Civs, pasti lo tahu kalau sekarang ini miliarder dunia Elon Musk sudah pegang kendali utuh terhadap platform Twitter. Tapi belakangan banyak kebijakan kontroversi yang doi bikin nih sampai-sampai bikin banyak orang hengkang. Kira-kira seberapa jauh esensi Twitter nantinya bakal bergeser ya?
FROYONION.COM - Sudah lebih dari dua pekan Twitter berganti kepemimpinan. Saat ini, platform media sosial berlambang burung biru itu sepenuhnya dikendalikan oleh CEO Tesla dan SpaceX Elon Musk.
Memang nggak bisa dipungkiri Civs, banyak orang yang kini ngerasa nggak nyaman bermain Twitter lagi. Bukan cuma gara-gara sosok pribadi Musk yang memimpin, tapi banyak kebijakan kontroversi yang dilakukannya.
Banyak gonjang-ganjing yang sebenarnya juga sudah muncul jauh sebelum proses pembelian platform itu dilakukan. Pro dan kontra muncul, kontroversi pun bertebaran selama paling enggak lima bulan terakhir.
Sederet selebriti internasional, pengiklan hingga beberapa tokoh kawakan lain ramai-ramai memutuskan untuk deactive akun mereka dan hengkang dari platform tersebut. Banyak juga pengguna Twitter yang migrasi ke aplikasi lain seperti Mastodon.
Menurut lo, kenapa sih sebenarnya platform media sosial sebesar Twitter bisa mengakibatkan keriuhan sebesar ini cuma gara-gara dibeli sama miliarder?
Sebenarnya ini nggak lepas dari esensi dan semangat awal Twitter yang didirikan oleh Jack Dorsey pada 2006 lalu. Kalau lo tahu, aplikasi ini awalnya cuma sebatas untuk berkomunikasi dengan basis SMS. Tapi ide itu kemudian berkembang dan akhirnya orang bisa mengirimkan tweet mereka dengan batas 140 karakter.
Tujuannya ya agar konten yang tersebar di Twitter itu mudah dibaca sama dunia modern. Perkembangan aplikasi Twitter pun melonjak cepat secara eksponensial dalam 10 tahun. Platform ini jadi sangat adiktif dan melahirkan banyak 'selebtwit', misalnya Arief Muhammad yang dulu dikenal dengan nama pengguna Poconggg.
Banyak fitur sederhana di Twitter yang kemudian berkembang dan dimanfaatkan buat berbagai alasan. Entah itu cari jodoh, baca berita, kampanye, atau cuma sekedar chit chat sama kerabat bisa lo lakuin di Twitter. Lewat platform ini, lo dapat kesempatan buat 'berteriak' ke dunia tentang apa yang lo pikirin secara bebas.
Kalau dulu sih, gue selalu menyematkan predikat 'the best platform to be real' ke Twitter. Lo nggak perlu memoles diri banyak-banyak kayak lo mau posting konten ke Instagram atau channel lainnya. Twitter jadi channel yang paling menyenangkan buat bercanda bahkan berdebat dengan pengguna lainnya tentang sesuatu (baca: twitwar).
Nah sekarang, buat lo tahu nih kalau dibalik akuisisi Twitter Musk punya misi untuk menjadikan platform tersebut sebagai sumber kebenaran alias penyedia informasi terakurat. Hal itu sempat dicuitkan sendiri oleh Musk melalui akun pribadinya @elonmusk pada 7 November lalu.
Semangat itu kalau lo perhatiin sebenarnya juga masih ambigu Civs. FYI, belakangan Musk sempat ngetwit soal politik di Twitternya. Hal itu dia lakukan di tengah pemilu sela Amerika Serikat, doi ngasih dukungan terbuka ke kandidat dari Partai Republik.
Nah, menurut lo itu kebenaran dan kebebasan yang dimaksud Musk sebelum mengakuisisi Twitter kah? Atau malah sebenarnya Twitter mau dijadiin alat sama miliarder itu buat agenda-agenda tertentu?
Kalau menurut pengamat komunikasi digital Universitas Indonesia Firman Kurniawan, kisruh akibat pembelian Twitter oleh orang terkaya di dunia itu masih belum sepenuhnya bisa kita simpulkan ujungnya akan bagaimana.
