Di tengah dunia yang terobsesi sama kesuksesan di masa muda, ada sebagian orang yang justru sukses di usia yang nggak muda dan itu nggak apa-apa. Simak sejumlah kelebihan late bloomers menurut Rich Karlgaard dalam bukunya Late Bloomers: The Power of Patience in a World Obsessed with Early Achievement.
FROYONION.COM - Kalo lo mencoba lebih peka, lo pasti merasakan ada semacam tekanan yang makin besar dari lingkungan (baca: orang tua dan masyarakat) terhadap anak-anak dan remaja usia sekolah untuk bisa mencetak prestasi sejak usia dini. Ini jelas kita bisa liat dari tren les anak-anak habis pulang sekolah.
Dari les yang berbentuk olahraga misalnya renang, keterampilan fisik kayak pencak silat sampai les pelajaran tambahan yang sebenernya mirip dengan yang udah didapet di sekolah. Kalo lo sendiri nggak ngerasain, coba deh liat anak-anak seumuran adik lo atau keponakan atau sepupu yang lebih muda.
Di medsos kita juga merasakan hal yang mirip: anak muda kudu bisa sukses lebih cepat. Dari tren sultan-sultan semu dari binary option kayak yang tempo hari rame itu hingga menjamurnya para influencers muda belia di medsos yang memamerkan penampilan, aset, prestasi, dan sebagainya, itu semua kalau dirunut ada sedikit banyak pengaruh dari desakan masyarakat untuk mencetak sukses semuda mungkin. Pokoknya masa muda adalah penentuan masa tua. Seolah kalo gagal di usia muda, ya bakal nelangsa di sisa hidup. Ih amit-amit!
Seorang entrepreneur sekaligus penulis bernama Rich Karlgaard tertarik fenomena satu ini dan mengupasnya secara mendalam dalam bukunya yang berjudul Late Bloomers: The Power of Patience in a World Obsessed with Early Achievement.
Menurut Karlgaard, masyarakat dunia - baik ortu dan anak mereka - memang sekarang makin terobsesi dengan prestasi di usia muda, dari prestasi akademis (masuk universitas favorit atau kalo bisa dapet beasiswa ke luar negeri) hingga pencapaian karier yang harus memukau (kalau di versi Indonesia: bisa dapet kerjaan PNS yang konon nyaman dan stabil atau kalo nggak jadi pengusaha yang omsetnya miliaran).
Awal semua ini, menurut Karlgaard, ialah saat era internet meledak tahun 2000an. Saat itu kita mulai muncul startup-startup yang melejit dan melahirkan banyak orang kaya baru yang usianya masih 20-an. Sebelum kepala 3, mereka udah tajir melintir dan kalopun nggak mau kerja lagi dan kerjanya cuma seneng-seneng juga duitnya nggak bakal abis. Saking banyaknya.
Tapi kita lupa, mereka yang sukses di usia muda (early bloomers) itu cuma segelintir manusia. Sisanya kita adalah manusia-manusia dengan jalan hidup yang lain dari mereka. Akibatnya, kita yang masih belum bisa menjadi jutawan di usia 20-an merasa gagal total dalam hidup. Umur 30-an masih ngekos atau ngontrak rumah, pake hape ‘kentang’, dengan outfit nggak branded, saldo rekening ga nambah-nambah, kayaknya udah depresi aja bawaannya.
Buat kalian semua yang nggak ngerasa masuk ke kelompok early bloomers, jangan ngerasa gagal dalam hidup! Hidup masih panjang.
Sebagai late bloomers (demikian istilah yang dipakai Karlgaard untuk mendeskripsikan manusia-manusia yang justru bisa mencapai potensi terbaik diri mereka setelah nggak muda lagi), lo juga masih bisa sukses asal lo bisa mengenali kelebihan dan potensi diri lo sendiri. Jadi setop membandingkan diri dengan para early bloomers. You’re special, too!
Sebelum mengenali kelebihan lo sebagai late bloomers, yuk kita coba kenali tantangan-tantangan yang lazimnya muncul.
Menurut analisis Karlgaard, ada beberapa tantangan yang mesti ditaklukkan para late bloomers jika mereka mau mencapai potensi paling optimal dalam diri mereka.
Tantangan utama pertama yaitu adanya kecenderungan yang makin besar di sekolah dan para pemberi kerja untuk menilai terlalu tinggi prestasi masa muda.
