Pemerintah akhirnya melarang TikTok Shop lewat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023. Apakah sudah tepat?
FROYONION.COM - Sekitar dua bulan lalu, Ferry Irwandi di kanal YouTube-nya membagikan soal sisi gelap TikTok yang dianggap dapat mengancam keberadaan para pelaku usaha lokal alias UMKM. Ancaman itu disebutnya dengan nama Project S.
Project S dianggap sebagai cara TikTok untuk mencari sebanyak-banyaknya informasi atas produk apa saja yang paling laku di pasar Indonesia. Setelah memperoleh informasi tersebut, barang-barang tersebut bakal diproduksi secara massal di Tiongkok.
Karena dibikin sebanyak-banyaknya di pabrik, ongkos produksinya pun bisa ditekan sedemikian rupa. Alhasil, produk tersebut bisa dijual dengan harga miring di pasar Indonesia. Jelas, lebih terjangkau ketimbang produk sejenis yang dihasilkan oleh pelaku usaha lokal atau UMKM.
Akibatnya, konsumen banyak membeli produk secara online di TikTok Shop. Terlebih lagi ada diskon nggak ‘ngotak’ dan subsidi bebas ongkir yang begitu memanjakan konsumen.
Sebagai konsumen, kita tentunya bakal mencari harga yang semurah-murahnya. Nggak mungkin juga, ada dua barang sejenis dengan kualitas sama, tapi kita justru memilih yang lebih mahal.
Selain itu, ada kecurigaan kalau pihak TikTok sangat mungkin menyalahgunakan algoritma mereka sehingga mereka bisa menaikkan produk impor asal Tiongkok tersebut dan menenggelamkan produk kompetitor. Hal inilah yang kemudian dianggap dapat mengancam keberlangsungan dari UMKM lokal kita. Bahkan jika nggak segera diatur regulasinya, TikTok Shop dianggap dapat melemahkan ekonomi Indonesia.
Kemajuan masif era media sosial pada akhirnya memang banyak mengubah banyak hal. Salah satunya adalah keberadaan e-commerce atau marketplace yang mengubah perilaku kita dalam berbelanja. Bahkan masa pandemi membuat kebiasaan belanja secara online semakin mengakar sejalan dengan banyaknya toko offline yang dilarang buka gara-gara isolasi mandiri.
Meski pandemi telah tuntas dan banyak toko offline telah kembali buka, nggak lekas membuat kebiasaan konsumen buat berbelanja online surut. Belanja online masih menjadi pilihan bagi para konsumen yang mager untuk belanja ke toko dan tentunya yang mengincar harga murah.
Namun TikTok Shop adalah kasus yang berbeda jika dibandingkan dengan marketplace lainnya seperti Shopee, Tokopedia, atau Bukalapak. Hal ini karena TikTok pada awalnya masuk ke Indonesia sebagai media sosial belaka dan bukannya tempat bertransaksi maupun belanja online.
Mengingat hingga saat ini TikTok dianggap sebagai media sosial paling laris dan populer di dunia, hadirnya TikTok Shop jelas bukanlah lawan yang seimbang bagi e-commerce kompetitornya yang dari awal memulai sebagai toko online.
Sebab sebagai media sosial, TikTok sudah punya massa atau pengguna aktif yang sangat besar sehingga nggak sulit bagi mereka buat menjaring konsumen sebanyak-banyaknya. Dalam hal ini, TikTok nggak lagi hanya sebuah media sosial melainkan telah menjelma sebagai social commerce.
Ini juga salah satu alasan yang kemudian membuat TikTok Shop dilarang oleh pemerintah pada September 2023 lalu. Pelarangan ini tercantum pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023.
Dalam aturan tersebut, ada poin yang menyebutkan bahwa social commerce (media sosial merangkap e-commerce) dilarang buat memfasilitasi transaksi pembayaran pada sistem elektroniknya. Social commerce seperti TikTok Shop hanya diperbolehkan menjadi sarana promosi produk layaknya iklan di televisi.
Selain itu ditulis juga poin tentang pelarangan marketplace dan social commerce untuk bertindak sebagai produsen. Itu artinya, pemilik platform seperti TikTok nggak diperbolehkan memproduksi barang mereka sendiri. Mereka hanya boleh bertindak sebagai tempat jualan, bukan pabrik.
Bahkan dalam aturan tersebut, termaktub juga poin yang melarang pemilik platform untuk menguasai data pengguna, utamanya dari produsen yang berjualan di platform tersebut. Poin yang satu ini sepertinya merupakan respon dari kecurigaan pemerintah atas TikTok Shop yang mengumpulkan data pengguna untuk kemudian mereka pakai dalam menciptakan produk mereka sendiri.
Dalam podcast Dokter Tirta yang membahas soal gap antargenerasi, ada satu hal yang menarik perhatian penulis. Yakni pendapat Dokter Tirta soal bagaimana tiap generasi memperlakukan media sosial yang mereka miliki.
Pada awalnya media sosial menjadi sarana untuk saling berinteraksi sosial secara daring. Namun nggak lama kemudian, di tangan generasi Milenial yang mulai gede di era awal kemunculan internet, memanfaatkan media sosial sebagai sarana buat jualan.
