Nggak bisa disangkal pandemi bikin para kreator konten ‘babak belur’. Pitchplay hadir untuk memberikan solusi supaya kreator konten tetap bisa survive. Gimana caranya? Simak wawancara Froyonion dengan CEO Pitchplay Fauzan Rezda baru-baru ini.
FROYONION.COM - Pandemi dua tahun belakangan ini membuat banyak pelaku industri kreatif kembang-kempis bertahan hidup. Saat semua orang disuruh diam di rumah, otomatis konser dilarang, kafe-kafe ditutup, pameran ditunda. Sementara itu, bikin konten di media sosial juga nggak otomatis menutup kebutuhan hidup.
Fauzan Rezda juga menjadi salah satu orang yang menyaksikan kondisi memprihatinkan dunia kreatif saat itu. Banyak pekerja di industri kreatif misalnya para musisi yang terkena dampak pandemi akibat nggak bisa bekerja dan terhalang kondisi untuk mendapatkan pemasukan selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan pemerintah.
Sebagai penyuka musik, Fauzan dan dua orang temannya yang masih satu circle yakni Egi dan Daus trenyuh menyaksikan ini. Terutama saat mereka menemukan ada satu musisi favorit mereka yang dikabarkan kesejahteraannya turun drastis begitu Covid-19 merebak.
“Kami sebenernya anak-anak band yang gagal. Ceritanya Egi kasih link ke kami yang isinya menyatakan bahwa salah satu gitaris metal terkenal di masa kami masih SMA sekarang nasibnya mengenaskan. Seketika kami berpikir bahwa ada yang salah dalam bidang pekerjaan ini sehingga orang yang ada di dalamnya nggak bisa settle secara finansial dan pekerjaannya dalam jangka panjang,” ungkap Fauzan soal awal mula ide Pitchplay muncul.
Tergerak untuk memecahkan masalah kesejahteraan para seniman dan kreator itu, Fauzan dan dua rekannya tadi pun memutuskan untuk berbuat sesuatu yang nyata. Kemudian ketiganya sepakat untuk mencoba merintis sebuah platform yang bisa menjadi marketplace bagi para kreator konten seperti musisi dan penyanyi untuk tetap berkarya dan mencari nafkah.
“Saat itu saya masih kerja di Jakarta dan teman-teman saya masih kerja di Bandung. Ide awalnya kami ingin cari solusi untuk bantu temen-temen musisi di era pandemi saat panggung nggak ada, pemasukan selain manggung juga melemah,” jelas Fauzan pada Froyonion.com Senin (13/ 4) dalam sebuah wawancara virtual.
Dalam mewujudkan Pitchplay, Fauzan mengaku yang paling makan banyak biaya adalah teknologi. Tapi teknologi tersebut dibuat oleh Pitchplay sendiri.
Masing-masing pendiri Pitchplay yang masih bekerja penuh waktu juga harus berkorban dengan ‘bakar uang’ di tahun pertama mereka merintis. Dan seiring perjalanan mereka menerima pendanaan dari 3 angel investors, yang juga dari kaum profesional dan dipilih berdasarkan visi yang sama mengenai masa depan industri konten Indonesia.
“Kami sama-sama sepakat bahwa dari sudut pandang pangsa pasar (market share), konten berbayar masih 85% berupa model berlangganan (subscription), 15% adalah pay per view. Pitchplay berada di kelompok kedua yang 15% ini. Kecil memang tapi jika pemainnya sedikit, itu bakal jadi advantage buat kami,” jelas Fauzan.
YANG TAK KALAH MENARIK: "EMANG YOUTUBE MAKIN NGGAK RAMAH BUAT KREATOR KONTEN?”
Pertama-tama mereka membuat website sederhana untuk melihat apakah memang ada pasar dan permintaan. Dan memang ada permintaan dari sejumlah musisi.
“Cuma’ bonusnya’ adalah di tengah perjalanan, banyak teman dari industri lain (selain musik -pen) juga ternyata reach out ke kita dan bilang kalo mereka juga butuh nih tempat kayak gini buat distribusi karya,” ujar Fauzan yang mendapati para kreator konten dari bidang olahraga dan media yang berminat masuk dan menjadi pengguna marketplace barunya. Bagi mereka masalahnya masih sama yakni isu monetisasi konten yang masih rumit.
Menurut Fauzan, Indonesia adalah negara yang punya kelebihan dan kekurangan dalam industri konten.
“Kelebihannya adalah massa kita kan gede banget. Jadi revenue stream dari iklan sangat powerful. Makanya para kreator yang high profile itu model mereka lebih banyak ke bentuk endorsement dan iklan,” jelasnya.
