Kemampuan berkomunikasi itu penting. Sebagai tips untuk meningkatkan kemampuan ini, kita sebenarnya perlu memahami komunikasi high context. Sebabnya, Indonesia termasuk ke dalam negara yang menggunakan komunikasi high context.
FROYONION.COM – Ditinjau dari konteksnya, komunikasi dapat dikategorikan menjadi low context dan high context. Nah, dilansir dari buku berjudul The Interpersonal Communication karya Joseph A. Devito, Indonesia termasuk ke dalam negara yang menggunakan komunikasi high context. Negara Asia pada umumnya memang termasuk ke dalam kategori tersebut. Jepang dan China pun termasuk ke dalam kategori ini.
Nah, dalam kehidupan sehari-hari, kita sebenarnya mempraktikkan komunikasi high context. Dengan demikian, bila kita ingin meningkatkan kemampuan berkomunikasi sehari-hari, maka kita sebenarnya perlu memahami seperti apa komunikasi high context. Lalu, seperti apa komunikasi tersebut? Berikut beberapa unsur-unsur komunikasi high context.
Dalam komunikasi high context, kita menggunakan pernyataan indirect untuk menyampaikan suatu permintaan kepada orang yang kita tuju. Pernyataan indirect, pada dasarnya, yaitu menyampaikan suatu hal dengan kata-kata pengantar yang sesuai. Lalu, disambung dengan inti pesan.
Namun, bisa juga inti pesan tak disampaikan. Contohnya, umpamakan seorang tetangga bertamu ke rumahmu. Kamu merasa terganggu dengan kehadirannya. Sebabnya, ada banyak pekerjaan yang harus kamu selesaikan.
Bila kamu berkata memintanya untuk pulang karena sedang banyak pekerjaan, tentunya terasa kurang sopan. Misalnya, seperti ini “Kamu pulang sekarang. Saya banyak pekerjaan sekarang.”
Beda halnya bila kita berkata secara indirect. Misalnya seperti ini “Saya sekarang banyak pekerjaan nih. Bos saya akan marah bila pekerjaan saya saat ini tak selesai.” Tujuan perkataan ini sebenarnya sama dengan perkataan sebelumnya, yaitu memintanya untuk pulang. Namun, karena disampaikan secara indirect, lebih santun dibandingkan perkataan sebelumnya.
Namun, bagaimana bila tetanggamu itu tak memahami maksud sebenarnya dari hal yang kamu sampaikan kepadanya? Pada titik inilah, dalam komunikasi high context, kepekaan menjadi hal penting. Dengan kata lain, untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi, sebenarnya perlu melatih kepekaan.
Tanpa kepekaan, kita cenderung kurang bisa memahami maksud sebenarnya yang disampaikan lawan bicara. Bila kamu berada di dalam situasi tersebut, sebaiknya sampaikan lagi keinginanmu secara indirect hingga ia paham maksud sebenarnya hal yang kamu sampaikan.
Kita pun perlu juga peka membaca bahasa nonverbal yang ditunjukkan lawan bicara untuk memahami maksud sebenarnya dari hal yang disampaikan olehnya. Umpamakan, kamu mengobrol dengan seorang teman. Teman ini menceritakan permasalahan keluarganya.
Saat menceritakannya, wajahnya pun begitu muram. Dengan memperhatikan bahasa nonverbal yang ditampilkan olehnya, kamu paham bahwa temanmu ingin menyampaikan bahwa ia sedang menghadapi permasalahan berat.
Dalam komunikasi high context, harus menghindari tone negatif. Tone, pada dasarnya adalah kesan yang muncul di benak lawan bicara setelah menyimak hal yang kita sampaikan.
Dengan berkomunikasi menghindari tone negatif, kita bisa menjaga perasaan lawan bicara. Umpamakan, smartphone teman kamu sering nge-blank. Merknya pun kurang dikenal. Koneksi internetnya pun sering terputus. Daripada berkata “smartphone kamu jelek banget sih”, lebih baik berkata “smartphone kamu sebaiknya di-upgrade.”
Pernyataan ini ber-tone positif, sehingga menjaga perasaannya. Sedangkan pernyataan pertama ber-tone negatif sehingga bisa menyakiti perasaannya. Selain itu, bisa saja memancing emosinya hingga berujung baku hantam.
Saat menolak hal yang ditawarkan lawan bicara pun, kita perlu juga menjaga perasaannya. Umpamakan, seorang tetangga berada di depan rumahmu untuk menjual barang. Kamu tak ingin membelinya.
Bila berkata menolaknya secara langsung, misalnya berkata “Saya tidak ingin membelinya”, khawatir membuatnya tersinggung. Nah, kita bisa menggunakan pernyataan indirect untuk menolaknya. Misalnya, “Maaf, saya sedang buru-buru. Bos saya menunggu di kantor.”
Dalam komunikasi high context, kita perlu juga menyesuaikan bahasa yang kita tuturkan saat berkomunikasi dengan orang yang lebih tua atau yang lebih tinggi kedudukan. Umpamakan, di lingkungan rumah, kita berpapasan dengan orang berusia 50 tahun. Orang ini adalah tetangga dekat kita. Kita menyapanya “Bapak akan pergi ke mana?”
Kita menggunakan kata bapak karena menghormati usianya yang jauh lebih tua. Bila kita berpapasan dengan orang yang usianya lebih tua namun tak terlalu jauh, kita bisa menggunakan kata kakak untuk menyapanya.
Perlu diketahui, sebagian orang kurang memahami bagaimana menggunakan kata Anda dan bapak. Kata Anda sebenarnya kurang tepat digunakan saat berkomunikasi dengan orang yang jaug lebih tua. Kata Anda adalah sebutan secara formal untuk orang berusia sebaya.
Begitu pun di lingkungan kerja. Kita menyebut Pak untuk seseorang yang kedudukannya lebih tinggi. Sama seperti sebelumnya, bila seseorang ini berusia lebih tua, hindari menggunakan kata Anda.
Perlu diperhatikan juga, gaya bahasa yang kita tuturkan saat berbicara dengan orang yang sebaya tak boleh terbawa saat berbicara dengan orang lebih tua atau yang lebih tinggi kedudukannya. Umpamakan, kita sedang berkomunikasi dengan atasan.
Kita berbicara “Pak, gua udah kerjain semua pekerjaannya.” Perkataan itu kurang sesuai saat berkomunikasi dengan atasan. Perkataan tersebut lebih sesuai saat sedang berbicara dengan rekan kerja yang berumuran sebaya. Lebih baik berkata “Pak, saya sudah selesaikan semua pekerjaan” kepada atasan.
Itulah, beberapa elemen komunikasi high context. Elemen-elemen bisa kita terapkan saat berkomunikasi. Baik di lingkungan kerja ataupun di lingkungan sosial lainnya. Bisa juga diterapkan dalam komunikasi lisan ataupun tertulis Namun, bila menggunakan komunikasi tertulis, kita sebenarnya tak bisa menampilkan bahasa nonverbal.
Nah, banyak orang yang menyebut bahwa emoji itu sejenis bahasa nonverbal. Memang benar bahwa emoji itu sejenis bahasa nonverbal. Namun, menggunakannya dalam komunikasi tertulis sebenarnya tak efektif. Sebabnya, makna emoji tak universal. (*/)