Tech

PEJABAT DAN PNS DI CHINA DILARANG PAKAI IPHONE DI TEMPAT KERJA, APA ALASANNYA?

Di tengah peluncuran iPhone 15, pemerintah China sebelumnya telah melarang PNS dan pejabatnya untuk memakai iPhone di tempat kerja. Pembatasan ini berimbas pada saham Apple yang anjlok.

title

FROYONION.COM - Pada 6 September 2023 lalu, pemerintah China telah menetapkan aturan pembatasan penggunaan iPhone di tempat kerja bagi pejabat di Pemerintah Pusat. Dan hanya butuh waktu sehari setelahnya, aturan pembatasan ini meluas kepada pejabat lokal dan mereka yang bekerja di perusahaan milik negara.

Hal ini segera saja membuat saham Apple terhempas dan diperkirakan mengalami kerugian hingga USD 200 miliar. Para investor khawatir kalau aturan ini nantinya bakal meluas. Meskipun banyak analis percaya bahwa pemerintah China tak mungkin melarang iPhone sepenuhnya.

Salah satu alasan paling logis adalah bahwa China juga masih butuh Apple. Seperti yang diketahui, 90% pusat produksi Apple berada di China. Dan mereka telah mempekerjakan sekitar 1,2 juta orang. Namun karena ketidakstabilan politik dan gangguan pandemi, Apple telah memindahkan pusat produksinya ke beberapa negara seperti Vietnam dan India. Bahkan kini India telah menjadi pusat produksi Apple terbesar kedua setelah China.

ALASAN DITERBITKANNYA ATURAN PEMBATASAN IPHONE

Aturan pembatasan iPhone ini diterbitkan beberapa hari menjelang Apple meluncurkan iPhone 15. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa pemerintah China sengaja melakukannya untuk membatasi penjualan iPhone 15 di negaranya.

Meski begitu, sebetulnya bukan hanya iPhone saja yang terdampak aturan ini melainkan juga merek asing lainnya. Hanya saja China merupakan salah satu pasar terbesar bagi Apple. Bahkan Tiongkok Raya disebut telah menyumbang 19% pendapatan bagi Apple tahun lalu yang nilainya setara USD 394 miliar.

Pemerintah China beralasan bahwa penetapan aturan pembatasan ini karena mereka ingin meningkatkan keamanan nasional. Mereka percaya bahwa pihak asing dapat menyalahgunakan teknologi yang mereka jual di China untuk memata-matai. Oleh karenanya, demi melindungi rahasia negara, aturan pembatasan tersebut ditetapkan.

Alasan lainnya, pemerintah China punya tujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap produk dan teknologi asing. Langkah ini sudah mereka wujudkan, misalnya dengan membuat Google versi mereka sendiri yang diberi nama Baidu

Bahkan mereka punya aplikasi chat serupa WhatsApp namun dengan fitur lebih lengkap yang diberi WeChat. Model aplikasi yang begitu diidam-idamkan Elon Musk dan ingin diwujudkannya di Twitter. Bayangkan saja, aplikasi berbalas pesan dan berbagi berkas punya fitur lengkap untuk keperluan lainnya juga. Misalnya untuk membeli tiket, memesan makanan, bahkan untuk mentransfer sejumlah uang.

Di lain waktu, pemerintah China bahkan mendorong perusahaan yang terhubung dengan pemerintahan, seperti bank untuk menggunakan software buatan lokal. Selanjutnya pemerintah China juga mendorong pengembangan teknologi di negaranya, salah satunya dengan mulai dikembangkannya chip semikonduktor buatan lokal.

ADA HUBUNGANNYA DENGAN PERANG DAGANG ANTARA AMERIKA SERIKAT DAN CHINA?

Meski semua perangkat teknologi asing yang terdampak oleh aturan pembatasan ini, tak hanya iPhone, namun Apple tetaplah salah brand teknologi di China yang paling laku di China. Tak aneh jika kemudian banyak pihak yang meyakini, bahwa aturan pembatasan ini disebut sebagai aksi balasan pemerintah China terhadap pemerintah Amerika Serikat.

Pada tahun 2018 lalu, kedua negara ini terlibat perang dagang. Pihak Amerika Serikat yang saat itu dipimpin oleh presiden Donald Trump telah menuduh China melakukan pencurian kekayaan intelektual. Trump menilai, bahwa China telah merugikan Amerika Serikat baik secara politik maupun ekonomi.

Kasus ini bermula pada tahun 2013 lalu, ketika Huawei, perusahaan teknologi yang dianggap berkaitan dengan pemerintah China, dituduh telah mencuri kekayaan intelektual dan rahasia dagang milik Amerika Serikat. Kekayaan intelektual yang dimaksud adalah soal robot Tappy dari laboratorium T-Mobile yang digunakan untuk menguji ponsel sebelum dirilis.

Tak hanya itu, pihak Huawei juga pernah dilaporkan telah mencuri IP router dari perusahaan Cisco, di Silicon Valley pada tahun 2003. Pihak Huawei kemudian diketahui telah menjual router dengan harga miring setelah menggandeng 3com untuk bekerja sama.

