
Sutradara anime One Piece Megumi Ishitani mengecam keras tren gambar AI bergaya Ghibli yang menurutnya merusak nilai seni. Bahkan dia berkata, "Kalian telah menodai Ghibli. Aku tak akan pernah memaafkan ini."
FROYONION.COM - Apa yang awalnya hanya tampak sebagai tren lucu di media sosial, kini berubah menjadi polemik besar dalam dunia seni dan animasi. Gelombang potret bergaya Ghibli yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan (AI) telah memicu perdebatan tajam antara teknologi dan integritas karya seni.
Di tengah riuhnya jagat maya, salah satu suara paling keras datang dari Megumi Ishitani, sutradara legendaris dari serial anime One Piece.
Lewat serangkaian unggahan di platform X (dulu Twitter), Ishitani mengecam tren ini habis-habisan, menyebutnya sebagai bentuk penodaan terhadap warisan Studio Ghibli dan Hayao Miyazaki.
You’ve tarnished Ghibli. I’ll never forgive you.
— Megumi Ishitani
BACA JUGA: BAGAIMANA MASA DEPAN ARSITEK DI ERA ARTIFICIAL INTELLIGENCE?
Bukan tanpa alasan Ishitani bereaksi sekeras itu. Sebagai sutradara yang dikenal atas dedikasi artistiknya, Ishitani tahu betul bagaimana rumit dan melelahkannya proses pembuatan satu episode anime.
Ia menyutradarai beberapa episode paling ikonik dari One Piece, termasuk episode 1015 yang dianggap banyak penggemar sebagai mahakarya dalam sejarah anime.
Ketika kerja keras dan "jiwa" yang dituangkan dalam produksi anime disamakan dengan hasil gambar instan dari AI, reaksi emosional seperti yang ditunjukkan Ishitani terasa sangat wajar.
Studio Ghibli bukan hanya dikenal karena gaya gambarnya yang khas, tetapi karena filosofi dan nilai-nilai kemanusiaan yang tertanam dalam setiap filmnya.
Hayao Miyazaki, otak di balik film populer Spirited Away, Princess Mononoke, dan My Neighbor Totoro, selalu menekankan pentingnya proses, emosi, dan ketulusan dalam menciptakan karya seni.
Miyazaki sendiri pernah menyatakan bahwa AI dalam seni adalah “penghinaan terhadap kehidupan itu sendiri.” Pandangan ini selaras dengan pernyataan Ishitani, yang menegaskan bahwa penggunaan AI untuk meniru gaya Ghibli adalah bentuk perendahan nilai dan kerja keras yang tak ternilai.
Tren AI ini tidak hanya dipopulerkan oleh pengguna biasa, tetapi juga telah menyebar di kalangan selebriti dan influencer.
Banyak yang berpartisipasi tanpa memahami konteks atau dampak etis dari tindakan mereka. Tanpa izin, karya seni yang selama ini dijaga dengan penuh kehormatan diproses ulang oleh algoritma untuk kesenangan sesaat.
Saya ingin tindakan hukum diambil. Saya tidak tahan melihat Ghibli diperlakukan begitu murah.
— Megumi Ishitani
Ishitani dengan tegas mempertanyakan legalitas tren ini. Dalam salah satu unggahannya, ia berkata, “Tidak mungkin Ghibli memberikan izin secara resmi, kan? Ini tanpa izin! Kenapa ini dibiarkan?”
Pertanyaannya mencerminkan kekhawatiran mendalam: bagaimana mungkin karya seni bisa begitu mudah diambil, ditiru, dan didistribusikan ulang tanpa persetujuan dari penciptanya?
Fenomena ini menjadi bagian dari isu yang lebih besar: perlawanan industri kreatif terhadap penggunaan AI yang tanpa batas dan tanpa etika. Saat ini, belum ada perlindungan hukum yang memadai bagi seniman, animator, dan studio-studio besar dari eksploitasi semacam ini.
Apalagi platform seperti X juga sempat mengumumkan bahwa konten yang diunggah ke platform mereka dapat digunakan untuk melatih AI pihak ketiga—membuka ruang pelanggaran yang semakin besar.
Ironisnya, setelah mengkritik tren ini, Ishitani justru menerima kiriman gambar AI bergaya Ghibli yang menggambarkan dirinya.
Menanggapi hal ini, ia menulis, “Saya rasa ini sangat mengerikan.” Reaksi ini mencerminkan betapa seriusnya ia memandang isu ini, bukan sebagai sekadar ketidaksukaan pribadi, melainkan sebagai bentuk perlawanan terhadap perampasan nilai-nilai seni.
Tidak semua kreator bersikap sekeras Ishitani. Eiichiro Oda, kreator One Piece, sempat menyetujui penggunaan generator AI dalam aplikasi baca One Piece Base.
Namun penting dicatat bahwa penggunaan tersebut dilakukan dengan persetujuan langsung dari Oda. Inilah esensi dari perdebatan: persoalan bukan hanya pada penggunaan AI, tetapi pada hilangnya prinsip izin, penghargaan, dan kehormatan terhadap karya.
BACA JUGA:
MARAKNYA PENGGUNAAN ARTIFICIAL INTELLIGENCE (AI), BAKAL JADI ANCAMAN BAGI PEKERJA KREATIF?
Sementara itu, kreator legendaris lainnya seperti Hirohiko Araki (JoJo’s Bizarre Adventure) juga telah mengutuk penggunaan AI dalam dunia seni. Banyak seniman kini mulai bersatu untuk menuntut regulasi yang lebih ketat terhadap eksploitasi AI, khususnya ketika menyangkut peniruan gaya visual yang sangat khas dan personal seperti milik Ghibli.
Ishitani menutup pesannya dengan sebuah kekhawatiran yang menggugah:
Apakah ada orang Jepang juga yang menggunakan Ghibli AI? Aku merasa putus asa… Ini adalah tindakan yang bisa menodai nilai dari merek Ghibli.
Pernyataan ini menjadi alarm bagi seluruh komunitas anime dan pecinta seni. Bila kita tak menjaga nilai-nilai di balik karya seni, maka AI bukan hanya akan mencuri gambar, tapi juga mencuri jiwa dari seni itu sendiri.
Lewat keberaniannya bersuara, Megumi Ishitani bukan hanya membela Studio Ghibli, tetapi juga membela martabat semua pekerja seni. Dalam dunia yang semakin dikuasai algoritma, suara seperti miliknya perlu didengar lebih keras—demi seni yang jujur, manusiawi, dan penuh makna. (*/)