
Belakangan ramai di TikTok konten tes kejujuran yang meresahkan, ngapain sih ngetes-ngetes orang begitu ya?
FROYONION.COM - Belakangan ini jagat media sosial diramaikan dengan konten social experiment tes kejujuran yang dilakukan banyak kreator. Kontennya beragam, bisa mereka seolah menjatuhkan uang secara tidak sengaja, meninggalkan handphone, ataupun barang berharga lainnya.
Barang atau uang tersebut seolah jatuh di dekat mereka yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Setelah itu, nantinya kamera akan menyorot aksi apa yang dilakukan oleh target tersebut. Kebanyakan, dari mereka mengambil uang atau barang tersebut.
Tak lama kemudian nih, sang kreator yang sudah mempersiapkan kamera tersembunyi datang kembali ke tempat kejadian perkara (TKP). Dia kemudian menanyakan target ihwal barang berharga yang ditinggalkan atau dijatuhkan tersebut.
‘Ini uang punya bapak?’
‘Bapak lihat handphone saya kah?’
Biasanya, target akan berkilah dan seolah tidak tahu menahu. Si kreator kemudian bakal pergi dan melanjutkan kontennya. Biasanya bahasanya bakal seolah memojokkan target karena dinilai tak jujur.
BACA JUGA: KONTROVERSI FLKS TIKTOK: EMANG EFEKTIF BUAT KONTEN LO FYP?
Konten tersebut pun seringkali berpolemik. Kebanyakan orang pasti bakal bertanya-tanya, ngapain dia menciptakan situasi di mana orang yang membutuhkan harus tergiur melakukan hal yang nggak jujur.
Lebih menyedihkannya lagi, semua itu dikondisikan sang kreator untuk kepentingan konten belaka.
Dalam perspektif psikologi, ternyata banyak alasan yang bisa mengidentifikasi kenapa seseorang bisa menjadi tak jujur dalam kondisi tertentu.
Menurut Psikolog Klinis dari Universitas Indonesia Kasandra Putranto, hal pertama dari ketidakjujuran itu sangat lekat dengan kebutuhan individu untuk mendapat suatu keuntungan. Secara ilmiah, hal tersebut bisa diidentifikasi sebagai Need-Gain Theory.
Kasandra menjelaskan kalau ada penelitian yang dilakukan oleh Mazar, Amir, dan Ariely (2008) menunjukkan jika orang cenderung nggak akan jujur ketika dihadapkan pada kesempatan untuk mendapat keuntungan pribadi.
“Teori ini menekankan bahwa perilaku ketidakjujuran dipengaruhi oleh kebutuhan individu untuk memperoleh keuntungan pribadi atau menghindari kerugian. Menurut teori ini, ketidakjujuran muncul ketika individu merasa bahwa dengan tidak jujur, mereka dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar daripada dengan berperilaku jujur,” jelas Kasandra saat berbincang dengan tim Froyonion.com, Jumat (16/6).
Selain itu, ada juga yang namanya Self-Maintenance Theory. Dari sudut pandang teori ini, digambarkan kalau manusia itu bisa memperlihatkan sisi ketidak jujurannya untuk memelihara atau melindungi harga dirinya sebagai individu.
Contohnya, kalian ingin mempertahankan citra positif tentang diri sendiri ataupun menghindari stigma negatif yang dilabeli orang lain kepada dirimu. Ketidakjujuran bisa seolah menjadi mekanisme otomatis yang langsung kalian lakukan ketika ada situasi yang mengancam citra tersebut.
Tapi, harus dicatat nih kalau kedua teori itu bisa terjadi karena dipengaruhi oleh berbagai faktor. Nggak ada faktor tunggal yang akan mempengaruhi seseorang untuk bertindak tidak jujur.
Kalau dalam kasus kreator yang bikin tes kejujuran, situasi ekonomi target yang ditujunya bukan menjadi satu-satu alasan mereka bisa menjadi nggak jujur, dalam situasi tersebut.
“Perilaku tersebut dipengaruhi oleh kombinasi faktor pribadi, situasional, dan sosial. Tingkat perekonomian seseorang bukan satu-satunya faktor yang menentukan perilaku ketidakjujuran,” jelas Kasandra.
Banyak penelitian dan contoh kasus yang akhirnya menunjukkan jika orang-orang dari kalangan ekonomi tinggi yang juga pada akhirnya tergiur untuk melakukan ketidakjujuran.
BACA JUGA: SEBERAPA PENTINGKAH PENGGUNAAN CONTENT DAN TRIGGER WARNING PADA SUATU KONTEN SENSITIF?
Makanya sebenarnya, kalau kita kembali merefleksikan konten tes kejujuran itu, pemilihan target yang notabene dari kalangan ekonomi bawah saja sudah menjadi sebuah tanda tanya besar yang seharusnya nggak dilakukan sama kreator.
Ruang untuk menciptakan ketidakjujuran sudah seharusnya nggak dibentuk dari awal. Coba kalian bayangkan kalau memang ada kondisi yang memungkinkan para pejabat kita untuk melakukan korupsi.
Ilustrasi tersebut sama saja dengan konten yang dibuat dan ramai berseliweran di TikTok. Selain ketidakjujuran itu memang menjadi sifat dasar manusia yang nggak bisa dielakan, kesempatan juga menjadi faktor yang sangat menentukan.
Kalau kata Bang Napi: “Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan.”
Menurut Kasandra pun, konten tes kejujuran pun nantinya bisa menciptakan hubungan sosial yang tidak baik. Implikasi lebih jauhnya lagi, lingkungan masyarakat kita nantinya akan menjadi mudah skeptis dengan kondisi yang terjadi.
Ada beberapa alasan menurut Kasandra, kenapa konten tes ketidakjujuran nggak seharusnya disebarkan:
“Seharusnya orang-orang tidak berpaku dalam membuat konten tes kejujuran dan tidak menciptakan ruang untuk ketidakjujuran. Kejujuran adalah nilai moral yang penting dan memainkan peran kunci dalam membangun hubungan sosial yang sehat, membangun etika dan tanggung jawab, serta memperkaya kualitas pribadi seseorang,” tandas Kasandra mengakhiri perbincangan kami. (*/)
BACA JUGA: MENJADI KREATOR KONTEN YANG DISUKAI BRAND