Tech

GOLDEN VISA RESMI DISAHKAN, GENERASI MUDA DALAM PUSARAN ‘BRAIN DRAIN’

Golden visa bisa menjadi kebijakan bahagia yang meraih laba, namun memiliki potensi yang dapat mengancam keamanan suatu negara. Pemerintah menjadi aktor kunci dibalik kesuksesan program ini. Jika abai, semua pihak pasti terkena dampak negatifnya.

title

FROYONION.COM - Presiden Joko Widodo resmi mengesahkan kebijakan terkait golden visa per tanggal 4 Agustus 2023. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 tahun 2023 tentang Keimigrasian. Kebijakan ini nantinya akan memberikan ‘karpet merah’ plus fasilitas mewah kepada WNA yang melakukan investasi riil di tanah air. 

Bukan hanya investor dalam bentuk perusahaan, individu hi-skill talented dan influencer kelas kakap turut mendapatkan jatah dari kebijakan dengan nama lain ‘golden passport’ ini. Misi utamanya jelas untuk meningkatkan penanaman modal asing (PMA) dalam negeri demi mempercepat pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi covid-19.

Dilansir dari OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) istilah golden visa ini disebut dengan RBI (Residence by Investment) atau CBI (Citizenship by Investment). Intinya mekanisme ini memberikan izin tinggal atau kewarganegaraan baik permanen maupun temporer kepada perusahaan/orang asing yang memberikan kontribusi investasi dalam jumlah tertentu. 

Pemegang golden visa berhak meraup berbagai privilege mulai dari perkara administrasi yang tuntas secara ekspres, izin tinggal 10 tahun plus perpanjangan hingga hak memiliki aset dalam suatu negara.

Masing-masing negara memiliki kebijakan dan istilah golden visa yang berbeda-beda seperti Amerika dengan EB-5 Investor Program atau Uni Emirat Arab dengan UAE Golden Visa.

Namun, untuk mendapatkan semua fasilitas premium ini bukanlah perkara mudah. CNN Indonesia menyebut syarat-syarat yang harus dipenuhi diantaranya wajib berinvestasi US$50 juta (Rp750 miliar) khusus perusahaan dan US$350 ribu (Rp5,25 miliar) untuk perorangan ditambah biaya administrasi ­Rp6 juta - Rp19 juta.

Kebijakan ini sepintas sangat menggiurkan, tapi tahukah bahwa kebijakan ini bagai pisau bermata dua yang siap menusuk regulator kebijakan? Belum lagi ‘brain drain effect’ yang ditimbulkan hingga sederet isu kejahatan yang mengancam. 

BACA JUGA: WORKING HOLIDAY VISA, SECERCAH HARAPAN ANAK MUDA KINI MEMBALIK KEADAAN PENATNYA BEKERJA DI TANAH AIR

PARA PEMUDA DALAM PUSARAN ‘BRAIN DRAIN’  

Dirjen Imigrasi Kemenkumham Silmy Karim melaporkan bahwa 3.912 WNI pindah kewarganegaraan Singapura periode 2019-2022 atau hampir 1000 orang/tahun. Fakta lain yang mengejutkan bahwa mayoritas berada di usia produktif 25-35 tahun. 

Data ini menjadi bukti bahwa fenomena brain drain bukan hanya sekedar berasal dari niatan pribadi, melainkan sebuah grand design yang sudah dipersiapkan suatu negara untuk menarik intelektual muda dalam membangun negara mereka. 

Kenapa harus anak muda? Karena mereka merupakan agent of change sekaligus engine of creativity yang akan menjadi penentu kemajuan suatu bangsa.

Singapura diketahui memang memiliki masalah dengan pertumbuhan penduduk. Pada tahun 2020 angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) negara tersebut berada di angka 1,1 atau terendah dalam sejarah. TFR 1,1 berarti setiap satu orang perempuan Singapura hanya mampu melahirkan 1 anak selama masa usia reproduksinya.

