Kebanggaan orang Indonesia sama batik nggak perlu dipertanyakan. Kemasyuran batik pun nggak perlu diragukan lagi. Tapi apakah lo udah tau kalo industri batik mengalami penurunan omset selama 5 tahun terakhir karena ketidaktahuan nilai batik yang sebenernya tinggi banget?
FROYONION.COM - Kalo lo jalan-jalan ke luar negeri dan ditanya,”Kamu asalnya dari mana?” dan lo bilang,”Oh, aku dari Indonesia,” kebanyakan orang akan teringat dengan indahnya Pulau Dewata hingga keanekaragaman budaya Indonesia.
Nggak terkecuali batik yang jadi warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan budaya takbenda atau Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity sama UNESCO pada 2 Oktober 2009. Sampe sekarang, tanggal itu kita peringati sebagai Hari Batik Nasional.
Rasanya seneng yah kalo ngeliat batik bisa dikenal di mancanegara dan dipake sama orang-orang terkenal. Ironisnya, industri batik lokal justru mengalami penurunan omset loh selama 5 tahun terakhir.
BACA JUGA: PEMAIN NBA PAKE BATIK KHAS BLITAR DI PREGAME FITS: BUKAN SEKEDAR OVERPROUD
Para perajin batik mengalami kesulitan untuk mempromosikan karya batik mereka kepada para konsumen. Terlebih lagi masih banyak orang yang belum tahu tingginya nilai kain batik, terutama batik yang diproduksi secara tradisional. Selain itu dari sisi konsumen ternyata masih mengalami kesulitan untuk membedakan jenis batik berdasarkan teknik produksinya, polanya hingga keasliannya.
Melihat kondisi ini, tim Naratik yang dipimpin oleh Farrel Athaillah Putra sebagai CEO melakukan penelitian di beberapa kota di Jawa Tengah seperti Semarang, Pekalongan, Solo, serta Yogyakarta. Hasilnya, ternyata keresahan tersebut benar adanya dan dialami oleh banyak perajin batik.
“Sebagai yang berasal dari keluarga pembuat batik, saya terdorong untuk mengangkat keindahan dan makna yang ada di setiap karya batik. Karena itu saya mengajak tim untuk memanfaatkan teknologi dengan membuat sebuah platform end-to-end yang memudahkan pengguna mengetahui proses pembuatan dan klasifikasi berbagai jenis batik,” jelas Farrel.
Naratik sendiri adalah singkatan dari kata ‘narasi’ dan ‘batik’. Saat diwawancarai secara daring oleh tim Froyonion.com, Farrel menjelaskan bahwa nama itu dipilih untuk membangun narasi baru tentang batik. Citra batik yang tadinya terkesan tua dan kuno bikin batik jadi sulit fit in ke anak muda. Makanya lewat Naratik, Farrel ingin membangun narasi baru tentang batik yang asik.
BACA JUGA: BELAJAR FASHION SAMBIL MENJAGA LINGKUNGAN LEWAT ACARA ‘BATIK KUDUS IN FASHION’
Sebagai aggregator industri batik yang punya visi untuk membangun ekosistem digital batik, ada beberapa inovasi yang dikembangkan oleh Naratik.
Pertama adalah Naralens yang berupa aplikasi mobile dengan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang bisa mengidentifikasi jenis batik hingga keaslian kain batik. Hanya dengan satu klik lewat kamera HP, lo bisa langsung tahu jenis batik yang lo punya, polanya apa, sampe asli apa nggak. Selain itu, di aplikasi karya anak muda ini lo juga bisa eksplor berbagai informasi tentang batik, membaca artikel seputar batik, sampe beli batik dari UMKM yang udah kerja sama dengan Naratik.
“Hingga saat ini fitur AI masih dalam tahap pengembangan. Namun sudah bisa mengidentifikasi 5 motif batik seperti Mega Mendung dan Sidomukti, serta membedakan mana batik yang dibuat dengan teknik tulis, cap, dan cetak. Kami mengumpulkan banyak data tentang batik sehingga AI bisa mengidentifikasi jenis hingga keaslian batik lewat data-data tersebut,” tutur Farrel.
Kedua adalah Narauction, alias lelang batik kuno eksklusif yang diselenggarakan Naratik secara daring. Lelang ini udah diselenggarakan 2 kali lewat platform Discord dan WhatsApp. Di Narauction para peserta bisa menemukan batik kuno langka dengan makna mendalam yang udah tervalidasi oleh kurator.
“Acara lelang ini selain bisa jadi kesempatan untuk memperkenalkan batik-batik kuno yang ada di Indonesia, juga bertujuan untuk menjadi solusi atas rendahnya nilai batik di pasaran. Dengan lelang ini, batik yang dilelangkan sudah tergolong langka dan kuno. Bahkan ada salah satu kain batik circa 1950 yang tekstur kainnya sudah setipis kain koran. Sayang sekali kain-kain batik kuno ini banyak yang dijual ke luar negeri dengan harga yang jauh lebih rendah. Kalau dilelang, harga kain batik kuno bisa sesuai dengan nilai otentiknya,” jelas Farrel.
Ketiga adalah Batik Series, serial seminar yang bertujuan untuk membagikan edukasi tentang kekayaan kain batik. Acara ini tersedia dalam 2 kategori yaitu Batik Series reguler dan Batik Series yang berkolaborasi dengan Paguyuban Sekar Jagad, yaitu komunitas pecinta batik yang beranggotakan orang-orang Keraton.
Pada Batik Series reguler, semua orang pecinta batik, baik anak muda sampai orang tua bisa ikutan. Di acara itu, semua peserta yang hadir bisa ngobrol-ngobrol bareng tentang batik. Sedangkan pada acara yang berkolaborasi dengan Paguyuban Sekar Jagad, isi acaranya lebih mendalam karena bisa berdiskusi tentang keilmuan batik. Biasanya yang menghadiri acara ini adalah para peneliti hingga peminat batik dari berbagai kalangan.
Semua inovasi yang dibuat Naratik ini bertujuan untuk memajukan industri batik Indonesia hingga nantinya bisa tercipta ekosistem digital batik yang dapat turut mendukung para perajin batik.
Naratik juga termasuk satu dari 15 proyek Capstone terbaik dalam program Bangkit 2021. Naratik juga mendapat dana inkubasi dari Google dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Lewat dana inkubasi inilah tim Naratik yang beranggotakan 8 orang dapat mewujudkan mimpi mereka.
Turut bangga sama karya anak bangsa satu ini. Semoga ke depannya makin banyak inovasi kreatif anak muda Indonesia yang bisa mengangkat isu-isu lokal yang dekat dengan masyarakat ya! (*/)