Ada yang lengser dari tahtanya sebagai raja, ada yang terancam bangkrut, bahkan ada yang sudah sejak lama gulung tikar. Alasannya sama: nggak mau inovasi!
FROYONION.COM - Persaingan bisnis di hampir segala bidang memang nggak ada habisnya. Perkembangan zaman membuat konsumen senantiasa menginginkan sesuatu yang serba terbaru, sementara produsen juga nggak berhenti berlomba-lomba berinovasi guna mengeluarkan produk paling anyar yang diklaim bisa memenuhi semua kebutuhan target pasarnya.
Inovasi memang memegang peranan kunci dalam keberlanjutan bisnis. Kalau produsen nggak mau mengikuti perkembangan zaman dan stuck di situ-situ aja, siap-siap dibalap pesaing yang sudah lebih dulu keluar dari zona nyaman.
Ada beberapa contoh brand yang dulunya sempat merajai pasar dan disebut sebagai brand sejuta umat, namun kegagalan dalam berinovasi bikin nama mereka kini nyaris nggak terdengar lagi. Kalian mungkin pernah dengar nama brand-brand di bawah ini atau bahkan menggunakan mereka. Tapi sekarang, keberadaan mereka di pasaran udah hampir nggak terdeteksi.
BACA JUGA: 5 BRAND MANCA YANG SERING SALAH DIKIRA BUATAN LOKAL
Merk wadah makanan plastik favorit ibu-ibu ini pernah mencapai masa jayanya di masa lalu. Penjualannya terbilang eksklusif karena melalui reseller resmi, bukan dijual bebas di toko-toko. Tiap reseller biasanya akan memiliki katalog lengkap produk untuk ditawarkan pada calon pembeli.
“Siap-siap dicoret dari KK kalau ngilangin Tupperware emak,” jokes ini pasti familiar buat kalian. Maklum, harganya memang nggak bisa dibilang murah. Tapi, harga yang dipasang berbanding lurus dengan kualitas dan jaminan garansi kerusakan seumur hidup yang ditawarkan.
Saat pandemi COVID-19 melanda dan kebanyakan orang berdiam di rumah saja, penjualan Tupperware mengalami penurunan hingga 95%. Saham perusahaan asal Amerika ini juga dikabarkan anjlok hampir separonya. Para investor bahkan telah diberitahu bahwa ada keraguan substansial dari pihak perusahaan akan kemampuan mereka dalam melanjutkan usahanya.
Alasan lain perusahaan ikonik ini berada di ambang kebangkrutan bukan semata karena efek pandemi. Kurangnya inovasi membuat Tupperware tertinggal jauh dari pesaing-pesaingnya. Dari segi harga misalnya, sudah banyak pesaing terdekatnya yang menawarkan produk serupa dengan banderol lebih terjangkau.
Apalagi di era sekarang, Tupperware udah nggak bisa lagi menjual eksklusifitas mereka. Produk Tupperware yang hanya bisa dibeli melalui reseller akan cukup menyulitkan konsumen di tengah gempuran e-commerce hingga social commerce yang lebih digandrungi akhir-akhir ini.
Tambahan lagi, Tupperware terlihat masih nyaman dengan desain polosan dari produk-produk unggulan mereka. Sementara di pasaran, makin bertebaran wadah makanan dan minuman plastik dengan desain yang lebih beragam dan bahkan bisa di-custom.
Praktis, banyak konsumen terutama dari kalangan anak-anak muda yang memutuskan untuk beralih menggunakan produk lain.
BACA JUGA:
SEDERET BRAND INI TARGET PASARNYA PEREMPUAN, PADAHAL FOUNDERNYA LAKI-LAKI
Jauh sebelum persaingan ketat Samsung vs iPhone, ada brand Nokia yang sempat jadi “HP sejuta umat” di tahun 2000an. Kelahiran 1980an hingga 1990an dijamin pernah menggunakan ponsel merk ini sekali seumur hidupnya.
Bukan tanpa alasan, produsen asal Finlandia ini memang terkenal inovatif banget di masa jayanya. Contohnya dari bentuk ponselnya. Di saat pabrikan lain setia dengan bentuk body ponsel batangan, Nokia justru terus berinovasi menciptakan bentuk ponsel lain yang unik dan menarik.
Masih ingat Nokia N-Gage? Bentuknya dibikin mirip konsol game biar selaras dengan tujuannya sebagai ponsel gaming. Ada lagi Nokia 7600 dengan bentuk seperti ketupat, Nokia 5700 yang bagian bawahnya bisa diputar hingga Nokia N93 dengan ragam mode lipatan layar.
