Tech

PRO-KONTRA TERKAIT PENANGKAPAN CEO TELEGRAM PAVEL DUROV

Kabar penangkapan CEO Telegram, Pavel Durov menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, termasuk Elon Musk. Banyak yang menilai penangkapan ini sebagai ancaman bagi kebebasan berbicara.

title

FROYONION.COM - Meski sudah nyaris dua minggu berselang, kabar penangkapan Durov Patel di Prancis masih belum kehilangan gemanya, bahkan setelah CEO Telegram itu bebas bersyarat dengan membayar uang jaminan yang jumlahnya tak sedikit.

Peristiwa mengejutkan ini memancing beragam respon dan perdebatan dari banyak pihak. Salah satunya dari Elon Musk yang mengibarkan tagline #FreePavel di akun X miliknya yang mengiringi sebuah unggahan video.

Dalam video tersebut Durov tengah terlibat dalam sebuah wawancara. Secara garis besar miliarder asal Rusia tersebut mengangkat pentingnya peran media sosial seperti Telegram dan X sebagai sarana untuk bertukar pendapat yang menjadi semangat demokrasi.

Dengan kata lain, Elon Musk secara tersirat mengungkapkan bahwa penangkapan Pavel Durov di Prancis bisa menjadi ancaman dan pelanggaran bagi kebebasan berpendapat di media sosial.

BACA JUGA: BERANTAS FILM BAJAKAN DI TELEGRAM, PLATFORM VIDIO DAPAT DUKUNGAN DIAN SASTRO

Perdebatan lainnya, yakni soal apakah perusahaan teknologi mesti bertanggung jawab atas segala konten ilegal yang diunggah oleh pengguna platform milik mereka?

Namun di lain sisi, tak dapat diabaikan, Telegram menyimpan kotroversinya sendiri yang berbeda dengan platform perpesanan lainnya, seperti WhatsApp dan Signal.

DUROV MENGHADAPI 12 TUNTUTAN

Setelah penangkapan, Pavel Durov menjalani proses penyelidikan secara rahasia oleh pihak berwenang Prancis yang menjadi prinsip penting dalam sistem peradilan mereka.

Dalam artikel yang ditayangkan Techcrunch, dilaporkan bahwa C3N yang merupakan badan pemberantasan kejahatan dunia maya, bersama ONAF yang merupakan badan anti-penipuan nasional telah terlibat dalam penyelidikan tersebut.

Total secara keseluruhan Pavel menghadapi 12 tuntutan yang dapat dibagi menjadi dalam empat kategori, yaitu:

Pertama, CEO Telegram itu telah didakwa mendukung penyimpanan dan penyebaran konten pornografi terhadap anak-anak (CSAM), memfasilitasi perdagangan narkoba, dan memfasilitasi penipuan terorganisasi serta transaksi lainnya.

Kedua, pengadilan mengklaim bahwa Telegram menolak untuk bekerja sama dengan penegak hukum ketika mereka mengajukan permintaan resmi untuk akses terhadap informasi atau dokumen.

Ketiga, Pavel Durov menghadapi beberapa tuntutan terkait fitur mata uang kripto yang ditambahkannya dalam Telegram. Fitur itu disebut belum mendapat sertifikasi resmi dari otoritas Prancis.

Keempat, Durov dituduh telah terlibat dalam organisasi kriminal dengan tujuan melakukan kejahatan, hingga tuduhan pencucian uang berkat mata uang kripto Toncoin yang diperdagangkannya di Telegram.

Namun, ditekankan juga bahwa penangkapan Durov tidak ada kaitannya dengan undang-undang layanan digital (DSA) di Uni Eropa, yang merupakan regulasi khusus terhadap teknologi.

Bahkan presiden Prancis mengkonfirmasi bahwa penangkapan Durov tak ada hubungannya dengan agenda politik, mengingat sering kali Telegram digunakan Rusia untuk melakukan propaganda yang merugikan Barat.

KONTROVERSI TELEGRAM

Penangkapan Durov tak lepas dari kontroversi Telegram yang sering dianggap sebagai lingkungan yang subur untuk segala aktivitas ilegal.

Sebagai misal, pada Juni lalu Froyonion membahas soal aksi platform Vidio dalam memerangi konten streaming ilegal di Telegram termasuk juga apa saja kontroversi dari platform yang nyaris memiliki semiliar pengguna di seluruh dunia.

Telegram sejak awal mengklaim dirinya sebagai platform berkirim pesan ‘paling aman’ dalam melindungi privasi pengguna jika dibandingkan kompetitornya seperti WhatsApp dan Signal.

Bahkan berdasarkan laporan dari The Guardian, belakangan Durov menyindir dua pesaingnya itu yang dianggap sudah ada ‘cawe-cawe’ dari pemerintah AS, sehingga keamanan privasi pengguna patut dipertanyakan.

