Fenomena caleg atau kontestan pemilu yang stres mulai bermunculan pasca pemungutan suara. Hal tersebut memberikan masalah baru pada pesta demokrasi di Indonesia yang masih berjalan.
FROYONION.COM - Hari pemungutan suara pada Pemilu 2024 sudah berakhir, tapi hingga saat ini masih banyak perbincangan menyeruak di muka publik. Bukan cuma pertanyaan siapa yang menang, bagaimana hasil real count KPU, ataupun hal-hal lain. Tapi yang selalu muncul pada setiap pemilu, apalagi setelah pemungutan suara ialah fenomena stres dan depresi yang menimpa mereka yang mengikuti kontestasi ini.
Hasil pemilu yang ditunggu-tunggu memang biasanya keluar setelah satu bulan dan diumumkan langsung oleh KPU secara resmi melalui penghitungan real-count. Tapi kesehatan mental biasanya mulai terganggu setelah para kontestan ini menunggu-nunggu hasil itu.
Nah fenomena ini sendiri dinamakan sebagai post election stress disorder (PESD). Kalau kita telaah lebih jauh, kondisi tersebut bukan cuma bisa menimpa para peserta baik itu pileg ataupun pilpres. Tapi para timses bahkan pendukung fanatiknya pun bisa terguncang melalui hasil pemilu ini.
BACA JUGA: JERITAN PETUGAS KPPS, GAJI TAK SEBERAPA TAPI DIHANTUI RESIKO KEHILANGAN NYAWA
So, sebenarnya apa sih PESD itu? Kalau merujuk penjelasan di situs Better Help, PESD itu menjadi kecemasan yang diikuti oleh perasaan putus asa ataupun takut setelah berakhirnya masa pemilu. Tapi memang mungkin berbeda dengan rasa cemas yang biasa dirasakan orang, hal ini menjadi satu respons yang biasa terjadi terhadap hasil politik.
Salah satu alasan lazim kenapa banyak orang mengalami gangguan kesehatan mental pasca pemilu adalah karena ia merasa terikat secara emosional yang mendalam terhadap pemilu itu sendiri. Pemicunya banyak, mungkin ongkos politik yang sudah terlanjur terbuang namun hasilnya tidak sesuai ekspektasi. Bahkan, keterkaitan yang mendalam terhadap tokoh politik hingga menimbulkan fanatisme berlebih juga bisa menjadi alasan.
Beberapa rumah sakit jiwa (RSJ) di Indonesia bahkan mengakui kalau sudah mulai menerima pasien yang berasal dari kalangan caleg ataupun mereka yang terlibat dalam pemilu.
BACA JUGA: MENGULIK OMONG KOSONG LOVE LANGUAGE, TAPI KOK BANYAK YANG PERCAYA?
Lantas, kenapa sih sebenarnya banyak para kontestan politik di tahun pemilu ini mengalami masalah tersebut? Tim Froyonion.com berbincang dengan pengamat politik dari Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin untuk mengetahui hal tersebut.
Menurutnya, terdapat beberapa alasan yang membuat para politikus itu rentan terkena serangan mental ketika menghadapi hasil dari pemilu.
Salah satu penyebab yang dapat teridentifikasi ialah biaya politik yang dikeluarkan besar. Hal ini baik untuk para kontestan ataupun mungkin timses yang tergabung untuk memenangkan salah satu calon.
Kalau menurut Ujang, biasanya para politisi ini akan jor-joran mengeluarkan budget yang besar dengan harapan tinggi dapat melenggang ke tahta kekuasaan yang lebih tinggi. Mereka rela menjual harga, cari pinjaman, bahkan mungkin melakukan tindak kejahatan untuk bisa mengumpulkan modal.
Kenapa demikian? Ongkos politik yang harus dikeluarkan tak murah.
