Ikut bootcamp super mahal dapat apa? Dapat hikmahnya…
FROYONION.COM - Sebagai kaum millennial akhir yang banyak bergaul dengan kaum Gen-Z, penulis sering mendengar istilah “career switch” sering diagung-agungkan di tongkrongan. Katanya agar nggak ketinggalan zaman. Memang iya?
Menurut Amy Galo dalam artikelnya yang berjudul Setting the Record Straight on Switching Jobs, disebutkan bahwa kondisi pasar tenaga kerja sudah tidak lagi tentang bagaimana para pencaker (pencari kerja) memburu recruiter untuk mendapat pekerjaan.
Karena tuntutan zaman yang semakin canggih dan kondisi pasar yang dinamis, saat ini posisi recruiter-pencaker terbalik. Sekarang recruiter yang memburu para pencaker dan pencaker lebih sering nge-PHP recruiter.
Para recruiter ini sering berkelana di social media khususnya LinkedIn demi menemukan kandidat idaman mereka. Wah, kalau membahas LinkedIn, kita nggak bisa jauh-jauh dari istilah personal branding.
BACA JUGA: TERTARIK CAREER SWITCH KE INDUSTRI KREATIF? TONTON DULU ‘TODAY’S WEBTOON’
Apa itu personal branding?
Jual diri, but in a good way. Kamu mempromosikan keahlianmu dan memamerkan portofolio alias deretan projects yang pernah kamu kerjakan di media sosial. Ini biasa dilakukan oleh para desainer grafis, website developer, atau mungkin content creator dan content planner.
Selain memamerkan portfolio, sertifikat-sertifikat bootcamp sering ikut nampang juga di laman awal LinkedIn. Untuk urusan IT, sertifikat bootcamp Laravel, Python, atau C++ developer banyak ditemui.
Untuk mendapatkan sertifikat-sertifikat tersebut, kamu harus mengikuti serangkaian kursus dan lulus ujian. Durasinya beragam, mulai dari satu hingga enam bulan. Itulah kenapa dinamai “bootcamp”. Lalu, apa manfaatnya di dunia nyata?
Kedudukan portfolio yang didampingi oleh sertifikat bootcamp (masih) belum terkalahkan sampai saat ini. Nilai personal branding seseorang bisa meningkat tajam di mata recruiter pokoknya!
Semakin kelihatan benang merahnya kan sekarang? Karena dunia IT sedang ‘naik daun’, banyak pencaker yang ingin menguasai bidang tersebut. Sayangnya, dengan skills yang pas-pasan, sepertinya nggak mungkin bisa survive sendirian.
Bisa ditebak, mereka memburu bootcamp demi mendapat ilmu dan sertifikatnya. Lumayan kan, belajar dalam waktu singkat, dapat sertifikat, lalu terjun langsung ke bursa kerjanya, dapet gaji berjuta-juta. All hail career switch!!
Ada yang punya pemikiran demikian? Sini kita bahas dulu.
Penulis pengen menyoroti fenomena bootcamp yang mendadak viral karena orang-orang kebelet switch career ke dunia IT. Apa sih sebenarnya definisi switch career itu?
Nggak ada definisi yang saklek, soal istilah yang satu ini. Tapi, kalau diamati dari fenomena pada masyarakat, switch career berarti pindah haluan karir. Dari engineering ke IT, misalnya. Atau, dari developer PHP ke developer Laravel, misalnya.
Yang satu beda 180 derajat, yang satu sekitar 90 derajat saja (penulis bukan orang IT, jadi pakai ilmu kira-kira saja ya). Untuk kasus 90 derajat, kayaknya nggak perlu dibahas deh karena nggak terlalu ekstrim. Tapiiii, untuk yang 180 derajat, menarik!
Karena berbeda 180 derajat inilah, banyak considerations yang seharusnya sudah dilakukan oleh seseorang sebelum akhirnya memutuskan untuk mulai menggeluti IT.
Selain itu, peran social media yang menyorot “indahnya” bekerja di bidang IT, termasuk bisa bekerja dari mana saja, ikut menyumbang impulsivity seseorang untuk switch career.