BACA JUGA: KONTROVERSI NIKUBA DAN KARYA PENELITI LOKAL YANG KERAP 'DIANAKTIRIKAN'

Survey yang ada juga menunjukkan 3 dari 10 orang  Singapura ogah memiliki anak selama pandemi, seperti dikutip detik.com dari euronews. Maka dari itu pemerintah Singapura terus menggenjot pertumbuhan penduduk dari 5 juta saat ini menjadi 6,9 juta di tahun 2030. Anak muda tentu menjadi target utama yang potensial dari skema ini. 

Melalui rayuan kesejahteraan, jaminan pendidikan, kesehatan gratis dan perumahan yang lebih baik membuat para pemuda realistis ‘terpaksa’ mengganti kewarganegaraan mereka. Terkesan seperti tak mencintai kampung halaman, tapi apa hendak dikata kondisi iklim IPTEK di tanah air masih carut marut hingga kini. Pragmatis, logis dan realistis menjadi pilihan yang harus diambil para pemuda RI bertalenta. 

Walau sebenarnya dalam hati kecil mereka masih tetap ‘Indonesia Raya’. Hal ini pula yang menyebabkan para saintis diaspora kita enggan pulang membangun negeri. Seandainya ekosistem dunia IPTEK negeri ini stabil dan menjanjikan, penulis yakin Indonesia akan menjadi salah satu negara termaju se-Asia di bidang IPTEK. Tapi sayang seribu sayang, harapan belum seindah kenyataan.

Golden visa sebenarnya memberikan keuntungan dari sisi peningkatan jumlah lapangan kerja. Semakin banyak investor yang masuk maka semakin banyak pula lapangan kerja yang tercipta. Kebijakan ini juga diharapkan mampu menjadi wadah untuk melakukan transfer knowledge agar membangun SDM dalam negeri yang unggul, kompetitif dan berdaya saing tinggi.

Namun di sisi lain ada dampak negatif yang ditimbulkan seperti potensi ‘jual beli’ kewarganegaraan, terjadinya tindakan diskriminatif dan tebang pilih yang mencederai rasa keadilan masyarakat hingga ‘pertarungan’ tenaga kerja lokal dan TKA dalam memperebutkan lapangan kerja. Jangan sampai kebijakan ini malah meminggirkan tenaga kerja lokal yang nasibnya sendiri sudah terpinggirkan, diperlukan sinkronisasi dan fungsi pengawasan yang ketat dan berlapis demi mencegah kejahatan keimigrasian.

GOLDEN VISA, ANTARA FUNGSI PENGAWASAN DAN IMPLEMENTASI DI LAPANGAN 

Boleh jadi di atas kertas PP Nomor 40 tahun 2023 tentang Keimigrasian ini diatur dengan rapi, tapi bagaimana dengan kondisi di lapangan? 

Negara ini terkadang memiliki peraturan yang lumayan, namun berbanding terbalik dengan fakta di lapangan. Lemahnya fungsi pengawasan dan pencegahan masih menjadi momok yang menakutkan. Belum lagi potensi penyelewengan yang dilakukan oleh ‘orang dalam’ bisa menjadi pintu masuk kasus korupsi dan gratifikasi.

Sindonews bahkan melaporkan negara seperti Spanyol, Portugal, Inggris, Bulgaria dan Irlandia baru-baru ini resmi membatalkan kebijakan golden visa. Beberapa penyebabnya yaitu banyaknya warga lokal yang tak mampu lagi membeli rumah akibat harga yang ‘melangit’. 

Selain itu masalah kejahatan seperti pencucian uang (money laundering), kaburnya buronan koruptor (Harun Masiku) dan pengemplangan pajak (tax evasion) menjadi bukti riil efek negatif golden visa. Apakah kebijakan golden visa ini mengurangi atau malah memperparah fenomena brain drain? Kuncinya ada pada fungsi pengawasan dan implementasi yang efektif dari pemerintah. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Muhammad Adib

Seorang PNS (Pegawai Ngeri Swasta), guru ngaji, sarjana komputer yang suka nulis