"Biaya politik itu tinggi, dengan begitu lalu kemampuan caleg itu terbatas secara finansial itu membuat mereka nekat untuk mencari peruntungan. Karena mereka belum berpengalaman, belum paham, mereka yang belum punya uang itu memaksakan diri untuk maju menjadi calon. Padahal dalam konteks fenomena politik kita, membutuhkan uang yang tidak sedikit," kata Ujang saat berbincang.
BACA JUGA: CEK MANFAAT MEMBACA BUKU BAGI KESEHATAN, BISA BIKIN PANJANG UMUR
Nah, ketika mereka kalah dalam kontestasi tersebut maka ada anggapan modal yang telah dikeluarkan tersebut menjadi sia-sia. Tentunya, kondisi politik yang seperti ini memang tidak kondusif dan mungkin terjadi di banyak negara.
Tapi biasanya ongkos politik yang mahal ini juga bukan hanya akan mempengaruhi kondisi mental para kontestan pemilu yang gagal atau tidak meraih suara sesuai keinginannya. Melainkan bisa juga berpengaruh pada cara pandang atau motivasi mereka terjun ke dunia politik, yakni untuk sekedar 'Balik Modal'.
"Mestinya kalau sudah siap menjadi caleg, harus sudah siap dengan segala konsekuensi yang ada. Harus siap konsekuensi uang banyak habis, tenaga terkuras, waktu yang habis, konsekuensi kemudian dicari-cari oleh rakyat. Yang biasa rakyat itu minta uang, sembako, dan macam-macam. Makanya di situ ketika kondisi finansial itu tidak siap, mereka ketika gagal stres," tambah dia.
Sistem politik yang terlalu liberal dianggap Ujang juga menjadi salah satu pemicu banyak peserta yang tidak terlalu menonjol menjadi mudah stres dan terpinggirkan. Menurutnya, sistem politik yang tidak memberikan cukup ruang bagi calon tanpa privilege membuat pertarungan menjadi tidak ideal.
Sayangnya, pemahaman terkait sistem politik di Indonesia itu tidak banyak dipahami oleh mereka yang ingin terjun ke dalamnya. Banyak yang bermodal idealisme dan semangat akhirnya tertampar oleh realita yang menyakinkan. Hal tersebut pun tentunya bisa mereka lihat pada akhirnya di hasil pemilu.
"Mereka yang biasa-biasa saja cenderung akan kalah dan akhirnya menjadi stres. Lalu gimana mengantisipasi dan mengurangi PESD ini? Tentu mungkin harus ada komitmen bersama di antara para elite untuk mengurangi money politic. Integritas itu juga harus ada di masyarakat juga, karena ini kan pada akhirnya jadi kebiasaan," cetus dia.
Ketidakpastian hasil politik pun juga menjadi salah satu penyebabnya. Setelah pemungutan suara dilakukan, biasanya paparan informasi terkait pemilu itu juga akan semakin intens.
Kita yang tidak tahu siapa yang akan memenangkan kontestasi biasanya akan mulai berasumsi dan melihat-lihat bagaimana jika pasangan atau calon tertentu yang menang. Banyaknya informasi berseliweran itu kemudian menjadi salah satu yang dipikirkan oleh mereka-mereka yang mengikuti perkembangan pemilu.
BACA JUGA: TREN NONTON BERITA LEWAT MEDIA SOSIAL ALA GEN Z DAN MILENIAL
Lalu biasanya kekhawatiran akan muncul. Misalnya, jika si A menang maka kebijakan soal hal tertentu akan mungkin berganti dan akan berpengaruh pada bisnis si A tersebut. Atau mungkin hal ini bisa terjadi dalam banyak lainnya di lingkup yang lebih sederhana tak melulu soal kebijakan.
Hasil pemilu yang tidak sesuai dengan harapan kemudian memantik kekecewaan dan rasa frustasi.
Kesimpulannya, fenomena ini memang nyata dan terjadi di sekitar kita. Jangan sampai masa-masa pemilu ini malah menjadi petaka yang kemudian membuat kita semua menjadi terus-terusan khawatir. Jalani masa politik dengan enjoy aja, ya! (*/)