Dengan konten khas #KelanaSaka, Wangsa Loka memperlihatkan serunya mencari versi lain dari diri lewat solo traveling.
FROYONION.COM - Sebagai seorang travel content creator, Wangsa Ayu Prasanti Loka, atau yang biasa dikenal melalui konten #KelanaSaka, menemukan arti hidupnya dalam interaksi bersama orang-orang asing yang belum pernah ia temui sebelumnya. Menemukan esensi bahwa seorang solo traveler nggak hanya menikmati keindahan dari kelana yang ‘khidmat’, namun dari manusia-manusia yang ada di tempat itu pula.
Froyonion berkesempatan untuk ngobrol bersama Wangsa soal solo traveling, dan beragam cerita unik dalam perjalanannya. Berikut hasil obrolan kami:
Sosok yang menginspirasi kamu untuk melakukan traveling?
Ada sosok yang aku ikuti banget di Instagram dan TikTok, yaitu Kak Cory Pramita, dan turns out sekarang Kak Cory jadi teman baik aku, dan kita jadi sering badminton-an.
Semua karena posting-an Kak Cory yang bilang ke followers-nya untuk daftar ke salah satu komunitas pegiat travel yang diinisiasi salah satu platform travel terbesar di Asia Tenggara. Hal itu jadi batu loncatan buat [karier] aku, dan mulai kenal banyak orang, mulai kolaborasi, dan [online presence] mulai naik juga dari situ.
Adakah buku yang menginspirasi kamu?
Ada 1 buku yang bikin aku pengen traveling terus, yaitu The Alchemist karya Paulo Coelho. Aku baca The Alchemist ketika aku dalam perjalanan ke India, yang ternyata sama-sama mengisahkan tentang perjalanan. Bagi aku, ketika kita ada dalam perjalanan, kita ketemu sama banyak hal yang nggak expect untuk kita temui, contohnya masalah, orang baru, dan banyak banget.
Hal ini yang bikin aku pengen selalu melakukan perjalanan, persis seperti cerita dalam buku itu. Ketika traveling, aku menemukan banyak versi baru dari diri aku yang nggak aku tahu sebelumnya.
Jadi, aku merasa traveling adalah salah satu cara untuk mengenal diri aku, dan hal ini aku dapatkan juga dari buku Filosofi Teras.
Apa yang ingin kamu capai dari traveling?
Mungkin basic ya, tapi jawabanku adalah aku ingin keliling dunia. Usiaku sekarang 23 tahun, dan setiap kali aku ketemu sama orang yang lebih ‘besar’ daripada aku, mereka selalu bilang untuk puas-puasin masa muda, karena ketika sudah menikah, semua bakal berbeda.
Aku rasa early twenties adalah fase saat aku harus eksplorasi banyak hal. Kalau aku bisa keliling dunia di usia yang sekarang, aku bakal usahain untuk lakuin hal itu. Aku pengen puasin masa muda aku, sampai ketika aku sudah berkeluarga, mungkin aku udah bosan dengan hal-hal ini, dan aku bisa fokus urus keluarga.
Di satu sisi, traveling ini bukan untuk menghamburkan uang, melainkan memang jadi pekerjaan aku.
Kebiasaan atau hal yang selalu kamu lakukan saat traveling?
Aku adalah tipikal orang yang suka ketemu dengan banyak orang baru, ini jadi cara aku untuk charge energi, ada sebuah tempat yang di sana orang lain nggak kenal kita siapa, itu tuh kayak enak banget, kita bisa jadi apapun yang kita mau.
Mungkin kalau aku kenalan sama orang yang tahu aku, ada semacam pressure yang muncul. Tapi ketika berada di lingkungan yang orang-orangnya nggak tahu aku siapa, aku bisa jadi diri aku sepenuhnya, aku jadi lebih happy.
Aku suka ngobrol sama pegawai hostel tempat aku menginap. Kita kayak membangun sebuah pertemanan, itu yang aku suka dari solo traveling.
Dan ketika aku lagi traveling, dan orang nanya media sosial aku apa, aku bilang, “Jangan, kita kenalan di dunia nyata aja” gitu. “Kamu tahu aku sebagai Wangsa yang ada di sini aja,” kataku.
Dari pengalaman kamu, tantangan seperti apa yang dihadapi perempuan ketika solo traveling?
Kalo solo traveling di Indonesia, aku lelah untuk menghadapi catcalling. Aku memilih untuk tidak merespon, karena itu adalah hal yang menjijikkan.
Juga ketika aku datang subuh ke Jogja, aku hampir kena klitih. Untungnya waktu itu supir bus nggak ngasih aku turun karena aku cewek sendiri.
Kita juga perlu berhati-hati sama orang yang meminta identitas kita, seperti minta nama kamu siapa, asal dari mana, sekolah di mana. Terkadang aku buat identitas palsu, dan memang kita nggak bisa percaya seratus persen dengan orang yang baru kita temui saat traveling.
Melihat banyaknya tantangan serta bahaya yang dihadapi, sebagai solo traveler, hal apa yang sebaiknya nggak dilakukan ketika kita lagi traveling sendirian?
Jangan egois. Misal kayak di Bali, terserah kamu mau pakai crop top, bikini, kita nggak ada yang peduli. Tapi kalo let say di Jawa, nggak bisa kayak gitu, mereka punya tradisi, punya custom sendiri. Nggak bisa egois kayak “Aku mau jadi diri aku sendiri aja”, kita tetap ikuti [budaya] di sana, hal ini juga melindungi kita juga kan, kita tetap sopan karena kita bertamu, berpakaian itu ada dalam kendali kita.