Selain itu, Fauzan mengklaim bahwa dari riset mereka ada 4 dari 5 orang di pasar mereka ada di kota-kota kecil dan pembelian mereka di Pitchplay. Jadi mereka ini malah nggak biasa beli langganan (membership) OTT kayak Netflix, Spotify, karena mereka merasa terikat ke satu sosok kreator aja. Mereka yang ada di kota kecil juga punya lebih banyak opsi daripada mereka yang ada di kota besar. Saat di kota besar cara pembayaran melalui GoPay dan Ovo sudah lazim, di kota-kota kecil masih ada yang belum familiar dengan itu jadi Pitchplay menyediakan cara pembayaran via Alfamart, transfer bank, dan cicilan.
Tapi tantangannya juga adalah karena para kreator konten kita udah terlalu familiar dengan endorsement dan iklan (yang relatif mudah didapet dibandingkan jualan konten langsung).
“Tantangan kedua para kreator juga ada yang masih belum terbiasa buat konten video. Bahkan kita jumpai ada musisi yang belum terbiasa membuat konten video,” ujarnya.
Sebab itu, Fauzan sadar bahwa para kreator ini juga perlu dibantu oleh para production house (PH) dan komunitas.
Pekerjaan rumah Pitchplay sekarang adalah memberikan edukasi juga bagi para kreator konten supaya bisa mengadopsi model bisnis ala Pitchplay ini dan bisa memaksimalkannya.
Setelah 2 tahun dirintis, hingga saat ini Pitchplay telah meluncurkan website barunya, serta memperkenalkan fitur live streaming berbayar. Beda dari live Instagram atau Twitter Space yang tak memungkinkan untuk dimonetisasi.
“Yang dalam waktu dekat akan diluncurkan adalah aplikasi mobile versi terbaru. Bakal ada dark mode dan semua fitur dikumpulkan di dalamnya. Sekarang konsentrasi untuk mengedukasi dan mengajak lebih banyak kreator dan orang mengadopsi Pitchplay,” tuturnya.
BACA JUGA: "2 MUSISI INDONESIA YANG PATUT DIJADIKAN MATA KULIAH KAYAK TAYLOR SWIFT"
Menurut Fauzan, belum ada platform seperti Pitchplay di tanah air. Meski awalnya menggunakan standar pay per video tapi kemudian mereka berupaya untuk berbeda dan lebih baik dalam hal produk dan model bisnis daripada platform acuan awal mereka seperti Patreon dan OnlyFans.
“Pitchplay adalah all-in-one service untuk para kreator konten yang ingin jualan konten video, audio, menawarkan langganan (membership) dan live streaming yang eksklusif dan berbayar, lain dari live streaming di medsos yang gratis,” terang Fauzan panjang lebar soal kelebihan marketplace khusus konten ini.
Selain itu, Fauzan mendorong supaya para pengguna bisa mengapresiasi karya-karya para kreator konten ini.
“Bukan cuma beli lalu menikmati konten tapi juga ada close circuit collectible items. Gambarannya kalau seorang pengguna membeli sesuatu di Pitchplay, di profil bakal terpampang kepemilikan item itu, yang bisa berupa merchandise,” tutur sang CEO.
Gimana dengan masalah pembajakan yang rawan banget terjadi di dunia maya?
Fauzan udah menyiapkan strategi mencegah pembajakan juga, Civs. Teknologi sudah diimplementasikan untuk mencegah hal itu terjadi, kata Fauzan. Tapi harus dipahami bahwa itu nggak bisa 100% mencegah tindak pembajakan karena orang juga pasti banyak akalnya.
Karena itu, Fauzan memilih untuk membangun budaya yang lebih kondusif bagi para kreator konten, bukan budaya yang pro pembajak konten.
“Konten mungkin bisa didapet dari sumber lain (pembajak -pen) tapi kepemilikannya nggak. Jadi kita juga coba bangun ekosistem antara para kreator dan penikmat konten,” ungkapnya.
Ditanya mengenai keunikan Pitchplay yang bisa membedakan dari kompetitor yang sudah ada, Fauzan menjawab bahwa Pitchplay nggak cuma menampung kreator teks (penulis fiksi dan nonfiksi) dan gambar (animator, fotografer, komikus).
“Kami dari awal, keunggulan kami adalah infrastruktur untuk konten video yang lebih kuat. Jadi kami lebih siap menghadapi risiko pembajakan, perekaman layar (screen recording), dan sejenisnya,” jawabnya.
Di samping infrastruktur video yang lebih mapan, Pitchplay juga siap membidik segmen yang lebih luas. Mereka tak cuma menampung para kreator individual atau perorangan tapi juga organizational creators seperti perusahaan media, klub olahraga, label besar, dan pihak-pihak yang gencar menyediakan kelas-kelas online dan webinar yang akan terbantu dalam distribusi konten dalam skala besar karena tak perlu secara manual lagi mengerjakannya.