Lo mungkin udah tau rasanya punya temen di kelas yang selalu ranking 1, atau sering menggondol gelar juara olimpiade matematika, fisika, kimia, bahasa Inggris dan bisa nerusin kuliah di kampus mancanegara idaman masyarakat. Sementara itu, lo sendiri ngerasa terseok-seok cuma untuk bertahan biar nggak berada di posisi terbawah dan bisa lulus aja udah alhamdulillah. Kalo lo pernah ngerasain ini, bisa jadi lo masuk kelompok late bloomers.
Tantangan kedua ialah pandangan miring terhadap keberhasilan di masa dewasa atau senja sebagai aib atau kekurangan yang nggak bisa dibanggakan.
Nggak bisa dipungkiri bahwa masyarakat lebih mengelu-elukan orang yang usianya masih muda dan dianggap udah bisa mencapai hal yang cuma orang dewasa lakukan. Misalnya anak kecil dianggap luar biasa kalo udah bisa hapal ibukota semua negara di dunia. Sementara itu, kalo ada berita kakek umur 80an yang baru menyelesaikan kuliah S1-nya dan diwisuda, masyarakat cenderung menyikapi dengan sikap iba atau menganggapnya membuang waktu aja.
BACA JUGA: AGNEZ MO, TULUS, HINGGA NIKI, SEDERET MUSISI INDONESIA YANG SUKSES DI PANGGUNG DUNIA
Poin pertama yang menjadi kelebihan para late bloomers adalah sikap keingintahuan mereka yang besar dan membuncah sepanjang hidup mereka. Saat para early bloomers udah mati-matian memfokuskan masa muda mereka buat satu bidang dan mengabaikan hal-hal lain dalam hidup dan berpuas diri dengan hal yang udah dikuasai, para late bloomers justru masih bisa menikmati dunia sekelilingnya dengan melakukan berbagai hal yang terlihat nggak ada gunanya saat itu tapi di masa datang bakal ada gunanya. Dan emang udah seharusnya anak kecil dan remaja yang sehat secara mental itu punya keingintahuan besar terhadap dunia sekeliling mereka kok.
Para late bloomers menjalani masa kecil mereka dengan mengeksplor banyak hal. Tampaknya emang nggak fokus dan nggak ada bakat menonjol tapi tunggu dulu, keingintahuan yang tertanam dari muda ini justru nantinya bisa dipertahankan sampai tua sehingga mereka lebih mampu untuk terus beradaptasi dengan dunia yang makin dinamis.
Late bloomers merasa bahwa kadang ngelakuin aktivitas-aktivitas yang nggak perlu dan nggak ngasih faedah langsung ke pencapaian akademis atau karier masa datang itu bukan sebuah masalah atau penyia-nyiaan waktu berharga mereka tapi malah bisa memperkaya pemikiran mereka mengenai dunia.
Sementara para early bloomers mengeluhkan kehilangan masa kecil, para late bloomers justru merasa lebih bisa menikmati masa kanak-kanak mereka karena ya memang mereka bisa menyalurkan keingintahuan khas anak kecil mereka dengan lebih baik, tanpa kekangan yang berlebihan.
Saat para early bloomers menjadi lebih serius di usia belia, mereka yang late bloomers cenderung lebih santai dan terbuka terhadap berbagai peluang dan kemungkinan dalam hidup.
Di usia 20-an, area korteks di bagian depan otak kita mulai komplit perkembangannya. Dampaknya fungsi pelaksanaan atau eksekusi otak lebih matang. Manusia di periode ini sudah mulai berkurang impulsivitasnya dan mereka lebih bisa berpikir jangka panjang. Nggak asal dan semau gue. Di sinilah manusia bisa dipandang dewasa.
Di usia dewasa muda ini, para early bloomers sudah terbiasa mengekang keingintahuan mereka dan lebih pandai fokus mengerjakan sesuatu secara spesifik dan mematuhi perintah. Tapi para late bloomers masih memiliki keingintahuan yang tinggi dan kini sudah memiliki kemampuan eksekusi yang lebih matang dan otak yang bisa mengarahkan dengan lebih baik. Late bloomers juga identik dengan mereka yang suka memberontak dan berani menantang arus sehingga mereka tak merasa ada batasan-batasan yang mesti tidak dilanggar.
Padahal sifat ingin tahu ini modal yang berharga sekali dalam menjalani dunia. Bagi mereka yang ingin menjajal dunia bisnis dan kepemimpinan, kualitas ini dianggap sebagai salah satu yang berharga bisa mengantarkan seseorang ke puncak sukses.
Kelebihan kedua para late bloomers yakni rasa welas asih yang lebih tinggi. Mereka lebih bisa memberi empati pada mereka di sekelilingnya, nggak sombong, sok, arogan dan lebih tinggi daripada orang lain.
