Haruskah jabatan Menkominfo diisi oleh orang yang memiliki pengalaman dan skill set di bidang TIK?
FROYONION.COM - Johnny G. Plate kini sah menduduki kursi pesakitan akibat kasus korupsi pembangunan menara BTS (Base Transceiver Station) 4G BAKTI Kominfo 2020-2022. Jumlah uang yang ‘digarong’ pun tak main-main, negara bahkan tekor hingga Rp8,3 triliun. BTS merupakan stasiun pemancar yang berfungsi untuk mengirim dan menerima gelombang radio ke perangkat telekomunikasi seperti telepon rumah, telepon genggam, televisi dan perangat elektronik lainnya.
Tujuan dari pembangunan infrastruktur BTS ini untuk mengurangi kesenjangan akses digital yang terjadi di daerah 3T (terdepan, terpencil, tertinggal). Senin, tepatnya 17 Juli 2023 kemarin Presiden Joko Widodo resmi melantik Budi Arie Setiadi sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo).
Menggantikan tongkat estafet yang patah dari Johnny, tekanan berat kini tertuju pada Menteri yang memiliki harta kekayaan Rp101 miliar ini. Ia harus menuntaskan perkara-perkara besar seperti kebocoran data (data breaching), ancaman platform medsos yang meresahkan dan percepatan infrastruktur digital.
BACA JUGA: KEPUTUSAN KOMINFO BLOKIR BANYAK SISTEM ELEKTRONIK DINILAI MENYULITKAN FREELANCERS
Tak sedikit yang mendukung dan berharap pada beliau, namun tetap ada yang merasa bahwa beliau the right man on the wrong place. Pada aspek tertentu beliau memang terlihat cakap, ia merupakan Sarjana Ilmu Komunikasi FISIP UI tahun 1996 dan Magister Manajemen Pembangunan UI pada 2006.
Beliau juga ‘kenyang’ pengalaman sebagai seorang aktifis dan jurnalis. Lebih dari 10 tahun beliau mengabdikan diri sebagai pewarta yang menyuarakan nasib rakyat. Penulis yakin beliau akan mampu menjadi ‘penyambung lidah’ dalam menyampaikan keberhasilan program-program pemerintah kepada masyarakat.
Namun di sisi lain, track record beliau di bidang TIK yang sarat dengan aktifitas strategis dan teknis masih menjadi tanda tanya. Apakah jabatan Menkominfo itu wajib diisi oleh orang yang paham seluk beluk dunia digital atau cukup dengan learning by doing?
Dunia IT, dunia virtual dengan dua sisi mata pisau didalamnya. Ada manfaat ada mudarat, ada kebaikan bersanding pula dengan keburukan. Kesalahan kecil saja bisa mendatangkan malapetaka bagi penggunanya. Kalau dulu kita kenal dengan istilah slip of tongue atau keseleo lidah.
Seseorang yang hanya menyampaikan keluhan seperti men-downgrade lembaga tertentu di depan publik, malah berbuah sanksi hukum layaknya kasus Prita Mulyasari dulu. Sekarang slip of fingers, hanya dengan secuil error genggaman jari saja hidup kita bisa berakhir di ‘hotel prodeo’.
Ya, seperti Undang-undang yang kontroversi dan multitafsir itu. Menurut penulis memang tak ada aturan tertulis yang mengatakan jabatan Menkominfo itu harus tech savvy, termasuk harus memiliki background pendidikan komputer & TIK.
Tapi tak boleh serta-merta Menkominfo itu buta ekosistem digital, ekonomi digital dan perkembangan AI, sebab hal ini sudah seperti mendarah daging bagi masyarakat. Belum lagi dengan kritik plus rundungan dari netizen yang budiman kelak apabila Menkominfonya salah memberikan statement atau gagal paham menanggapi perisitiwa viral.
Contohnya seperti kasus kebocoran data yang dilakukan Bjorka, Lockbit 3.0 yang menjual data internal BSI dan sebagainya. Pemahaman ilmu TIK juga tetap dibutuhkan tanpa mengesampingkan aspek seperti kepemimpinan, komunikasi, kolaborasi dan aspek lainnya.
BACA JUGA: WFA ATAU WFO, LO HARUS PEDULI DENGAN KEAMANAN DATA SIBER
Jadi menurut penulis soft skill itu sangat penting, tapi hard skill sang Menkominfo juga akan membantu dan memperlancar tugas beliau sebagai pemimpin nomor satu Kementerian sinyal ini.
Tapi bukan berarti Menteri dengan background pendidikan non linier akan gagal total. Sebagai contoh eks Menkes RI Terawan Agus Putranto, beliau merupakan dokter bergelar profesor di bidang radiologi. Pernah jadi Tim Dokter Kepresidenan, eks Kepala RSPAD Gatot Soebroto dan histori mentereng lainnya.
Namun ketika menjadi Menteri Kesehatan banyak pernyataan kontroversi yang beliau lontarkan hingga dipecat Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI akibat Terawan Theory miliknya. Suatu metode penyembuhan cuci otak untuk pasien stroke dan gangguan kesehatan kepala tanpa melakukan penelitian ilmiah terlebih dahulu.
Sebaliknya Susi Pudjiastuti Menteri Kelautan dan Perikanan hanya lulusan SMP namun paling top of mind di hati rakyat dengan meme ikoniknya ‘tenggelamkan’. Apa yang menjadi perbedaan utama keduanya? Menurut penulis yaitu disparitas soft skill.
Hasil survey dari Deloitte Access Economics tahun 2017 lalu memperkirakan bahwa pekerjaan dengan keterampilan soft skill intensif akan mengisi 2/3 atau 63% semua pekerjaan di tahun 2030. Deloittejuga mengungkap bahwa pekerjaan dengan kemampuan soft skill tumbuh 2,5 kali lipat daripada jenis pekerjaan lain.
Hal ini berarti soft skill memegang peranan dominan dalam keberhasilan dan keberlanjutan suatu pekerjaan atau perusahaan. Thomas J. Neff dan James M. Citrin dalam bukunya Lessons From The Top (1999) juga menjelaskan bahwa 90% kesuksesan seseorang ditentukan oleh soft skill-nya, sisanya 10% ditentukan hard skill.
Skill set di bidang TIK penting, tapi kemampuan soft skill seperti kejujuran, leadership, komunikasi, kolaborasi, adaptif dan aspek soft skill lainnya sangat menentukan keberhasilan Menkominfo. Ketua Projo (Relawan Pro Jokowi) ini pun tak bekerja sendirian, Nezar Patria yang sebelumnya menjabat Staf Khusus V Menteri BUMN akan membantu beliau sebagai Wakil Menteri Kominfo.
Kombinasi soft skill dan hard skill sudah pasti akan melanggengkan Pak Budi dan Pak Nezar dalam memimpin Kemenkominfo hingga tuntas. Tak menutup kemungkinan akan berlanjut ke periode berikutnya seandainya sukses besar di sisa masa jabatan ini. Intinya apakah Menkominfo harus punya skill set di bidang TIK? Tidak harus, tapi tetap perlu mempelajarinya dengan cara cerdas dan bersungguh-sungguh. (*/)