Kamu me-recharge energi saat solo traveling dengan bertemu orang-orang baru, lalu, apakah introvert juga bisa menikmati solo traveling?
Bisa banget, salah satu alasan kenapa aku suka banget solo traveling karena aku ketemu sama kenalan baru hanya di tempat itu aja. Aku nggak menghabiskan waktu dengan orang yang sama, sepanjang jalan.
Tempat yang ingin kamu datangi lagi?
Sebenarnya India, aku pengen banget balik ke sana. Kalau aku pribadi, ada sesuatu yang aku rasa cuma ada di India dan nggak ada di Indonesia.
India tuh luas kan, aku kemarin ke selatan, aku udah liat culture-nya seperti apa. Lalu aku dengar cerita dari orang tua aku tentang India bagian utara, naik gunung pakai pemandu, dan digendong, itu yang bikin aku penasaran.
Saat di India kemarin, aku juga ketemu dengan banyak orang dari Kashmir (bagian paling utara India). Aku pengen menikmati salju di India, alasan aku pengen ke India juga karena orang-orang tuh nggak mau ke sana, jadi kalian nggak usah ke sana, biar aku aja yang ke sana, dan kalian nonton [konten] aku. Ini adalah sisi lain India yang nggak banyak orang lihat di media sosial.
Pertimbangan terbesar ketika ingin mengunjungi suatu negara versi Wangsa?
Aku suka sesuatu yang ‘aneh’, pokoknya, kalau udah aneh, aku pasti suka.
Aku suka banget sama negara-negara yang tidak ‘terjangkau’, Nepal, India, Bhutan, kalau ada rezeki aku pengen banget ke Tibet. Intinya negara-negara yang nggak ada di wishlist banyak orang, tapi aku mau ke sana.
Kalau di Asia Tenggara, aku pengen ke Laos dan Filipina.
Selain traveling, ada kegiatan atau hobi lain yang ingin Wangsa lakukan?
Aku suka banget nulis, dulu sempat launching buku Bukan Salah Cinta.
Karena sekarang banyak melalui waktu sendiri dengan solo traveling, one day aku pengen banget bikin buku tentang self love, terutama untuk laki-laki.
Menurut kamu, kenapa laki-laki harus memahami self love?
Buat laki-laki, somehow topik self love itu dicap cringe. Padahal, kalian juga harus mencintai diri sendiri. Ada sisi lemah dari manusia yang berusaha ditutupi laki-laki, itu yang bikin aku setiap kali bertemu teman-teman cowok yang lagi banyak masalah, aku bakal bilang, “Kamu nangis aja nggak apa-apa kok.”
Aku pengen kalian [laki-laki] juga tahu tentang self love, karena topik ini bukan hanya untuk perempuan. Laki-laki, kalian juga harus mencintai diri kalian kok, kalian nggak harus sekuat itu.
Semoga kalian mencintai diri kalian, karena diri kalian itu berharga.
Saat kita traveling, seharusnya tanggung jawab itu milik bersama, dan entah kenapa, terkadang kita menaruh harapan besar kepada laki-laki untuk melindungi kita. Padahal kita punya kesetaraan yang sama, kita juga harus melindungi diri kita masing-masing.
Tips untuk solo traveler newbie?
Kamu harus tahu bahwa kamu akan kesepian dalam beberapa waktu. Aku ingin orang-orang yang solo traveling bisa berdamai dengan rasa sepi.
Kamu bisa cari referensi tentang tempat tujuanmu dari sekarang tapi kamu akan lebih tahu ketika kamu udah sampai di tempatnya secara langsung. Jangan pernah malu untuk bertanya, jangan pernah malu dilihat orang.
Lakukan sesuatu yang memang kamu suka di sana, dengan referensi yang sudah kamu persiapkan, dengan pakaian yang sopan tentunya, dan berbaurlah dengan masyarakat lokal.
Playlist / musik favorit kamu saat solo traveling?
Aku suka lagu yang puitis, kayak lagu-lagunya Nadin.
Saat ini aku lagi suka lagunya Sal Priadi yang berjudul Kita Usahakan Rumah Itu. Aku suka konsep yang romantis, tapi tenang, bahasanya juga bagus, intinya sangat menikmati lagu bucin saat solo traveling, bikin aku merasa jatuh cinta sama dunia ini.
Akhir-akhir ini, marak pemberitaan tentang turis asing yang suka membuat onar di Bali. Sebagai warga Bali, bagaimana tanggapan kamu tentang hal ini?
Mungkin terjadi karena kita terlalu memanjakan bule selama ini, kita lupa bahwa kita sendiri sebagai orang Bali punya value.
Salah satu contohnya, ketika si bule ngomong sama kita, dan kita nggak bisa Bahasa Inggris, dia marah. Dia menganggap kita bodoh banget, tapi dia lebih bodoh karena nggak bisa bahasa kita, kenapa kita harus mengikuti bahasa mereka sedangkan mereka yang berkunjung ke sini?
Apalagi Bali yang tradisinya ‘kental’ banget, kita harus tegas sama warga asing. Aku harap, imigrasi bakal lebih ‘ketat’ ya tentang hal ini.
Kita sebagai warga Indonesia, mau ke luar negeri aja pertanyaannya kayak wawancara kerja. Tolong perketat juga untuk warga asing yang mau ke Indonesia.
Kalau misalkan kamu mau ke Bali, dan kamu cinta dengan Bali, tolong rawat Bali sebagaimana kamu merawat negara kamu sendiri. Jangan seenaknya, karena kita [warga Bali] juga cinta dan berusaha merawat Bali dengan seutuhnya. Jadi please, rawat sama-sama. (*/)