Tech

KUIL DI JEPANG LARANG PENGUNJUNG USAI AKSI VANDALISME DI DALAM GAME

Hiroyuki Kada,  anggota Dewan Penasihat Jepang mengkritik penggambaran kuil nyata dalam game Assassin’s Creed Shadows yang bisa dihancurkan tanpa izin. Kada khawatir vandalisme serupa bisa terjadi dunia nyata.

title

FROYONION.COMPerdana Menteri Jepang baru-baru ini menanggapi pertanyaan seputar Assassin’s Creed: Shadows dan kekhawatiran terkait potensi peniruan aksi "perusakan" kuil. Tak lama setelahnya, Watazumi Shrine di Pulau Tsushima, Jepang, yang memiliki kaitan erat dengan permainan Ghost of Tsushima, memutuskan untuk melarang semua wisatawan setelah terjadi tindakan yang dianggap sebagai "pelecehan yang tidak termaafkan."

Laporan dari Automaton menyebutkan bahwa Watazumi Shrine, sebuah kuil Shinto yang terletak di Pulau Tsushima, telah mengumumkan larangan masuk bagi semua orang kecuali jemaat dan para penyembah. Keputusan ini diambil setelah terjadi insiden yang mereka anggap sebagai pelanggaran berat terhadap kesucian kuil, yang dilakukan oleh wisatawan asing.

Sejak dirilisnya Ghost of Tsushima pada tahun 2020, kuil ini mendapatkan perhatian global karena diduga menjadi inspirasi bagi Scarlet Rock Shrine dalam permainan tersebut. Bahkan, para penggemar Ghost of Tsushima pernah menginisiasi kampanye penggalangan dana untuk membantu memperbaiki kerusakan yang dialami oleh kuil ini akibat terjangan topan.

BACA JUGA: ANIME ‘DEMON SLAYER: INFINITY CASTLE’ AKAN RILIS TANGGAL 18 JULI DI JEPANG

Meskipun pihak berwenang tidak memberikan rincian spesifik tentang insiden terbaru, mereka mengungkapkan bahwa kepolisian harus dipanggil untuk menangani kasus vandalisme serta pelecehan fisik dan verbal terhadap staf kuil. Pernyataan yang dikutip oleh Automaton dari pengelola kuil menegaskan, "Kehancuran tempat, benda, dan individu yang dihargai oleh masyarakat Jepang akibat pariwisata masuk bukanlah sekadar perusakan fisik, melainkan juga penghancuran budaya Jepang itu sendiri."

Kejadian ini semakin memperburuk kontroversi yang sedang berlangsung terkait peluncuran Assassin’s Creed: Shadows di Jepang. Sama seperti Ghost of Tsushima, permainan terbaru dari Ubisoft ini juga berlatar belakang Jepang pada era Feodal. Gim ini dirilis pekan lalu dengan pembaruan hari pertama yang secara diam-diam membuat sejumlah perubahan signifikan, terutama di area kuil dan tempat suci.

Pembaruan tersebut mengubah beberapa elemen dalam permainan, seperti menjadikan meja dan rak di kuil serta tempat suci tidak bisa dihancurkan. Selain itu, warga sipil yang tidak bersenjata kini tidak akan mengeluarkan darah saat diserang, sehingga dapat mengurangi tumpahan darah di tempat-tempat suci.

Dikutip dari IGN, Ubisoft mengatakan kepada bahwa pembaruan hari pertama ini berlaku untuk semua pemain dan bukan hanya untuk Jepang. Namun, perubahan ini sulit untuk tidak dikaitkan dengan kontroversi yang berkembang di negara tersebut.

Kontroversi seputar Assassin’s Creed: Shadows bahkan telah mencapai tingkat pemerintahan tertinggi di Jepang. Pekan lalu, Perdana Menteri Jepang, Shigeru Ishiba, merespons pertanyaan mengenai permainan tersebut dalam sebuah konferensi resmi pemerintah. Pernyataannya semakin mempertegas kekhawatiran mengenai dampak yang mungkin ditimbulkan oleh permainan semacam ini terhadap persepsi serta perlakuan terhadap situs-situs budaya di dunia nyata.

Keputusan Watazumi Shrine untuk menutup akses bagi wisatawan mencerminkan meningkatnya kekhawatiran terhadap dampak negatif pariwisata yang tidak terkendali, terutama yang dipicu oleh popularitas budaya pop. Dengan semakin banyaknya wisatawan yang tertarik mengunjungi lokasi-lokasi yang diangkat dalam permainan video, muncul pula tantangan baru dalam menjaga dan melindungi tempat-tempat bersejarah agar tetap dihormati sesuai dengan nilai-nilai tradisional yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Jepang.