Sikap welas asih dan empatik ini memungkinkan mereka memahami posisi orang lain yang berseberangan atau kurang beruntung. Dan untuk diri mereka sendiri, sikap ini juga bermanfaat karena membuat para late bloomers lebih memahami tantangan yang mesti dihadapi dan bagaimana mereka bisa menemukan solusi.
Empati membuat kita bisa merasakan hal yang dirasakan orang lain dan welas asih membuat kita terdorong untuk tidak cuma berempati tapi juga bertindak sesuatu untuk mendapatkan solusi untuk meringankan kesulitan orang lain.
Masalah yang ditemui di kelompok early bloomers, mereka lebih rawan mengalami krisis empati dan welas asih ini. Kenapa? Karena mereka merasa lebih baik dan lebih segalanya daripada manusia lain. Mereka juga lebih sedikit mengalami kegagalan dan hambatan dalam hidup. Bakat yang tinggi atau privilege lain milik para early bloomers berisiko membuat mereka kurang peka terhadap sekitarnya.
Para late bloomers memiliki sikap welas asih lebih tinggi dalam pergaulan. Kemampuan berpikir reflektif juga baik. Para late bloomers lebih mudah memikirkan kepentingan manusia lain sehingga mereka lebih tidak egois. Intinya perilaku mereka lebih memudahkan untuk bermasyarakat (prosocial behaviors).
Pada gilirannya, perilaku prososial membuat mereka lebih paham kontradiksi, ketidaksempurnaan dan aspek suram dari manusia sehingga mereka lebih pemaaf, penuh pengertian, dan tidak bengis.
Dalam beberapa bidang, kita lebih berpeluang lebih sukses saat kita sudah lebih dewasa karena di area-area inilah kekayaan pengalaman dan kearifan seseorang dalam hidup. Katakanlah di bidang kepenulisan kreatif. Kita bisa ambil contoh kasus penulis buku The Boys in the Boat, Joe Rantz, yang menerbitkan buku laris itu di usia akhir 50-an.
Buku tentang tim dayung yang terdiri dari 8 pemuda dari University of Washington di era Depresi Hebat (Great Depression) yang begitu menyentuh perasaan itu nggak bakal bisa dihasilkan olehnya di usia 20-an atau 30-an. Barulah di usia senja, Rantz merasa bisa mengevaluasi pengalaman masa mudanya dengan lebih jernih dan bahkan menemukan fakta-fakta yang menarik mengenai teman-temannya.
Kelebihan para late bloomers ketiga ialah ketangguhan dalam menjalani hidup. Mereka memiliki sebuah kualitas yang memungkinkan mereka untuk kembali bangkit setelah kegagalan menimpa. Sifat ini sangat dibutuhkan di masa sekarang karena dunia bisa berubah dalam sekejap.
Kita lihat dalam beberapa tahun terakhir ini saja kita sudah merasakan tantangan ekonomi, pandemi yang tak mengenal ampun, hingga pergolakan politik dan sosial. Untuk bisa sukses di dunia yang begini labil, kita butuh sikap tangguh.
Para late bloomers lebih tangguh dibandingkan para early bloomers karena pertama, mereka lebih akrab dengan tantangan hidup. Dan begitu dewasa, mereka makin kuat dan memiliki perspektif yang lebih luas sehingga bisa terus maju dan bangkit begitu gagal.
Alasan mengapa para late bloomers memiliki ketangguhan lebih baik ialah karena mereka punya jejaring pendukung yang lebih luas juga daripada para early bloomers. Wajar, karena late bloomers lebih tua dan matang. Mereka sudah mengenal lebih banyak orang, menjalin koneksi di lebih banyak tempat. Sementara itu, para early bloomers masih terbatas pergaulannya karena mereka lebih muda dan bertemu dan menjalin koneksi bermakna dengan lebih sedikit manusia.
Kelebihan yang terakhir dari para late bloomers ialah mereka biasanya lebih bijak dan arif dalam menyikapi hal-hal yang terjadi pada hidup mereka. Masuk akal memang, karena para late bloomers ini sudah lebih dewasa dan matang dalam segi usia, kepribadian, kejiwaan, cara berpikir, dan banyak lainnya.
Kearifan cuma bisa datang dengan makin menanjaknya usia karena ada perubahan aktivitas otak. Penjelasan ilmiahnya adalah saat seseorang makin matang, terjadi Hemispheric Asymmetry Reduction in Older Adults (HAROLD) di separuh prefrontal cortex (bagian depan otak) yang masih kurang aktif saat muda. Area ini makin aktif saat seorang manusia makin menua. (*/)