Banyak para ahli dan praktisi yang meragukan nikuba. Pasalnya mustahil menjadikan hidrogen sebagai bahan bakar tanpa sumber daya elektrolisis yang memadai. Aryanto dan pemerintah belum menemukan titik terang hingga sekarang. Lantas apa solusinya?
FROYONION.COM - Pernyataan mengkhawatirkan soal nasib energi nasional datang dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif. Beliau menyampaikan dalam siaran persnya pada 2021 lalu bahwa kurang dari 10 tahun lagi diperkirakan cadangan minyak RI akan habis. Tentunya dengan catatan tak ada eksplorasi sumber ladang minyak baru yang ditemukan.
Kebutuhan akan bahan bakar atau energi terbarukan (renewable energy resources) pun kini menjadi perkara yang krusial. Berbagai macam cara dilakukan demi mencegah terjadinya 'kiamat energi' seperti meminimalisir penggunaan bahan bakar fosil, memanfaatkan bio energi atau menerapkan energi ramah lingkungan (green energy).
Baru-baru ini Aryanto Misel kembali viral dengan nikuba-nya. Pria Cirebon berumur 67 tahun ini terbang ke Italia untuk mempresentasikan cara kerja generator elektrolisis (electrolyzer) buatannya.
Singkat cerita lawatannya ke Italia ternyata berbuah duka, menurut Aryanto pabrikan tersebut memintanya untuk ‘membongkar habis’ nikuba tanpa kompensasi sedikitpun. Jelas beliau menolak, alhasil nikuba pun meraih hasil nihil.
Nikuba, kata Aryanto mampu mengubah hidrogen yang berasal dari air menjadi bahan bakar hanya dengan volume yang sedikit. Ia mengklaim penggunaan 1 liter air dapat menempuh jarak lebih kurang 450 km. Syaratnya air yang digunakan harus bebas dari logam berat.
Cara kerja alat dengan singkatan niku banyu ini sederhana. Air (H2O) dipisah menjadi unsur-unsur penyusunnya yaitu hidrogen (H2) dan oksigen (O2) melalui proses elektrolisis. Proses ini menguraikan atau memisahkan unsur air dan oksigen dengan bantuan katalis dan energi listrik. Katalis merupakan zat yang berfungsi untuk mempercepat reaksi kimia tanpa merusak reaksi kimia tersebut. Katalis yang digunakan merupakan resep rahasia perusahaan karena ia racik sendiri dari bahan-bahan organik.
Para ahli sendiri menyebut ada beberapa permasalahan pada alat ini. Pertama, sumber tenaga (power supply) yang berasal dari aki 12 volt sepeda motor tidak efisien dan berbahaya jika digunakan dalam jangka panjang.
Pakar Konversi Energi ITB Pandji Prawisudha menjelaskan untuk mengubah hidrogen menjadi bahan bakar dibutuhkan energi dan temperatur yang besar. Tegangan aki bisa cepat habis atau yang terburuk kenderaan bisa meledak. Walaupun Aryanto menjawab keraguan para ahli dengan memasang komponen relay untuk mengurangi beban pada aki, namun para ahli berpendapat hal itu belumlah cukup.
Kedua, jumlah hidrogen yang dihasilkan sangat kecil bila dibandingkan dengan energi yang dibutuhkan untuk menempuh perjalanan. Dilansir dari gridoto.com menurut pakar energi ITB Tri Yuswidjajanto dalam perhitungannya aki 12 volt milik kenderaan dinas Korem 063 Sunan Gunung Jati Cirebon hanya mampu menghasilkan hidrogen maksimal 0,48 liter/menit atau hanya 0,07%.
Ketiga Aryanto sendiri tak mengetahui hitung-hitungan energi pada nikuba alias hanya coba-coba, artinya alat ini belum terbukti secara ilmiah.
Peneliti dianggap sebagian orang merupakan profesi yang keren, gaji yang paten dan tentunya skill yang kompeten. Too good to be true harapan tak seindah kenyataan terkhusus peneliti lokal. Kepala BRIN Laksana Tri Handoko sendiri mengakui hal tersebut.
Dilansir dari brin.go.id ada 3 keterbatasan penelitian yang ada dalam negeri yaitu soal kepakaran (expertise), infrastruktur dan anggaran yang cekak. Ketidakpastian ekonomi dan ekosistem riset yang ala kadarnya juga menjadi faktor penyebab peneliti kita ‘malas’ pulang kampung.
Banyak contoh kasus karya inovatif peneliti yang dikecewakan dan ‘dipolisikan’. Masih ingat dengan kasus mobil listrik Dasep Ahmadi? Atau TV rakitan buatan Kusrin? Semuanya berakhir di jeruji besi. Ada juga mobil listrik Tucuxi karya ‘5 putra petir’ Danet Suryatama, mobil listrik Selo karya Ricky Elson, semuanya hancur lebur.
Berbanding 180 derajat di negeri orang. Sarana prasarana, laboratorium super lengkap serta gaji yang sangat menggiurkan. Duta besar RI untuk Jerman Arif Havas Oegroseno dalam wawancaranya dengan dw.com bahkan meminta para peneliti RI di Jerman untuk kembali membangun negeri. Minimal para peneliti di sana bisa menjadi jembatan penghubung terhadap hasil penelitian mereka atau mengundang peneliti RI untuk bisa tampil di Jerman atau negara lainnya.
Aryanto pun tak lepas dari perkara ini, bagaimanapun ia merupakan contoh kecil masyarakat yang berupaya berkarya untuk bangsa. Terlepas dari kontroversi nikuba-nya yang masih jadi perdebatan hingga kini. Kita patut apresiasi upaya beliau sembari berpikiran positif seperti yang TNI lakukan. Seandainya suatu saat ia terbukti menjiplak karya orang lain secara sengaja, silahkan hukum sesuai dengan peraturan yang berlaku. Ingat ya, secara sengaja.
Menurut penulis semua pihak harus duduk bersama-sama termasuk BRIN, para pakar dan Aryanto sendiri. Tujuannya untuk mengungkap fakta ilmiah nikuba dan menghilangkan berbagai prasangka yang terjadi selama ini. Harus ada jalan tengah yang mengakomodir kepentingan semua pihak. Entah itu melalui kesepakatan tertulis seperti MoU (Memorandum of Understanding) atau MoA (Memorandum of Agreement).
Tentunya Aryanto harus siap nikuba miliknya diuji secara saintifik oleh BRIN. Seandainya nikuba terbukti secara saintifik mampu menggantikan BBM maka pemerintah harus legowo menerima teknologi ‘futuristis’ ini untuk diterapkan kepada seluruh masyarakat.
Sebaliknya jika ‘zonk’ belaka, maka Aryanto harus berjiwa besar mengatakan kepada seluruh masyarakat se-Indonesia bahwa alatnya memang bukan pengganti BBM, melainkan hanya sebagai fuel saver alias alat penghemat bahan bakar.
Dengan demikian tak ada lagi overclaim dari Aryanto dan BRIN pun tak jadi bulan-bulanan masyarakat yang pro terhadap karya Aryanto. (*/)