BACA JUGA: TOP LAGU JEPANG 2024, ARTIS CREEPY NUTS JADI YANG TERPOPULER DI SPOTIFY

Meskipun Ghost of Tsushima telah membawa dampak positif dengan membantu pemulihan kuil setelah bencana alam, insiden terbaru ini menunjukkan sisi lain dari ketenaran yang diperoleh melalui permainan video. Hal ini menimbulkan perdebatan lebih luas tentang bagaimana cara terbaik untuk mengelola pariwisata digital dan interaksi wisatawan dengan situs budaya yang mereka kunjungi.

Seiring dengan meningkatnya perdebatan ini, berbagai pihak kini dihadapkan pada pertanyaan besar: bagaimana menjaga keseimbangan antara mempromosikan warisan budaya Jepang kepada dunia dan melindungi situs-situs bersejarah dari kerusakan akibat perilaku wisatawan yang tidak bertanggung jawab? Langkah-langkah seperti pembatasan akses, peningkatan pengawasan, serta edukasi bagi wisatawan menjadi semakin penting guna memastikan bahwa tempat-tempat suci dan bersejarah tetap terjaga keberlangsungannya untuk generasi mendatang.

Lebih lanjut, Perdana Menteri Shigeru Ishiba mengatakan bahwa aspek hukum dari isu ini perlu dibahas lebih lanjut dengan berbagai kementerian terkait, seperti Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri, serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi. Ia menambahkan bahwa mencemarkan tempat suci adalah tindakan yang tidak dapat diterima dan bahkan dapat dianggap sebagai penghinaan terhadap negara. Ishiba membandingkan situasi ini dengan pengalaman Jepang saat mengerahkan Pasukan Bela Diri ke Samawah, Irak, di mana mereka diberikan pelatihan tentang adat istiadat Islam sebelum berangkat. Menurutnya, menghormati budaya dan agama suatu negara adalah hal yang mendasar, dan Jepang harus memastikan bahwa tindakan yang tidak menghormati nilai-nilai tersebut tidak dibiarkan begitu saja.

Kontroversi ini muncul setelah dalam cuplikan permainan yang dirilis sebelum Assassin’s Creed Shadows diluncurkan, terlihat bahwa pemain dapat menyerang dan merusak Itatehyozu Shrine di Himeji, Prefektur Hyogo. Kuil ini berada di daerah pemilihan Kada, dan ia mengaku telah berkonsultasi dengan perwakilan kuil yang memastikan bahwa Ubisoft tidak meminta izin sebelum menampilkan kuil tersebut dalam permainan maupun menggunakan namanya.

Seperti yang dijelaskan oleh IGN Jepang, Jepang telah mengalami lonjakan jumlah wisatawan asing setelah negara ini kembali membuka perbatasannya pasca pandemi. Melemahnya nilai yen juga menjadi faktor pendorong meningkatnya kunjungan wisatawan. Dalam pertemuan anggaran pemerintah, Kada mengaitkan kritiknya terhadap Assassin’s Creed Shadows dengan masalah yang lebih luas, yaitu fenomena "overtourism" atau pariwisata berlebihan, yang dianggap berkontribusi pada peningkatan insiden vandalisme dan coretan liar di Jepang.

Berdasar argumennya, Kada menyatakan bahwa jika dalam permainan para pemain dapat merusak kuil atau melukai orang dengan katana, mereka mungkin akan terinspirasi untuk melakukan hal serupa saat berkunjung ke Jepang. Pendapat ini sejalan dengan perdebatan lama yang menyebut bahwa permainan seperti Call of Duty atau Grand Theft Auto dapat memicu tindakan kekerasan di dunia nyata.

Perdana Menteri Ishiba menanggapi dengan menegaskan bahwa jika tindakan serupa benar-benar dilakukan dalam kehidupan nyata, ia akan dengan tegas menentangnya. Namun, ia menekankan bahwa komentarnya lebih ditujukan pada kemungkinan aksi peniruan di dunia nyata daripada kepada permainan itu sendiri. Meskipun demikian, perdebatan mengenai pengaruh video game terhadap perilaku masyarakat terus berlanjut, dan pemerintah Jepang tampaknya mempertimbangkan langkah-langkah untuk memastikan bahwa budaya dan nilai-nilai lokal tetap dihormati, baik dalam dunia nyata maupun dalam representasi digital. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Abdillah Qomaru Zaman

Lulusan Ilmu Politik, freelance penulis dan pelatih silat.