Sayangnya, banyak orang yang kurang mempertimbangkan seberapa berat perjuangan untuk menjadi seorang ahli di bidang IT. Disclaimer dulu ya. Semua yang penulis tulis ini sifatnya adalah personal dan bersumber dari pengalaman pribadi. Penulis pernah ikut bootcamp IT karena FOMO.
Fenomena ini nggak bisa disalahkan karena nggak sedikit juga orang yang sukses besar setelah switch career. Tapi, sebaiknya, pikir-pikir dulu soal beberapa hal di bawah ini.
Pertama, harga bootcamp IT itu M-A-H-A-L!
Untuk penulis yang tinggal di Jogja dengan gaji yang alhamdulillah di atas UMR, penulis perlu pakai uang tabungan untuk mengikuti salah satu program bootcamp IT.
Dengan iming-iming belajar tiga bulan langsung bisa dapat client dengan bayaran tinggi, too good to be true sih kayaknya, begitu kata hati saya waktu itu. Tapi ya sudah, nothing to lose saja.
Benar saja, setelah lulus dari program bootcamp dan terjun langsung ke dunia kerja, dilirik sama client saja nggak! Portfolio penulis kalah jauuuh dibandingkan pelamar-pelamar lain. Usut punya usut, mereka punya pengalaman 5 tahun lebih.
Yhaa…
Kedua, kamu perlu dedikasi tinggi.
Untuk para first-starter, begitu para mentor penulis menyebut pemula dalam dunia pemrograman, akan sulit untuk bisa sukses kalau kamu nggak mendedikasikan waktu dan tenagamu untuk belajar.
Penulis pribadi memiliki pekerjaan tetap dan baru bisa menonton rekaman kelas di malam hari. Karena jadwal kerja yang padat, ikut kelas bootcamp secara “live” benar-benar jadi privilege buat penulis. Hasilnya bisa ditebak. Penulis kesulitan mengikuti materi.
“Kan bisa bertanya ke mentor, Kaks?”
Ya bisa sih. Tapi waktu itu penulis keburu pusing, jadi penulis memilih mencoba-coba sendiri dan mencari tutorial programmer India dari YouTube. It worked, tho!
Ketiga, kamu butuh laptop spek rata kanan mentok!
Sebagai first-starter, saya nggak menyangka bahwa komputer yang digunakan untuk kegiatan programming semahal itu. Bisa sih, pakai laptop dengan spesifikasi standar. Kamu cuma perlu sering istighfar aja biar dosa-dosa akibat misuh soal laptop lemot.
Terakhir, otakmu harus kuat.
Programming deals with logic. Supaya programmu bisa berjalan, logikamu harus jalan duluan, begitu kata salah satu mentor saya di kelas. Saya baru memahami perkataan ini setelah mengerjakan project pertama penulis di kelas bootcamp. Ternyata otak penulis nggak sekuat itu.
Banyak perintah yang nggak jalan di program saya. Waktu itu penulis nggak sendiri. Banyak juga peserta yang kesulitan melogika. At the end of the day, penulis tetap menyelesaikan kursusnya, dapat sertifikat, lalu… mojok di kamar.
Penulis nggak dapet dagingnya sama sekali.
Kayaknya cerita penulis ini bully-able ya. But believe me, sebagai pekerja bergaji standar dengan waktu kerja 9-5, diiming-imingi gaji dua digit dan bisa bekerja kapanpun dan di manapun adalah sebuah tawaran yang menyegarkan. Apalagi kalau semuanya bisa ter-achieve dalam waktu super singkat.
Tulisan ini tidak bertujuan untuk menakut-nakuti teman-teman first-starter yang ingin terjun ke dunia IT. Tapi, memang ada baiknya untuk memikirkan (setidaknya) tiga aspek yang saya sebutkan di atas.
Apakah kamu siap dengan beratnya persaingan di dunia IT? Apakah kamu mampu bertahan di tengah gempuran orderan client yang banyak mau? Bisakah kamu bekerja dengan deadline yang mencekik? Mampukah kamu untuk bekerja di luar jam kerja orang normal? Kalau jawabannya “nggak”, well, you know what that means.
Berkarir di dunia IT memang terlihat mentereng, apa lagi jika kita melihat soal gaji. Tapi yang perlu dipahami, semakin tinggi imbalan, semakin besar pula tantangan dan tanggung jawab yang diemban.
So, masih pengen switch career ke dunia IT? (*/)