Keunikan atau perbedaan mencolok dari Telegram dengan kompetitornya terletak pada enkripsi end-to-end yang mereka usung.

Telegram tak menawarkan enkripsi end-to-end secara default yang artinya hanya pihak pengirim dan penerima pesan saja yang bisa melihat isi pesan tersebut.

Telegram justru mengusung enkripsi end-to-end berbasis opt-in yang sering kali disebut dengan “obrolan rahasia” atau “secret chat”. 

Dengan kata lain, model enkripsi ini hanya mencegah isi pesan tak dapat dibaca oleh orang random yang tak mendapat akses dan bergabung dalam “obrolan rahasia”

Selain itu, mereka yang terlibat dalam obrolan tersebut tidak bisa melakukan screenshot yang akan membocorkan isi pesan tersebut. 

Bahkan uniknya, di dalamnya juga terdapat fitur self-destruct yang memungkinkan isi pesan terhapus dengan sendirinya tanpa tersimpan dalam server Telegram.

Tak hanya itu saja, meski Telegram tak menyediakan bot untuk tugas-tugas bersifat otomatis, pengguna bisa membangun bot mereka sendiri dan menaruhnya di sana.

Segudang fitur ini, dengan keamanan enkripsi yang tinggi, menjadikan Telegram sebagai surga bagi tiap orang yang mengutamakan privasi, termasuk mereka yang mungkin mencoba menghindari pengawasan penegakan hukum.

Hal inilah yang memungkinkan Telegram digunakan untuk berbagai aktivitas ilegal, seperti tempat berkumpulnya organisasi kejahatan dan terorisme, perdagangan narkoba, distribusi konten bajakan dan pornografi.

Bahkan berkat mata uang digital dan kripto yang mereka terbitkan, memungkinkan Telegram menjadi tempat untuk pencucian uang hasil dari kejahatan.

Kontroversi lainnya yang paling banyak dikeluhkan oleh pemerintah dan penegak hukum adalah moderasi konten yang terkesan “lunak” sehingga membuat platform ini menjadi sarang bagi konten ilegal, salah satunya pornografi anak.

Yang paling mengejutkan adalah, meski memiliki nyaris semiliar pengguna, hanya ada 30 teknisi yang bekerja menjalankan aplikasi tersebut.

Kontroversi Telegram juga diikuti dengan kontroversi Pavel Durov sendiri, yang memegang banyak paspor dari berbagai negara.

Pada 2014 lalu, misalnya, ia menuduh sekutu Kremlin merebut hak kepemilikan VKontakte, jejaring sosial pertamanya yang berbahasa Rusia.

Saat itu Durov menolak bekerja sama untuk menyerahkan data pengguna yang terlibat dalam aksi protes di Rusia pada 2011-2012 dan aksi demonstrasi di Ukraina pada 2011-2014.

Kasus inilah yang kemudian membuatnya lari ke Dubai yang dianggap punya regulasi netral dan membangun bisnisnya di sana.

PENANGKAPAN DUROV ANCAMAN BAGI KEBEBASAN BICARA?

Dukungan terhadap Durov terus mengalir dari banyak pihak, salah satunya Elon Musk (pemilik X) dan Edward Snowden (juru kampanye privasi). 

Banyak pihak menilai bahwa penangkapan Durov merupakan pelanggaran keras terhadap kebebasan bicara di platform jejaring sosial.

Bahkan banyak yang menilai, penangkapan Durov adalah upaya pemerintah untuk meminta backdoor menuju Telegram yang memungkinkan mereka melakukan pengawasan.

Selain itu unit yang melakukan penangkapan ini, yakni unit J3 cybercrime yang dipimpin oleh Brousse, juga dianggap menyimpan kejanggalan.

Meski punya otoritas penting di Prancis dan punya hak melakukan penangkapan di seluruh negeri, J3 dinilai sebagai unit kecil dengan sumber daya terbatas yang dikirim untuk mengatasi kejahatan paling serius sebagaimana 12 tuntutan yang disampaikan pengadilan.

Unit J3 hanya memiliki lima jaksa, jika dibandingkan dengan unit cybercrime di Swiss yang punya 55-60 jaksa.

Saat ini Durov mendapatkan pembebasan bersyarat namun tak diizinkan meninggalkan Prancis selama proses penyidikan berlangsung.

Banyak pihak menantikan kelanjutan kabar penangkapan ini dan menunggu reaksi dari CEO Telegram tersebut. 

Apakah ia akhirnya bakal melunak dan membiarkan pihak luar ‘cawe-cawe’ dan menelanjangi privasi pengguna Telegram? Atau seperti sebelumnya, menolak dengan keras dan membuat kesal para penegak hukum? (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Shofyan Kurniawan

Shofyan Kurniawan. Arek Suroboyo. Penggemar filmnya Quentin Tarantino. Bisa dihubungi di IG: @shofyankurniawan