Saat ini terjadi juga pergeseran di industri musik. Para musisi tak lagi bisa mengandalkan penjualan album layaknya dulu. Di dunia digital pun pemasukan musisi nggak begitu banyak. Sekarang malah musik digunakan musisi sebagai alat marketing untuk menjual item lain misalnya merchandise, panggung, dan album fisik, kata Fauzan soal kondisi para musisi yang belum punya nama di mana-mana. Jadi mereka harus gain traction dengan punya followers banyak dan impression yang bagus dulu baru memonetisasi lewat tim sales sendiri atau gabung ke agensi. Pitchplay nggak mengubah alur ini tapi justru berusaha memberikan alternatif pemasukan baru, kata Fauzan.
Di Pitchplay, ada sejumlah strategi konten yang bisa dicontoh. Yang pertama adalah membuat konten eksklusif khusus di Pitchplay dan yang kedua dengan menawarkan waktu. Maksudnya di sini para penikmat konten bakal dapat menikmati konten pertama di Pitchplay lalu beberapa waktu kemudian baru dirilis di YouTube.
Salah satu kreator yang sudah menggunakan Pitchplay sebagai platform distribusi dan monetisasi kontennya adalah Burgerkill, sebuah band metal asal Ujungberung, Bandung, yang udah berdiri sejak 1995. Mereka menyuguhkan konten berupa konser virtual yang dikombinasikan dengan dokumenter.
“Di sini kami sadar bahwa fanatisme penggemar dan potensinya besar banget. Bahkan ada fans mereka yang belum punya akun Ovo dan GoPay untuk bayar akses pun minta dibantuin buka akun. Wow gila! Kita kaget juga sih,” ungkapnya.
Sekumpulan musisi asal Majalaya, Jabar yang dinamai “Maja Raya” juga sempat menyita perhatian di Pitchplay karena ternyata fanatisme fans tinggi. Mereka jamming di hutan yang di dalamnya Asep Balon, Fikri Nurrohman bernyanyi bergantian.
“Saat kami menanyai salah satu penggemar soal alasan mau beli konten Maja Raya ialah karena cuma ingin mendengarkan quotes dari Fikri si penyanyi,” terangnya. Dari situ ia menyimpulkan mereka yang menjadi pengguna Pitchplay biasanya tertarik pada cerita, bukan karena musik atau lagunya yang bisa didapat gratis di platform lain. Jadi kalau cuma sekadar live jamming dari musisi, ia kurang menyarankan.
Karena platform seperti Pitchplay ini baru yang pertama di Indonesia, bisa dimaklumi jika kebanyakan kreator masih belum paham bagaimana menggunakannya secara optimal. Karena itulah tim Pitchplay juga mengaku mereka kadang terlibat proses brainstorming para kreator terutama soal preferensi pasar, perspektif baru yang segar serta strategi marketing dengan berdasarkan data yang sudah dimiliki Pitchplay.
Saat ini Pitchplay sedang fokus menggarap kreator yang sudah siap dalam aspek suplai dan permintaan. Merchandise juga menjadi fokus penggarapan Pitchplay karena peluangnya yang bisa menjadi pemasukan yang signifikan.
Meskipun ceruk yang digarap Pitchplay memang niche banget tapi menurut Fauzan kualitas justru yang menjadi keunggulannya, bukan kuantitas. Sebab di sini ikatan emosionalnya lebih kuat karena terbangun sebuah sense of community.
BACA JUGA: “MUSISI BISA EKSIS LEWAT NFT LHO!”
Pitchplay memahami bahwa ada sebagian kreator konten terutama musisi yang berpaham idealis dalam berkarya. Mereka ini biasanya musisi-musisi indie yang tak begitu menghiraukan keuntungan.
Karena itulah Pitchplay juga menerapkan strategi yang berbeda saat akan mengajak tiap kreator konten yang jenisnya idealis seperti ini.
“Kami harus menggunakan seni untuk mendekati para seniman ini. Nggak bisa dengan iming-iming penjualan dan pemasukan. Pitchplay mencoba memahami kebutuhan mereka dan menjalin kerjasama,” terang Fauzan.
Ditanya apakah Pitchplay juga akan membidik kreator konten asing untuk bergabung, Fauzan mengatakan masih belum dalam waktu dekat ini. Itu karena pihaknya masih fokus menggarap potensi dalam negeri. Jika nantinya ada kreator konten di luar Indonesia yang bergabung pun sebenarnya bisa saja, karena dalam metode pembayaran juga sudah ada Apple Pay yang diterima secara global. Belum lagi ada aspek legalitas yang mesti dipikirkan masak-masak.
Fauzan sendiri berharap bahwa Pitchplay menjadi sebuah alternatif solusi bagi para kreator konten agar bisa hidup lebih sejahtera dan mapan. Jika belum bisa membuat mereka kaya raya pun, cukup dengan memberi satu sumber pendapatan bagi mereka menurut Fauzan sudah sangat membantu mereka mengingat tak banyak yang bisa diraup dari dunia digital selain paparan (exposure) ke khalayak ramai. Karena faktanya, popularitas di era digital ini tak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan para kreator konten. (*/)
BACA JUGA: "DENGERIN MUSIK SELALU GENJOT KREATIVITAS. MASAK IYA?"