang membuat seseorang mengakhiri penderitaannya dengan mengakhiri hidupnya.

Jika memang bunuh diri akibat dari renggangnya relasi individu dengan Tuhan, maka bagaimana dengan mereka yang Atheis, tidak mempercayai tuhan alias gak punya iman, namun tetep hidup dengan bahagia dan terlelap dalam dunianya.

DEPRESI DAN LEMAHNYA IMAN?

Tanpa mempelajari ilmu psikolog pun semua orang pasti tahu, kalo tindakan bunuh diri pasti bermula dari suatu masalah hingga kemudian menjadi depresi dan berakhir dengan membunuh diri sendiri. Maka yang menjadi pertanyaan, apakah depresi juga karena iman yang lemah? 

Belum tentu. Perkara lemahnya iman tidak bisa dikambing hitam kan atas masalah depresi. Karena banyak juga kok orang yang beragama dengan iman yang kokoh namun masih merasakan depresi. Menurut gua depresi itu langsung berhubungan dengan masalah kehidupan. Gak ada kaitannya dengan iman.

Karena sebetulnya depresi itu lahir dari suatu masalah yang menggerogoti si korban. Gua kasih ilustrasi, ketika elu rajin ibadah sana sini, ekonomi mapan, dan semua kebutuhan jasmani maupun rohani lu terpenuhi. Namun tiba-tiba suatu hari, elu difitnah karena udah membunuh orang lain, dan elu benar-benar tidak diberi keadilan di dunia ini. Dimana ga ada seorang pun yang mempercayai elu atau ada yang mendukung.

Karena semakin ngerasa down, lu nyoba beribadah dengan harapan keajaiban datang. Lu kepengen orang-orang mempercayai lu hingga pada akhirnya harapan demi harapan tersebut mulai menghilang.

Disaat lu ngerasa sendirian hidup di dunia yang begitu kejam. Depresi mulai menggerogoti isi kepala lu, kenapa dunia terlalu jahat? kenapa orang-orang di luar sana betul-betul menyeramkan, lu mau cerita ke orang, tapi cuman disuruh perbanyak doa, syukur, tabah tanpa ada orang yang merangkul dan dengerin lika-liku permasalahan lu. Gua yakin, meskipun elu lolos dan percobaan bunuh diripun, lu tetap kehilangan karakter diri sendiri karena udah hancur dan rusak akibat depresi, maka ga heran banyak orang yang tidak waras karena masalah ini. 

TIDAK ADA KAITAN ANTARA LEMAHNYA IMAN DENGAN BUNUH DIRI

Gua mau kasih cerita dari pengalaman gua yang memperjelas hubungan aku dan dia bahwa tidak adanya kaitan antara iman dengan depresi.  Gua punya temen yang memang masalah hidupnya begitu berat, terlahir sebagai anak broken home. Tinggal bareng pamannya, namun dia rajin banget shalat, ditambah ia lulusan pondok juga. 

Hingga suatu ketika ia pernah curhat ke gua tentang masalah yang ia hadapin, awalnya sih dia curhat sambil nangis aja, ia curhat tentang ayah dan ibunya yang sama sekali gak peduli ama dia. Jangankan ketemu atau ngobrol, nelfon aja gak pernah diangkat.

Saat temen gua cerita tentang ketidakpedulian orang tuanya, volume tangisan temen gua semakin gak terkendali, air matanya mulai kemana-mana, gerak-geriknya mulai gak beraturan, omongannya mulai ngelantur kesana-kemari hingga berakhir kepada kalimat "gua pengen bunuh diri, bye!".

Sontak gua langsung kaget ditambah pengen nangis juga. Tapi gua coba buat tenangin temen gua, gua suruh dia minum dulu, terus biarin dia nangis sekenceng-kencengnya. Sekitar 5 menit kemudian, temen gua mulai tenang, meskipun sekali-kali masih ngirup ingusnya yang mau keluar.

Setelah itu gua nanyain ke dia, "pernah cerita masalah ini ke orang lain ga, selain gua" Terus temen gua jawab, "gua pernah cerita masalah ini ke ustad gua yang di pondok, dia nyuruh gua sabar, perbanyak doa dan ibadah, dan gua udah ngelakuin itu tapi tetep aja perasaan ini ga terbendung".

Gua gak nanyain apakah ia udah shalat secara khusyu' atau enggak, karena gua mikir sepertinya gak ada yang salah antara ia dengan Tuhan, yang masalah ialah relasinya dengan diri sendiri dan orang sekitarnya. Kemudian gua langsung ngerangkul dia, gua bilangin kalo elu udah kuat ngejalanin ini semua, gak semua orang bisa menghadapi masalah beginian termasuk diri gua sendiri.

Gua nyoba buat jadi social support-nya, gua coba kembali ngingetin tentang kelebihannya, memahami situasi dan sudut pandangnya, bahkan permasalahan seremeh-temeh pun gua respon dan denger secara hati-hati hingga akhirnya selepas itu dia mulai konsul ke psikolog, dan hampir setiap hari gua ama dia selalu bertukar kabar hingga semuanya mulai membaik. 

Karena orang-orang yang semacam ini  lebih ingin dan butuh banget untuk didengerin dan dirangkul. Sayangnya kebanyakan orang gak memahami akan hal itu. Hanya menyarankan untuk sekedar tabah, bersabar, memperbanyak syukur dan menguatkan Iman dinilai kurang tepat dalam menghadapi kondisi seperti itu. 

TAK BERKAITAN

Jujur aja, gua meskipun ngerasa iman gua masih kuat, gua tetep pernah depresi. Memang saat gua depresi gua tetep nyoba ibadah dan sejenisnya. Namun tetep aja ada yang dirasa mengganjal, karena depresi kita ga ada kaitannya dengan Tuhan melainkan dengan manusia yang bersangkutan, maka kita juga butuh rangkulan nyata dari sekitar kita.

So, gua perjelas lagi bahwa enggak ada kaitan yang kuat antara iman dengan depresi dan bunuh diri. Sebab banyak dari  mereka yang selalu beribadah hingga jidatnya menghitam, namun dengan Iman yang kokoh dan harapan bahwa ia akan mendapatkan surga setelahnya, tanpa perasaan ragu, ia meledakkan dirinya dengan bom. Bukankah itu merupakan tindakan bunuh diri yang mengatasnamakan Iman? (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Bayu Dewantara

Mahasiswa UI(n) Jakarta, Content Writer, Civillion, Penulis buku antologi "Jangan Bandingkan Diriku" dan "Kumpulan Esai Tafsir Progresif"