Cowok selama ini dianggap kuat dan kerap dicap sebagai pelaku semua pelecehan seksual. Banyak yang belum tahu cowok juga bisa jadi korban.
FROYONION.COM - Pernah nggak kamu amati kalau para orang tua dulu cenderung lebih fokus melindungi anak-anak perempuan? Anak-anak perempuan biasanya selalu diantar ke mana-mana. Ke sekolah diantar. Ke tempat les diantar. Kalau malam pun sudah harus sampai di rumah. Kalau sudah maghrib dan anak perempuan masih di luar rumah, orang tua pasti cemas.
Anak-anak laki-laki seakan lebih bebas untuk berkeliaran di luar rumah bahkan pulang malam pun nggak jadi masalah. Bisa jadi karena mereka dianggap lebih bisa melindungi diri. Anak-anak laki-laki seakan kebal terhadap hal-hal buruk yang bisa menimpa seorang anak perempuan. Misalnya tindak pelecehan dan kekerasan seksual.
Tapi tunggu dulu. Apa emang bener masih kayak gitu kenyataannya sekarang?
Menjadi laki-laki di masyarakat yang katanya patriarkis banget kayak masyarakat Indonesia ternyata nggak otomatis menjamin kamu 100% pasti terbebas dari risiko menjadi korban pelecehan seksual bahkan tindak perkosaan seperti yang bisa dialami perempuan.
Jika gerakan #MeToo di Barat muncul pertama kali merebak pasca terkuaknya kasus pelecehan seksual oleh Harvey Weinstein (produser film kondang Amerika) yang korbannya seabrek di Hollywood, baru-baru ini muncul perbincangan yang menarik perhatian di Twitter mengenai #MeToo di tengah cowok-cowok Indonesia yang mengaku pernah jadi korban pelecehan seksual.
Semua diawali dari sebuah twit pemilik akun @helmihelmi yang mengatakan bahwa dirinya pernah menjadi korban ‘tangan jahil’ di bagian tubuh yang tak semestinya disentuh orang tanpa izin saat dia bertugas, gue jadi tau kalau isu pelecehan seksual terhadap laki-laki itu bukan wacana semata. Ini nyata dan selama ini tersembunyi akibat rasa malu dan takut ditertawakan atau diremehkan sesama teman dan bahkan anggota keluarga terdekat sendiri.
Selang beberapa waktu muncul juga berita pelecehan seksual yang dilakukan seorang oknum guru bernama Syukron di Kota Padang Panjang, Sumbar sana. Korban-korbannya bukan santri cewek tapi sejumlah santri cowok yang usianya sudah nggak bisa dikatakan anak-anak tapi udah remaja (14-an tahun).
Kasus ini terkuak setelah seorang korban berani speak up alias mengadu sehingga polisi langsung bertindak. Sementara itu, ada 3 orang santri lainnya yang juga sebetulnya sudah menjadi korban tapi tidak melapor dan mereka sudah melanjutkan pendidikan ke sekolah lain. Ini baru korban yang ketahuan. Kita tidak tahu apakah Syukron cuma beraksi di satu tempat atau lebih.
BACA JUGA: FROLOG: FROYONION BERDIALOG TENTANG COWOK SEBAGAI KORBAN PELECEHAN SEKSUAL
Nah, kalau kita runut bareng nih, tren kasus pelecehan seksual pada anak-anak laki-laki ternyata meningkat. Menurut pernyataan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2018 lalu, jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak laki-laki tercatat naik. Dan ini tidak terjadi di satu provinsi saja tapi di sejumlah provinsi juga. Jadi, memang fenomena ini sudah nggak bisa dianggap enteng.
Menurut psikolog M. Ari Wibowo, M.Psi. yang menangani sejumlah korban pelecehan seksual pria, rasa kaget yang ditemui di dalam benak masyarakat saat menerima pengaduan kekerasan dan pelecehan seksual dari korban laki-laki menunjukkan masyarakat Indonesia belum bersikap “netral gender”.
Wah, apa tuh maksudnya?
Kata psikolog klinis yang praktik di Depok, Jabar itu melalui wawancara virtual Kamis (24/6), “Pada kenyataannya siapa saja bisa menjadi pelaku dan korban. Perempuan juga bisa menjadi pelaku dan pria juga bisa jadi korban. Tidak memandang umur dan gender.”
Pernyataan Ari ini didukung dengan data yang dirilis KPAI dan Koalisi Ruang Publik Aman. Nggak sembarang klaim.
“KPAI menyatakan pada tahun 2018, ada 122 anak laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual,” ucapnya sambil memberi penekanan pada kata ‘laki-laki’.
Sementara itu, data Koalisi Ruang Publik Aman menemukan adanya 1 dari 11 laki-laki mengaku mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Nah!
