Di kolom yang tayang tiap Senin ini, siapa aja bisa nanya dan bakal dijawab langsung oleh Bang Roy sendiri. Kamu bisa nanya segala macem tema pertanyaan yang berkaitan dengan kehidupan muda mudi zaman sekarang. Kali ini Bang Roy membahas soal merokok dan nongkrong. Untuk kirim pertanyaan kamu, bisa kirim DM langsung via Instagram @froyonion.
Pertanyaan: “Apakah pertemanan diukur dari merk rokoknya?” -@rrizky.26
Jawaban:
Mungkin pertanyaan itu bisa muncul waktu lo lagi nongkrong kali ya? Biasanya di tempat nongkrong anak muda, suka kelihatan tuh perbedaan selera rokok dari bungkus rokok yang ditaruh berjajar. Namun, gue paham kenapa pemahaman kayak gini bisa muncul. Biar valid dan enggak cuma berisi opini gue semata, di sini gua juga melibatkan pendapat sobat sebat Froyonion.
Kalo menurut gue, jenis atau merk rokok enggak serta merta mempengaruhi pertemanan. Tapi, kadang jenis rokok seseorang bisa jadi cerminan akan kelas ekonomi mereka, walaupun enggak terlalu valid.
Misal, orang yang demen sama rokok Marlboro Ice Blast, Marlboro merah, dan Sampoerna Avolution termasuk ke high class. Soalnya, harga rokok-rokok ini pasti lebih dari 30 ribu Rupiah per bungkusnya. Walaupun mahal, rokok high class ini punya rasa yang enggak sebanding sama harga.
Nikotinnya terasa berat, sakit di tenggorokan, dan terasa seperti menghirup aspal, membuat rokok-rokok high class jadi sulit dinikmati. Makanya, enggak semua orang yang mampu beli, mau untuk beli rokok ini.
BACA JUGA: ROKOK SEBAGAI JEMBATAN PERGAULAN DAN PELEPAS EMOSI NEGATIF?
Justru kebanyakan orang malah beli rokok middle class semacam Sampoerna Mild, Esse, Camel, dan Lucky Strike. Walaupun Camel dan Lucky Strike rasanya masih kayak menghirup aspal, tapi setidaknya lebih terjangkau lah dibanding Marlboro merah. Dengan rentang harga 20 ribuan, bahkan sobat sebat yang udah mapan pun lebih doyan sama rokok kelas ini.
Kalo nyari yang lebih murah lagi sebenernya bisa dan masih banyak pilihan. Kebanyakan sih rokok-rokok kretek. Biasanya ini dibeli sama sobat sebat Froyonion waktu tanggal tua tapi pengen merokok atau nyebat. Sering juga dibilang rokok laki karena enggak ada filternya.
Tapi sebenernya, rokok kretek itu diciptakan sebagai obat bengek, loh. Dulu, ada orang namanya Haji Djamhari yang menderika bengek. Dia suka ngolesin minyak cengkeh ke dadanya sebagai pengobatan. Karena dirasa manjur, dia potong cengkeh jadi kecil-kecil dan dicampur sama racikan tembakau. Jadilah waktu dibakar dan dihirup, bunyi kretek-kretek itu muncul dan menjadikan rokok ini disebut ‘rokok kretek’.
Hal ini juga gue rasakan sendiri. Katanya, selama ngerokok kretek dia malah enggak pernah ada dahak, bengek, atau sesak napas. Justru dia malah sesak napas kalo ngerokok pake mentol. Jadi, cocok-cocokan aja sih.
Jadi apakah rokok bisa jadi alat ukur pertemanan? Jawabannya kalo menurut gue dan sobat sebat Froyonion adalah enggak. Mau ngerokok jenis apapun, bisa membawa lo ke tempat-tempat nongkrong ala anak muda yang enggak pernah lo jelajahi sebelumnya dan jadi gerbang untuk ketemu sama temen-temen baru.
Lagi pula, mungkin zaman sekarang lebih relevan untuk mengukur kelompok pertemanan dari gadget kali ya? Kalo enggak pake iPhone, enggak mau temenan. Kadang gue suka nemuin bocil-bocil yang kayak begini nih. Jangan ditiru dah, Civs.
Pesan gue, sesukses apapun kita nanti, rendah hati itu nomor satu. Jangan malu bergaul sama siapapun, bahkan supir, tukang becak, atau orang-orang dengan profesi yang sering dipandang sebelah mata. Justru, kalo kita bisa bergaul sama mereka kita bisa dengerin kisah hidup manusia yang jarang kita temui, loh.
Tentunya, obrolan itu akan lebih mudah dipancing dengan merokok atau nyebat bareng. Cobain deh (tapi kalo lo enggak ngerokok, gue enggak menyarankan untuk jadi perokok juga ya). (*/)
BACA JUGA: DARI ROKOK PINDAH KE VAPE, SAMA SAJA ATAU SEBUAH SOLUSI?