Sayang, inovasi Nokia berhenti di body ponsel saja. Mereka nggak mau mengikuti perkembangan zaman saat sistem operasi Android mulai masuk ke pasar. Dengan gagah, Nokia tetap mempertahankan OS Symbian dalam ponsel-ponselnya.
Alhasil, konsumen yang menemukan bahwa OS Android lebih user-friendly perlahan mulai meninggalkan Nokia. Peta persaingan ponsel di pasaran pun bergeser dari Nokia sebagai raja menjadi Samsung vs iPhone hingga merk-merk Cina seperti Xiaomi, Oppo dan Vivo.
Nokia memang belum sepenuhnya menghilang dari pasaran. Tahun lalu mereka sempat mengeluarkan smartphone terbarunya yang diberi nama Nokia C31. Sayang, kehadiran produk ini juga kurang diminati pasar. Pasalnya, ia hanya dibekali chipset Unisoc SC9863A yang merupakan keluaran 2018 alias lima tahun lalu.
Senada dengan Nokia, BlackBerry juga pernah mengalami masa jayanya di dunia gadget. Lebih tepatnya di tahun 2010an, BlackBerry tengah berada di puncak kesuksesan sebagai ponsel yang mempelopori keyboard QWERTY.
Keunggulan utama BlackBerry yang nggak dimiliki ponsel lain kala itu adalah aplikasi pesan instan BlackBerry Messenger (BBM). Aplikasi ini secara eksklusif hanya tersedia di perangkat BlackBerry dan hanya dapat digunakan oleh sesama pengguna BlackBerry.
BACA JUGA: STRATEGI JITU BRAND-BRAND INDONESIA MEMANFAATKAN KEKALAHAN MU
Namun, eksklusifitas ini berakhir saat aplikasi BBM tersedia di PlayStore dan ponsel dengan OS Android juga bisa menggunakannya. Alhasil, pamor BlackBerry mulai mengalami penurunan. BBM juga akhirnya mulai ditinggalkan pengguna setelah munculnya aplikasi pesan instan lain seperti WhatsApp yang dinilai lebih simple.
Terlebih, BlackBerry OS juga gagal membendung perkembangan sistem operasi Android dan iOS. BlackBerry OS dinilai nggak punya cukup banyak fitur serta teknologi serta nggak memungkinkan pengembang untuk membangun aplikasinya dalam skala besar.
Kalah saing, BBM dinyatakan tamat pada 2019 lalu. Pada 4 Januari 2021, BlackBerry akhirnya mengumumkan bahwa BlackBerry OS nggak akan bisa lagi digunakan secara optimal. Pembaruan untuk sistem operasi ini sendiri terakhir dilakukan pada 2013 lalu.
Gagal berinovasi dan nggak mau menangkap peluang baru juga jadi alasan perusahaan pelopor film fotografi Kodak mengalami kebangkrutan. Perusahaan ini sempat mencapai masa jayanya di tahun 1990an. Kala itu, produk kamera manual serta film seluloid mereka merajai pasar karena kemampuannya dalam mengabadikan momen.
Namun, prosesnya memang cukup rumit. Pengguna harus menyiapkan kamera serta rol film terlebih dahulu. Kemudian untuk melihat hasilnya harus melalui tahapan cuci cetak. Semua ini tentu sangat makan waktu.
Seiring perkembangan zaman, muncul kamera digital dengan pengoperasian yang lebih mudah dan hasilnya bisa langsung dilihat saat itu juga. Proses pencetakan gambar juga lebih cepat. Kamera analog dari Kodak dinilai ketinggalan zaman dan nggak lagi banyak digunakan.
Kodak hanya bisa menyaksikan saat pesaing-pesaing mereka seperti Canon dan Nikon berjaya dengan produk-produk kamera digitalnya. Pada 2012 lalu Kodak akhirnya dinyatakan resmi bangkrut.
Kegagalan dalam berinovasi menyebabkan empat brand yang produknya sempat jadi incaran sejuta umat itu kini bangkrut dan hampir nggak terdengar lagi. Perusahaan harus terus melakukan inovasi dari hulu ke hilir guna mempertahankan pasar.
Apalagi di era globalisasi seperti sekarang ini. Salah satu bentuk inovasi yang bisa dilakukan ialah mulai terjun ke dunia digital. Mau nggak mau, suka nggak suka, memang kita harus terbuka dan mampu untuk beradaptasi supaya nggak mudah tersingkirkan. (*/)