Karyawan kalo lagi capek sama deadline kerjaan, enteng banget bilang mau resign. Yakin udah siap sama konsekuensinya?
FROYONION.COM - Ketika sekolah atau kuliah dulu, rasanya pengen cepet-cepet lulus biar segera dapet kerjaan. Tapi pas akhirnya masuk dunia kerja, ada satu titik di mana pengen cepet-cepet resign karena nggak kuat sama tekanannya.
Entah karena gaji yang dinilai nggak sepadan sama beban kerja, lingkungan toxic, bos nyebelin, atau alasan-alasan lainnya. Bahkan, hal seperti deadline kerjaan super mepet pun bisa jadi alasan seorang karyawan berpikir untuk mengajukan resign.
Resign tentu adalah hak tiap karyawan. Tapi, bagaimana karyawan itu memanfaatkan haknya bakal balik lagi ke pilihan masing-masing yang sifatnya sangat personal. Kondisi yang memungkinkan seseorang untuk resign juga bisa berbeda-beda untuk tiap orang.
Pekerjaan itu sendiri adalah sebuah pilihan, dan ketika memutuskan untuk memilih sesuatu, maka ada baiknya untuk mempertahankannya terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk berhenti. Coba ingat gimana susahnya dulu saat melamar kerja dan gimana bahagianya ketika dapet offering letter.
Jadi, sebelum bahas kapan sebaiknya mengajukan resign, yuk cari tahu dulu kenapa resign harus ditunda.
BACA JUGA: JANGAN BURU-BURU RESIGN! INI 5 ALASAN BERTAHAN DI KANTOR LAMA
TUNDA RESIGN KALAU…
Belum punya sumber penghasilan baru, jangan coba-coba ajukan resign. Ini hal paling dasar sekaligus sesuai dengan logika. Salah satu tujuan kerja ya dapet duit buat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ketika sumber penghasilan menghilang, gimana dong caranya mencukupi kebutuhan hidup?
Tapi faktanya, ternyata banyak orang nekat mengajukan resign walau belum punya sumber penghasilan baru. Biasanya, mereka mengambil keputusan ini karena sudah sangat tertekan secara emosional.
Wajar memang, tapi kalau nekat begini, sebenarnya bukannya mengurangi masalah tapi justru menumpuknya kian tinggi. Lega sebentar doang, trus pusing lagi karena kehabisan uang. Ujung-ujungnya malah akan sembarangan memilih pekerjaan dan terjebak dalam lingkaran setan.
Ada baiknya sebelum memutuskan untuk resign, pastikan kalian sudah memiliki pekerjaan baru, usaha sendiri atau biaya hidup yang dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari selama minimal enam bulan. Dengan begini, seenggaknya keadaan ekonomi nggak akan terguncang banget ketika berhenti bekerja.
Kedua, tunda resign kalau belum diskusi seputar karir dengan atasan di kantor. Bukan sekali dua kali, seorang karyawan mengajukan resign karena merasa nggak diperhatikan sama atasannya atau nggak kunjung mendapat promosi jabatan.
Idealnya sih, memang atasan dulu yang memulai diskusi soal karir. Tapi, nggak ada salahnya juga kok buat karyawan untuk nanya duluan. Membicarakan masalah karir bisa menunjukkan adanya inisiatif untuk mengembangkan diri, lho.
Diskusi karir ini bisa dimulai dengan mengajak atasan bicara secara empat mata, misalnya melalui sesi khusus guna menunjukkan keseriusan. Jelaskan keinginan karir seperti promosi atau belajar keahlian lain. Diskusikan pula target yang jelas seperti indikator keberhasilan sampai hasil akhir yang sanggup diberikan.
Boleh banget untuk turut meminta feedback atas kekurangan yang dimiliki dan tanyakan juga apa saja yang masih perlu diperbaiki. Nah, kalau ternyata atasan nggak kunjung merespon atas diskusi karir ini, baru deh ajukan resign.