Salah satu platform media sosial saat itu yang kemudian menjelma menjadi tempat jualan (social commerce) adalah Kaskus. Para generasi Milenial ini kemudian membangun FJB (alias Forum Jual Beli) di Kaskus dan menciptakan istilah-istilah unik seperti cendol, bata, hingga bintang buat ngasih rating suatu akun. Istilah kerennya sekarang ini yaa akun centang biru begitulah.
Setelah datangnya e-commerce betulan, seperti Toko Bagus yang kemudian berganti menjadi OLX, setelahnya datang juga Bukalapak dan kawan-kawannya, FJB di Kaskus mulai ditinggalkan. Alasannya jelas, marketplace yang populer sekarang ini lebih user friendly dan seenggaknya jauh lebih aman buat dipakai transaksi.
Lalu kenapa sekarang TikTok Shop diributkan?
Kembali lagi di awal, sudah jelas izin TikTok di Indonesia adalah sebagai media sosial dan bukannya e-commerce. Hal ini tentunya melanggar regulasi bagi tiap platform e-commerce yang ingin masuk ke Indonesia, yang diharuskan membuka kantor di Indonesia dan ikut terlibat membuka lapangan kerja.
Posisi TikTok yang cenderung rancu, antara platform media sosial sekaligus merangkap e-commerce membuatnya seolah kebal dari syarat administratif dan kewajiban membayar pajak. Itu berarti juga, jika TikTok masih ingin membuka TikTok Shop di Indonesia, mereka harus mengikuti syarat administratif yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia.
Selain TikTok Shop, bisa dibilang Facebook yang kini sudah menyediakan fitur marketplace di dalamnya, sebetulnya juga agak-agak mirip social commerce. Hanya saja, di sana nggak ada fasilitas buat bertransaksi secara langsung melalui platform tersebut. Konsep marketplace di Facebook bisa dibilang yaa mirip-mirip sama konsep FJB di Kaskus dulu.
Dalam pidatonya, Jokowi mengungkapkan dampak dari TikTok Shop ini sangat dahsyat bagi pelaku UMKM lokal. Dengan nada bicara khas Jokowi yang terkesan 'alon-alon asal kelakon' (pelan-pelan asal selamat) itu, kata 'dahsyat' di sana menjadi kata yang kuat. Seolah kata itu ditulis dengan huruf kapital sekaligus di-bold.
Ribut-ribut soal TikTok Shop ini sebetulnya sudah terdengar sejak beberapa bulan lalu. Bahkan pernah dibahas dalam rapat negara. Namun ada kesan pemerintah baru ambil tindakan setelah video kondisi lapak pedagang di Tanah Abang yang sepi menggegerkan jagat maya.
Mungkin memang lebih baik terlambat ketimbang nggak sama sekali. Tetapi pertanyaan selanjutnya, apa langkah ini bakal efektif?
Menjawab pertanyaan ini, penulis sepakat dengan pendapat dari Nailul Huda yang merupakan Peneliti Ekonomi Digital INDEF. Mengutip Kompas, blio menyebutkan bahwa langkah pemerintah ini belum tentu efektif. Menurut blio, pemisahan media sosial dan e-commerce adalah hal yang biasa dan belum tentu akan membuat ramai kembali Pasar Tanah Abang yang kehilangan pelanggan.
Penulis juga setuju, daripada melarang TikTok Shop sepenuhnya, pemerintah sebaiknya membuat regulasi agar antara social commerce dan e-commerce atau toko offline bisa setara baik dari administratifnya maupun perpajakannya.
Juga, demi melindungi produk lokal dari gempuran produk impor asal Tiongkok, pemerintah dapat melarang insentif (berupa gratis ongkir atau diskon) yang diberikan pada produk impor oleh pihak platform. Memperketat aturan produk impor juga dibutuhkan agar produk lokal dapat bersaing.
Jika dirunut, polemik antara TikTok Shop dengan toko offline punya irisan serupa dengan polemik yang terjadi antara transportasi online dengan transportasi konvensional beberapa tahun lalu. Gempuran ojek online bertarif murah sempat menepikan keberadaan transportasi konvensional. Polemik ini reda setelah disepakati tarif minimum yang lebih masuk akal dan adil.
Namun masalahnya nggak berhenti di situ saja sebetulnya. Di balik itu, ada benang merah yang serupa, yakni: yang online bakal menggantikan yang offline. Jika 'menggantikan' dirasa kelewat berlebihan, akan lebih tepat bila disebut adanya 'yang online' memaksa 'yang offline' untuk berbagi kue yang sama.
Pertanyaannya, siapa yang bakal mendapat potongan kue yang lebih banyak dari yang lain?
Pada akhirnya, yang menentukan siapa yang bakal mendapatkan potongan kue lebih besar adalah konsumen. Tentunya pihak yang paling banyak menarik hati konsumen bisa jadi pemenangnya.
Pastinya, buat menarik hati konsumen adalah dengan peningkatan kualitas dan harga yang bersaing. Pihak yang gagal bersaing, bakal tergilas dan ditinggalkan. Dan sudah jadi tugas pemerintah untuk mengatur agar persaingan keduanya berjalan sehat dan seimbang. (*/)