Neurosains dan filsafat bisa menjadi ruh penting dalam dunia arsitektur, terlebih di era AI. Karena secara mendasar, arsitektur adalah alat manusia untuk menemukan hakikat keberadaan di lingkungan tempat tinggalnya.
FROYONION.COM - Dengan AI, sebuah gambar arsitek dapat diselesaikan bukan dalam hitungan mingguan hingga bulanan, melainkan dalam hitungan detik. Perangkat AI untuk arsitektur seperti Dall-E dan Midjourney telah memulai kick off.
Kemunculannya itu bukanlah lonceng kematian bagi arsitek konvensional, melainkan sebatas alarm.
Bahwa arsitek harus mendefinisikan ulang hakikat arsitektur sebagai seni yang bukan hanya berbicara soal desain, namun lebih dalam adalah filosofi estetika dan etika yang dapat menjawab kebutuhan esensial masyarakat di masa depan.
BACA JUGA: RUMAH BIOFILIK, BISA HEALING SETIAP HARI DI RUMAH
Sejauh ini, AI belum menyentuh wilayah itu. AI hanya berkutat pada efisiensi dan kecanggihan desain. Melihat celah kekosongan itu, adalah tugas para arsitek menyeret filsafat dan neurosains dalam arsitektur untuk memberi hakikat dan nilai-nilai kehidupan.
Ini dilakukan agar dapat selaras dengan pengalaman dan kebutuhan masyarakat hari ini yang sudah mulai aware memandang sebuah bangunan sebagai bukan sekadar bangunan, melainkan berkaitan dengan nilai sosial, nilai sejarah suatu tempat, hingga pengaruhnya terhadap kesehatan mental dan fisik.
Jadi, bangunan tidak terbatas hanya pada fungsionalitasnya saja.
Untuk mengimbangi itu filsafat adalah jawabanya. Filsafat dapat mendorong arsitek untuk mempertimbangkan implikasi etis dan moral dari pekerjaan mereka dan memikirkan dampak desain mereka terhadap individu, komunitas, dan terhadap lingkungan alam.
Cara kita berpikir tentang rumah kita, dan apa yang membuat bangunan menjadi indah, mencerminkan cara kita memandang diri kita sendiri dan kemanusiaan secara luas. Maka dari itu, memadukan ide-ide filosofis ke dalam seni desain diperlukan arsitek untuk mengeksplorasi hakikat keberadaan manusia.
Martin Heidegger seorang filsuf eksistensialisme Jerman, di buku Filsafat Sudah Tamat mengatakan bahwa bangunan belum tentu memiliki arti hunian. Sedangkan banyak bangunan yang dibangun seakan-akan mengklaim bahwa itu adalah hunian, padahal belum tentu.
Menentukan hunian atau bukan, harus didasarkan pada perasaan nyaman yang menyelimuti masyarakat yang ada di tempat tersebut serta banyak aspek lainnya.
Sehingga proses mengubah bangunan kosong menjadi sebuah sekolah atau menjadi tempat fungsional lainnya, menimbulkan pertanyaan filosofis yang pelik seperti: apakah sebuah landmark kehilangan nilai historisnya jika telah diubah secara radikal? Atau jika sebuah rumah yang direnovasi hingga diganti seluruh detil bagiannya apakah itu masih rumah yang sama?
BACA JUGA: SENI MERASA CUKUP DENGAN ‘LAGOM’, FILOSOFI HIDUP BAHAGIA ALA ORANG SWEDIA
Banyak orang kini berpendapat bahwa yang terpenting adalah melestarikan idenya, bukan materi sebenarnya.
Belakangan banyak non arsitek yang terampil mulai menggunakan AI untuk merancang sebuah desain. Namun mereka terpisah dari filsafat. Seringkali ini membawa kegagalan dalam memahami emosi dan martabat manusia.
Ada banyak faktor yang harus diperhatikan selain keindahan desain yakni yang berkaitan dengan akal, keamanan, hak asasi manusia, akuntabilitas, transparansi, keadilan, kesempatan, inovasi, dan inklusivitas. Dan ini adalah tugas para arsitek sungguhan.
Selain filsafat, aspek penting lain yang bisa dikembangkan adalah melihat arsitektur memakai perspektif neurosains, yakni menerapkan studi ilmu saraf dalam rancangannya.
Bangunan masa depan disesuaikan agar selaras dengan kecenderungan neurobiologis kita, kebutuhan neurobehavioral, aspirasi, dan nilai-nilai untuk perdamaian hingga kesejahteraan kolektif.
Bukan hanya lanskap perkotaan kita yang akan mendapat manfaat dari transfer pengetahuan transdisipliner ini. Tapi sangat bermakna bagi individu-individu. Misalnya dengan merencanakan tata kelola kota yang bebas dari macet, bebas emisi karbon, dan ramah terhadap pengguna moda transportasi non mesin.
Arsitektur lintas budaya (transkultural) perlu untuk diterapkan oleh para arsitek. Karena dengan menerapkan itu, dunia arsitektur akan semakin berkembang pesat.
Ini memicu kreativitas para arsitek, terutama dengan mengeksplorasi arsitektur non-barat, karena masih banyak pola arsitektur dari belahan bumi lain yang menakjubkan dari segi estetika maupun etika yang belum terekspos.
Dalam sejarah sudah terbukti, dengan melakukan transkultural akan membuat sejarah peradaban baru. Kita bisa berkaca pada Alhambra di Granada, Spanyol dan Masjid Agung Córdoba yang diubah menjadi Katedral pada tahun 1236.
AI tetap dapat dimanfaatkan oleh para arsitek. Tetapi aspek filsafat dan neurosains perlu disatukan demi mewujudkan cita-cita meraih kesejahteraan psikologis dengan memakai inovasi teknologi untuk menciptakan lingkungan yang berkelanjutan. (*/)