Lifestyle

FASILITAS DI TEMPAT UMUM: PERLU DIBAYAR NGGAK SIH?

Dari toilet di SPBU, sampe ‘Pak Ogah’ di jalanan, beberapa ‘fasilitas’ di tempat umum ini emang nggak semestinya kita bayar, Civs. Cekidot!

title

FROYONION.COM - Beberapa waktu terakhir, lagi ada perbincangan menarik di medsos tentang Erick Thohir yang ‘nyemprot’ Pertamina karena toilet yang ada di SPBU ternyata dipungut biaya. Menteri BUMN ini kaget pas lagi berkunjung ke salah satu SPBU yang ternyata toiletnya kudu bayar. Orang-orang yang mau pake fasilitas itu dikenakan biaya Rp2.000 - 4.000 per orang.

Tentunya berita ini memicu opini dari banyak orang. Banyak yang berterima kasih sama Pak Menteri karena udah speak up, terutama orang-orang yang demen buang air dan mandi di SPBU.

Tapi nggak cuma toilet di SPBU aja yang semestinya ‘nggak perlu’ lo bayar. Ada beberapa fasilitas lain di tempat umum yang selama ini lo sering bayar tapi seharusnya nggak?

ABANG TUKANG PARKIR DI MINIMARKET

Yang pertama pasti sering banget dijumpai dan nyesek kalo dirasakan. Apa lagi kalo bukan abang tukang parkir minimarket yang kedatangannya sulit untuk dirasakan, tapi genggaman tangannya menarik kuat di handle belakang motor.

Ada hal yang perlu lo tau tentang sistem parkir yang ada di tempat umum. Menurut Ketua Indonesia Parking Association (IPA), Rio Octaviano, untuk kasus parkir di minimarket, perizinannya dibagi jadi dua, yaitu perizinan yang mengutip dan tidak mengutip.

Mudahnya, kalo perizinan ‘mengutip’ tuh tandanya konsumen harus membayar biaya parkir, sistemnya jelas, ada karcis atau tanda bukti, terus jelas keamanannya. Sedangkan kalo perizinan tidak mengutip, artinya konsumen dianjurkan untuk nggak membayar biaya parkir, meskipun ada abang-abang tukang parkirnya sekalipun. Biasanya perizinan tidak mengutip ini ciri-cirinya si konsumen nggak dikasih tanda bukti atau karcis resmi.

Nah, terlepas dari ada atau nggaknya karcis parkir, kalo memang abang-abang tukang parkirnya baik, mau ngebantu kendaraan keluar masuk parkiran sih menurut gue nggak masalah untuk kita bayar yak. Terkadang gue pribadi pun suka bingung kenapa pas parkir motor nggak ada siapa-siapa, tapi pas mau keluar parkir tiba-tiba suka ada ninja di belakang motor.

Kalo udah begitu sih mau nggak mau kita ngasih uang, atau terkadang pura-pura ‘bego’ dan bilang “Maaf bang, barang yang saya cari nggak ada di minimarket ini” dan langsung ngeng cabut secepatnya dari tempat itu (sering terjadi namun jangan ditiru yak, Civs).

SUPELTAS DI PEREMPATAN JALAN

Nah, kalo yang satu ini biasanya berlokasi di putaran jalan raya atau sekitar perempatan jalan yang nggak ada lampu merahnya, sering disebut ‘Pak Ogah’ atau ‘Polisi Cepek’ kalo di daerah asal gue.

Rupa-rupanya, gerombolan ‘Pak Ogah’ ini disebut sebagai Supeltas (Sukarelawan Pengatur Lalu Lintas). Pemberdayaan Supeltas ini didasari dalam UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Di dalam pasal 256, disebutkan kalo “Masyarakat berhak untuk berperan serta dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.”. Sepengetahuan gue, kalo di DKI Jakarta, jumlah dan titik operasi Supeltas udah didata, dan penerapannya balik lagi ke Perda di masing-masing daerah.

Seperti namanya, Supeltas ini beroperasi secara sukarela dan (seharusnya) nggak memungut biaya apapun ke pengendara yang memakai jasanya di jalanan. Supeltas juga dilengkapi rompi khusus yang menandakan kalo mereka tuh memang diberdayakan sama aparat berwenang. Meskipun biasanya pengendara motor memang nggak pernah bayar kalo dibantu sama Supeltas, pengendara mobil juga nggak semestinya kasih uang ke mereka.

Dari salah satu sumber yang gue baca, menyatakan “Pada dasarnya setiap orang atau sekelompok orang yang tidak memiliki kewenangan dilarang melakukan pengaturan lalu lintas pada persimpangan jalan, tikungan atau putaran jalan dengan maksud mendapatkan imbalan jasa. Kegiatan pengaturan lalu lintas ini dilakukan oleh orang perorang atau sekelompok orang yang terorganisir dengan maksud memperoleh imbalan uang.”

Oleh karena itu, nggak seharusnya pengendara memberi imbalan ke sekelompok orang yang terorganisir (Supeltas) karena mereka memang nggak memiliki kewenangan untuk memperoleh imbalan uang.

Di sisi lain, dari tahun 2017, wacana untuk memberi honor bagi para Supeltas ini juga udah diusulkan sama Direktorat  Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Civs. Gue memandang hal ini sebagai salah satu cara untuk mencegah adanya ‘pungli’ yang dilakukan sama ‘Pak Ogah’ di jalan. Tapi, sampe detik ini gue masih belum bisa menemukan fakta yang mengatakan bahwa mereka sudah ‘disejahterakan’ sama pemerintah.

Mungkin berawal dari ini, kita masih sering banget ketemu sama ‘Pak Ogah’ yang nggak pake rompi khusus, dan terkadang sering arogan ketika ketemu pengendara yang nggak mau ngasih uang kecil ke mereka.

Dan pada akhirnya, semua tetep balik lagi ke individu masing-masing. Perihal mau ngasih uang atau nggaknya itu tergantung, kalo gue pribadi masih tetep berpegangan dengan prinsip yang sama, selagi abang-abangnya ramah dan beneran mau membantu, ya pasti bakal ‘diapresiasi’.

Terlebih, jalan raya adalah sebuah ‘fasilitas’ di mana semua masyarakat berhak untuk menikmatinya. Gue rasa, kalo setiap perempatan atau puteran dilengkapi sama marka jalan, rambu putar balik, atau bahkan lampu merah, maka gue rasa nggak perlu ada ‘Pak Ogah’ juga masyarakat bisa lebih teratur dalam berkendara.

Kalo lo, masih sering ngasih imbalan ke tukang parkir dan ‘Pak Ogah’ nggak, Civs? (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Garry

Content writer Froyonion, suka belajar hal-hal baru, gaming, dunia kreatif lah pokoknya.