Ada anggapan bahwa pelaku pelecehan seksual yang menimpa laki-laki dewasa pastilah mereka yang berorientasi seksual minoritas (baca: LGBT). Ari mengatakan nggak juga. Pelakunya bisa saja perempuan atau laki-laki heteroseksual dan sudah menikah yang dianggap ‘normal’ dalam standar masyarakat kita, kata Ari. Kasus Syukron di atas jadi buktinya. Sebagai tokoh masyarakat dan pendidik, ia sudah menikah dan beranak pinak tetapi kok masih begitu?
Lalu seperti apa sih bentuk-bentuk pelecehan seksual yang bisa dialami laki-laki baik yang usianya masih anak-anak sampai dewasa?
“Bentuk pelecehannya sama aja (dengan pelecehan seksual wanita - pen),” ucap Ari.
Bentuknya bisa ‘sehalus’ lelucon yang mengarah ke hal-hal yang beraroma seksual, genital (alat kelamin), soal hubungan badan, dan sebagainya. Buat kita cowok-cowok yang suka nongkrong bareng, mungkin sudah pernah mengalami ini atau bahkan melakukannya pada teman kita. Duh!
Pria pada umumnya baru bisa merasakan perasaan hancurnya jadi korban jika lelucon yang terasa sepele tadi berekskalasi atau makin parah jadi tindakan pelecehan seksual fisik beneran.
Wah masak iya?
“Yang terakhir ini (tindakan pelecehan seksual fisik - pen) baru terasa. Ini bisa terjadi di lingkungan lembaga pemasyarakatan yang semuanya laki-laki atau panti rehabilitasi remaja. Ada tuh tindak asusila semacam sodomi,” jelas Ari.
Buat kamu yang belum pernah merasakan jadi korban, Ari kasih kamu sedikit gambaran
“Kalau paling deket sama waktu kejadian, dia (korban) syok,” katanya. Korban baik pria dan wanita bisa mengalami freeze response, yang artinya dia cuma bisa diam beberapa saat setelah jadi korban.
Dampak psikosomatis pasca pelecehan seksual lainnya ialah mimpi buruk, perasaan berdebar-debar, keringat dingin, gemetar, pusing. Bentuk dari Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) pun bisa berupa trauma dan depresi.
“Luas dan dalamnya dampak tindak pelecehan seksual pada diri korban nggak terbayangkan, karena bisa sampai berpengaruh ke konsep diri, pertemanan, hubungan romantis, ketuhanan juga,” jelasnya. Jadi nggak sesimpel yang kita bayangkan.
Ia mengajak kita untuk tidak membedakan dampak pelecehan dan kekerasan seksual pada pria. Apa yang bisa dirasakan perempuan yang jadi korban juga bisa dirasakan oleh pria.
Para pria korban pelecehan seksual menghadapi tantangan yang berbeda dari wanita. Mereka harus menghadapi konflik dalam dirinya sendiri. Misalnya ia bisa bertanya-tanya: “Kenapa aku cuma bisa diam saja? Apakah ada yang salah dengan orientasi seksualku, kelelakianku, konsep diri (self) yang aku pahami selama ini.” Intinya, hidupnya nggak bakal sama lagi.
Belum lagi ia harus berhadapan dengan masyarakat yang perspektif gendernya masih sempit. Kaum pria di budaya masyarakat Indonesia dianggap sebagai pemimpin. Sosok pria yang ideal mesti bisa cari solusi atas masalah hidup apapun. Ia juga harus kuat secara fisik, mental dan sebagainya.
Inilah mungkin kenapa di Indonesia yang banyak dicatat dan dipublikasikan di media adalah kasus pelecehan seksual yang menimpa anak laki-laki. Bagaimana dengan korban pria yang sudah berusia dewasa? Ari sendiri menduga keras bahwa para pria Indonesia yang tertimpa tindak pelecehan diam saja dan tidak melapor karena takut dan cemas dengan stigma yang diberikan masyarakat sekitar jika mereka diketahui jadi korban. “Bisa juga karena si korban sendiri punya perspektif gender yang kolot dan sempit sehingga malu untuk lapor. Boro-boro malu, melapor itu nakutin. ‘Wah gimana kalau nanti orang-orang tau?’ begitu mikirnya,” jelas Ari.
BACA JUGA ARTIKEL SERU INI: PELECEHAN SEKSUAL LEWAT GAME VIRTUAL REALITY, NYATA ATAU HIPERBOLA?
Imbas dari pelecehan seksual terhadap diri seorang pria seperti efek domino. Habis tertimpa pelecehan seksual, pria bisa mengalami masalah relasi atau hubungan dengan pasangannya atau jika ia masih lajang, ia bisa merasa rendah diri untuk berhubungan romantis, imbuhnya. Belum lagi jika hal itu terungkap sampai ke orang lain misalnya calon mertua.