Selain dituduh melakukan pencurian kekayaan intelektual melalui Huawei, China juga dituduh telah membantu Iran yang menjadi musuh Amerika Serikat. Hal inilah yang kemudian memicu ketegangan politik dan ekonomi di antara keduanya.

Untuk "menertibkan" China, presiden Trump pun menaikkan tarif impor terhadap produk asal China yang dianggap sudah merugikan Amerika Serikat. Bahkan Trump juga menaikkan tarif bea impor baja dan aluminium yang kemudian diadukan China kepada WTO.

China bukannya tanpa balasan. Pemerintah China pun merespon dengan ikut menaikkan tarif impor atas beberapa komoditas Amerika Serikat yang masuk ke China. Seperti misalnya daging babi dan almond.

Perang dagang ini semakin memuncak pada 2019 lalu ketika Trump resmi melarang Huawei untuk bekerja sama dengan perusahaan dari Amerika Serikat, seperti Google, Intel, Qualcomm dan lain sebagainya. Tak heran jika kemudian ponsel keluaran Huawei tidak didukung ekosistem Google dalam perangkatnya.

Dengan latar belakang perang dagang ini, tak heran jika aturan pembatasan ini dianggap sebagai tindakan balasan dari China atas kebijakan Amerika Serikat sebelumnya.

INDONESIA PERLU MENCONTOH LANGKAH CHINA?

Kebocoran data adalah masalah serius bagi keamanan negara. Maka dari itu segala langkah guna melindungi kerahasiaan negara adalah langkah yang penting.

Ada banyak kasus kebocoran data yang pernah dialami oleh instansi pemerintah. Yang paling melekat di kepala dan paling heboh adalah Bjorka, seorang hacker yang pernah membocorkan data pengguna BPJS.

Di lain waktu, Indonesia pernah mengalami penyadapan yang dilakukan oleh Australia. Penyadapan itu berhasil merekam obrolan presiden SBY juga ibu negara Ani Yudhoyono beserta sejumlah menteri.

Melihat rapuhnya kerahasiaan negara, agaknya Indonesia bisa mencontoh cara China untuk melepas ketergantungan dengan teknologi asing. Dengan begitu, keamanan dan kerahasiaan negara bisa lebih terjaga.

Namun seandainya langkah itu bakal diadaptasi oleh Indonesia, pemerintah perlu menyiapkan alternatif untuk menggantikan teknologi yang dipakai warganya sebelumnya. Kiranya, ponsel buatan lokal apakah yang dapat menggantikan iPhone atau merek ponsel lainnya yang sudah lebih dulu populer di Indonesia?

Di Indonesia dulu, ada beberapa brand lokal yang pernah merilis smartphone. Misalnya, Mito, Advan, Evercoss hingga Polytron. Sayangnya brand-brand di atas nyaris tak terdengar lagi sekarang ini. Jangankan menyaingi iPhone dan ponsel keluaran China lainnya, bisa bertahan sejauh ini saja rasanya sudah bagus.

Selain menyiapkan perangkat elektroniknya, jika mau meniru langkah China, pemerintah Indonesia juga perlu menyiapkan aplikasi pendukungnya. Di China misalnya, untuk menggantikan WhatsApp dan Google, pemerintah China sudah menyiapkan aplikasi bernama WeChat juga Baidu.

Aplikasi alternatif seperti ini perlu riset dan dana yang besar buat mewujudkannya. Bahkan butuh waktu yang lumayan panjang untuk mengembangkan dan menyempurnakannya. Selain itu dibutuhkan juga SDM yang mumpuni untuk mewujudkan kemajuan teknologi semacam ini.

Sayangnya, melihat industri teknologi di Indonesia, rasanya hal semacam ini menjadi impian yang terasa jauh. Tak heran jika masyarakat kita punya ketergantungan pada teknologi asing.

Hal ini dapat dilihat misalnya saat Kominfo melakukan blokir pada sejumlah aplikasi penting seperti WhatsApp, Google, PayPal, hingga Steam, karena belum mendaftar PSE. Keputusan ini segera saja memicu gelombang kemarahan dari mereka yang bergantung pada aplikasi-aplikasi tersebut. Hingga harus memaksa Kominfo buat melunak dan memberi waktu tambahan agar aplikasi-aplikasi penting itu dapat mendaftar.

Berkaca dari kasus Kominfo sebelumnya, jika ingin meniru langkah China, pemerintah Indonesia seharusnya mulai memperhatikan industri teknologi dalam negeri. Pengembangan teknologi dan riset perlu digencarkan. SDM dalam negeri juga perlu ditingkatkan kualitasnya.

Jika sudah begitu, entah satu atau dua dekade mendatang, mungkin Indonesia baru dapat melepas beberapa ketergantungannya dengan teknologi asing seperti China. Namun bagaimana mau mulai, kalau kampanye capres mendatang saja banyak berkutat pada "apa-apa bisa gratis". (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Shofyan Kurniawan

Shofyan Kurniawan. Arek Suroboyo. Penggemar filmnya Quentin Tarantino. Bisa dihubungi di IG: @shofyankurniawan