BACA JUGA: MAKANAN ADAT RESIGN: SI TIBA-TIBA MUNCUL YANG PUNYA PERTANDA KHAS
Terakhir, tunda dulu resignnya kalau bukan demi mencari kesempatan yang lebih baik. Mindset yang harus dibangun tuh gini: resign adalah tangga naik untuk mencapai tujuan karir yang lebih tinggi, bukan pintu keluar yang menyelesaikan masalah secara temporal.
Memang sih, nggak akan ada yang melarang buat resign karena tekanan yang didapat di tempat kerja. Balik lagi kalau keadaan tiap orang pasti beda-beda dan tekanan yang didapat serta kesiapan mental orang juga pasti berbeda antara satu dengan lainnya.
Tapi, kalau keputusan resign diambil karena adanya konflik di kantor lama, sama saja dong dengan pergi sebelum menemukan solusi dalam menyelesaikan masalah. Yakin nih, pas pindah kantor baru nggak akan nemu masalah yang sama untuk kedua kalinya?
Keputusan untuk resign harus diambil secara logis dan terencana, bukannya secara emosional dan reaksi spontan semata. Resign juga sebaiknya dilakukan demi kesuksesan cita-cita, bukannya malah demi kemunduran.
Nah, kalau semua kriteria di atas udah terpenuhi, barulah bisa kita bahas soal kapan tepatnya untuk mengajukan resign.
SAATNYA RESIGN KALAU…
Keahlian nggak berkembang apalagi setelah bertahun-tahun bekerja. Hal yang dikerjakan cenderung itu-itu aja, masih memakai skill yang sama, nggak ada keahlian baru yang dikuasai dan nggak ada kesempatan buat belajar.
Investasi paling berharga sebenarnya adalah investasi ke diri sendiri. Kalau memang nggak ada kesempatan untuk mengembangkan skill di kantor lama, mungkin memang sudah waktunya untuk mencari hal baru di kantor yang baru pula.
Kecuali, kalau kalian sudah merasa puas dengan pekerjaan yang sekarang dan nggak keberatan mengerjakan hal yang sama berulang-ulang dalam waktu lama. Kalau belum puas, keep moving!
Kedua, nggak ada jenjang karir yang jelas. Kalau masih di level staff hingga supervisor, usahakan untuk bertahan di posisi yang sekarang maksimal selama tiga tahun.
Nah, kalau dalam tiga tahun itu nggak ada perubahan, kemungkinannya bisa karena kategori jabatan yang sudah mentok, pekerjaannya memang butuh skill yang spesifik atau level kemampuan karyawan yang dianggap sudah maksimal.
Coba diskusikan dengan atasan mengenai promosi jabatan atau sarankan seseorang yang mungkin bisa jadi suksesor di kantor untuk menggantikan posisi ketika ditinggal pergi.
Ketiga, boleh banget ajukan resign saat sudah dapat tawaran yang lebih baik. Pertimbangkan terlebih dahulu apakah tawaran itu bisa mendukung target karir atau enggak. Kalau ternyata jawabannya iya, ditambah lagi dengan jenjang karir yang jelas dan gaji lebih tinggi, fix resign aja.
BACA JUGA: UNTUK PARA INTROVERT: PANDUAN RESIGN DENGAN ANGGUN SETELAH LEBARAN
Konteks resign yang barusan dibahas adalah yang terkait dengan keputusan melanjutkan karir, ya. Beda ceritanya kalau pengajuan resign didasarkan pada konteks kehidupan personal seperti masalah keluarga, kesehatan hingga pendidikan.
Misalnya nih, memutuskan untuk resign karena ingin melanjutkan S2 ke luar negeri, kesehatan yang memburuk atau fokus merawat orangtua yang sakit di kampung halaman. Itu sih, udah masuk ke prioritas hidup dan bakal beda lagi sudut pandangnya.
Intinya, resign memang hak karyawan, tapi harus digunakan sebaik-baiknya dan diperhitungkan dengan saksama sebelum diambil. Jangan sampai salah langkah atau hanya menggunakan sisi emosional dalam pengambilan keputusan. (*/)