Ari mengatakan pikiran yang lazimnya muncul misalnya begini: “Wah calon menantuku kok pernah kena kekerasan seksual. Bagaimana dia bisa melindungi anak perempuanku nanti kalau melindungi dirinya sendiri aja nggak bisa?”
Maka dari itu, kata Ari, hal yang sangat penting bagi kita semua adalah edukasi terhadap diri sendiri dulu sebelum kita menolong pria korban pelecehan dan kekerasan seksual.
Cara edukasi diri itu bisa dimulai dengan tidak menganggap wajar lelucon-lelucon yang bernada seksual atau genital. Kita tidak boleh meremehkan saat teman merasa tidak nyaman dengan guyonan seronok. Jangan malah kita menganggap teman kita itu nggak asyik, nggak seru atau bukan temen sejati hanya karena digituin aja nolak. Setop berpikir kayak gitu karena itu udah termasuk kekerasan.
Jika kita berada di sebuah lingkaran pertemanan yang seolah menormalkan hal semacam ini, kita bisa menunjukkan ketidaksetujuan kita dengan cara diam, nggak ikut tertawa atau meninggalkan tempat saat ada teman kita sedang dilecehkan.
Jika kita sudah menunjukkan ketidaksetujuan itu, kita bisa membuka diri pada teman pria kita yang menjadi korban.
Cara edukasi diri lainnya ialah dengan tidak bereaksi secara menghakimi saat kita mengetahui teman pria kita jadi korban. Jangan malah habis dia cerita, kita langsung nyeletuk: “Lho kok lo nggak balik mukul dan ngelawan aja sih? Kok malah diem aja?” Reaksi semacam ini menurut Ari malah makin menghancurkan kondisi mental dan psikologis korban. Hati-hati karena reaksi yang nggak peka semacam ini sering terlontar begitu saja tanpa kita sadari jadi sebagai teman. Coba kita kendalikan mulut kita saat di-curhati teman yang jadi korban. Jangan asal njeplak. Cukup dengarkan dengan penuh empati dan jadikan diri kita sebagai ruang aman atau safe space bagi teman kita di fase yang sulit itu.
“Kita harus membuka pikiran bahwa kejadian itu bisa menimpa siapa saja dan kebetulan sekarang teman kita yang mengalaminya. Sebaiknya kita tidak menganggap ini (menjadi korban- pen) sebagai hal yang memalukan atau dosa. Ini menurut saya yang membuat para pria tersebut enggan melaporkan kejadian yang menimpa mereka,” ujarnya. Ari melihat bahwa angka pelecehan dan kekerasan seksual pada laki-laki yang dibuka ke publik cuma menyorot kasus yang menimpa anak-anak laki-laki padahal para pria yang sudah dewasa juga ada yang jadi korban.
Pada pria yang jadi korban, Ari menyarankan untuk mencari teman yang bisa diajak berbagi lalu mencari bantuan tenaga profesional seperti psikolog.
Nah kalau ada teman kita yang jadi korban, apakah kita mesti langsung ajak dia untuk mengadukan ini ke pihak berwajib?
Jawaban Ari begini: “Nggak harus (langsung diadukan -pen). Karena bisa dilakukan secara pelan dan berproses melalui tukar pikiran dengan teman. Diteruskan ke jalur hukum atau tidak, itu nanti terserah korban.”
Ari berkata demikian karena sebagian orang yang mengetahui teman prianya jadi korban terburu nafsu untuk mengadu ke polisi padahal kondisi mental dan psikologi si korban sendiri masih perlu dipulihkan. Baru jika korban merasa sudah siap, bisa ditemani ke pihak berwajib untuk mengejar dan menghukum si pelaku, saran Ari.
Pengaruh budaya patriarki juga membuat mayoritas pria korban pelecehan dan kekerasan seksual di Indonesia masih enggan melapor atau minta bantuan.
Karena kondisi yang masih memprihatinkan inilah, diperlukan adanya advokasi. Misalnya perlu dibuat layanan pengaduan pelecehan seksual yang memungkinkan korban melapor secara anonim.
Di lingkungan kerja juga perlu kita bahas mengenai Standard Operational Procedure (SOP) yang tertulis mengenai apa yang harus dilakukan manajemen saat terjadi sebuah pelecehan seksual yang menimpa karyawan baik yang terjadi dalam lingkungan kantor maupun saat di luar.
Namun, karena stigma masyarakat tadi masih banyak korban pelecehan baik pria dan wanita sekalipun yang memilih untuk tidak lapor dan menjalani perawatan/ terapi saja agar bisa mengobati luka batin dan trauma mereka.
Gimana dengan kamu, Civs? Inget-inget lagi deh, apakah pernah kamu atau orang terdekat kamu yang cowok ngalamin pelecehan? (*/)
BACA JUGA YANG INI: PEMUDA INISIAL ‘RR’ JUAL FOTO TEMAN DEMI UANG: BUKTI MARAKNYA DOXING DAN PELECEHAN SEKSUAL