Banyak pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari langkah Musk itu, termasuk berbagai pihak di dunia global seperti Amerika atau bahkan anggota parlemen Inggris. Kekhawatiran, kata dia, pasti bakal terjadi karena apa yang dilakukan Musk ini pasti bisa mempengaruhi stabilitas demokrasi di berbagai negara.
"Perhatian terhadap langkah yang hendak dipilih Musk ini, menunjukkan Twitter telah menjadi instrumen relasi sosial masyarakat global, yang sangat mempengaruhi realitas," kata Firman.
Nah, kalau kata Firman sih kekhawatiran banyak orang itu wajar saja bisa terjadi. Makna kebebasan yang sering diumbar oleh Musk jadi nggak tunggal kayak apa yang selama ini kita rasain lewat platform tersebut.
Harus lo ingat juga tapi Civs, kalau Musk itu mau mengakuisisi Twitter itu awalnya gara-gara keresahannya soal platform itu. Dia ngerasa banyak algoritma Twitter yang nggak sepenuhnya membebaskan pengguna untuk berekspresi.
Belum lagi, Musk juga merasa kalau makin banyak bot yang beroperasi di platform tersebut sehingga jadi makin nggak realistis. Nah, berawal dari keluhan itu makanya Musk sangat menggebu-gebu buat bikin perubahan total lewat pengambilalihan perusahaan tersebut.
Jadi sebenarnya kalau kita lihat, belum tentu juga tujuah Musk membeli Twitter itu cuma buat cari cuan alias untung. Tapi, yang perlu jadi concern sekarang ini apakah memang tujuan baik itu bisa berubah jadi petaka?
"Kebebasan apa yang dimaksud Musk, jika dalam penerapannya selama ini terbukti dapat menimbulkan pertikaian dan permusuhan antar masyarakat di suatu negara," cetus dia lagi.
Maka dari itu sebenarnya semangat Musk juga harus diiringi dengan perbaikan kebijakan yang produktif ke depan. Hal itu lebih baik daripada doi ngurusin hal-hal receh yang sebenarnya nggak urgent untuk saat ini.
Bukan cuma masalah tentang kebebasan berpendapat, hoax atau berita bohong juga perlu jadi hal yang disorot usai Musk memimpin Twitter.
Banyak pakar di luar negeri sana yang mengkhawatirkan Twitter jadi platform hoax usai Elon mengungkap dukungannya terhadap Partai Republik. Pasalnya, hal tersebut bisa dimanfaatkan berbagai pihak untuk menjadikan Twitter sebagai alat politik.
Dalam politik, lo pasti tahu kalau itu sangat berkaitan dengan kampanye yang mungkin terkadang menyeret misinformasi atau rumor palsu.
Dilansir dari CNN Indonesia, organisasi Common Cause yang meneliti tentang isu tersebut mengungkapkan kalau Twitter saat ini lebih memerlukan waktu lama untuk memverifikasi keaslian sebuah informasi. Padahal, beberapa narasi bohong terkait pemilu sela di AS telah merajalela.
Wakil Presiden Common Cause Jesse Littlewood menduga kalau masalah itu berkaitan dengan kebijakan pemecatan karyawan Twitter secara besar-besaran pasca-akuisisi dilakukan Musk. Lembaga ini melihat kalau ada beberapa tweet yang seharusnya diturunkan, tapi masih berstatus 'dalam kajian' hingga beberapa hari.
Padahal, kata dia, proses pengkajian itu hanya perlu memakan waktu beberapa jam saja Civs.
"Kami tahu disinformasi akan meningkat setelah hari pemilihan," kata Littlewood.
Nah, kalau menurut gue sih hal ini lebih urgent buat segera diselesaikan Musk ketimbang membuat kebijakan kontroversi lainnya seputar Twitter. Misalnya kayak pembayaran untuk mendapat centang biru alias verified.
Jangan sampai platform yang menyenangkan ini jadi rusak cuma gara-gara salah kebijakan yang diambil sama petingginya. Ingat, Twitter punya pangsa pasar yang besar di seluruh dunia.
Balik lagi ke kata Firman tadi, kalau apa yang dilakukan sama Twitter bakal jadi realitas secara global sehingga punya pengaruh dan dampak yang besar. (*/)