Seniman graffiti, XGO bersama tim Bunuhdiri Studio berkesempatan menghias desa wisata Batu Suli, Kalimantan Tengah. Seperti apa hasil karya seni XGO dkk?
FROYONION.COM - Di era masifnya media sosial yang menjadi anak kandung generasi Milenial dan kemudian dibesarkan juga oleh Gen Z, urban art seperti mural atau graffiti mendapatkan kebangkitannya.
Dalam tulisan berjudul Mengenal Lebih Dekat dengan Street Art Graffiti, Froyonion mengulik sedikit sejarah lahirnya seni jalanan graffiti.
Soal bagaimana ia berhubungan dengan budaya Mesir Kuno dan era Romawi. Juga bagaimana kemudian mural menjadi media bagi masyarakat yang terpinggirkan untuk mengkritik pemerintahan yang bobrok.
Tak heran jika kemudian para seniman jalanan ini menggunakan nama samaran bahkan anonim. Dari sini lahirlah legenda-legenda mural dunia, seperti Banksy salah satunya.
BACA JUGA: MENGENAL LEBIH DEKAT DENGAN STREET ART GRAFFITI
Kini, sebagaimana yang disebut di awal, graffiti telah menemukan kebangkitannya. Bahkan ia menjadi tonggak untuk menandakan era generasi muda yang mengisi setengah populasi dunia (di Indonesia bahkan lebih 60%).
Ia tak lagi hanya sebagai gerakan bawah tanah yang bergerilya dan bergerak di balik bayang-bayang. Melainkan juga sebagai produk seni visual yang punya daya jual.
Graffiti yang sebelumnya hanya melekat di dinding-dinding fasilitas publik dan bangunan terbengkalai, kini bisa dijumpai di cafe-cafe sejuk dan cemerlang yang doyan memutar lagu-lagu indie. Bahkan tidak jarang juga, kita menemukannya di kaos hingga jaket produksi dari brand lokal.
Sebelumnya Froyonion pernah mengulik seniman mural lokal yakni Jakarta Mural dan Stereoflow dengan ciri khas dan keunikan karyanya masing-masing.
Pada Jumat malam lalu, Froyonion berkesempatan untuk mengulik seniman mural lokal lainnya asal Surabaya bernama XGO yang baru saja menyelesaikan proyek yang dinamainya Mural Adventure Project di desa wisata Batu Suli, Kalimantan Tengah.
Proses dan hasil kerja XGO bersama timnya dituangkan kemudian dipamerkan dalam sebuah film dokumenter berjudul Batu Suli Menggapai Mimpi.
Dari screening film yang kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi tersebut, diceritakan soal rintangan-rintangan yang mereka hadapi, suka-duka mereka selama di sana, juga tentunya proses kreatif mereka menggambar puluhan rumah warga dalam kurun waktu dua minggu saja.
Proyek yang dikerjakan XGO merupakan bagian dari pembangunan desa wisata Batu Suli, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Ide awalnya kabarnya berangkat dari viralnya kampung warna-warni bertahun-tahun lalu dan hingga kini menjadi kampung wisata.
Namun berbeda dengan kampung warna-warni di Malang yang lekat dengan kehidupan urban dan terpapar modernisasi, desa wisata Batu Suli agaknya masih jauh dari kesan tersebut dan bahkan sepertinya masih memegang erat tradisi.
Sepanjang film, kita bakal ditampilkan rumah-rumah kayu tradisional yang beberapa di antaranya bertiang tinggi. Rumah-rumah itu berdiri kokoh di pinggir sungai Kahayan, di antara pepohonan yang masih rimbun dan meneduhkan.
BACA JUGA: SLAPP WELL STREET ART EXHIBITION, CARA BARU APRESIASI KARYA SENI JALANAN
Menggambar mural yang identik dengan seni masyarakat urban di dinding rumah warga yang masih memegang tradisinya jelas terdengar seperti dua hal yang saling kontradiktif. Dan benar saja hal ini kemudian menjadi kendala bagi XGO bersama timnya saat bekerja.
Salah satu kendala yang dihadapi XGO berkaitan dengan hal itu misalnya saat beberapa warga menolak saat rumahnya akan digambar.
“Alasannya logis, mereka ingin menjaga keaslian rumah tersebut dengan mempertahankan warna kayunya,” ungkap XGO dalam diskusi usai pemutaran film.
Untuk menyiasati hal itu, XGO mengambil jalan tengah. Yakni dengan tidak menggambar seluruh dinding rumah dan menyisakan bagian dinding kayu untuk mempertahankan warna aslinya.
Namun, ada juga yang menolak sepenuhnya dan XGO bersama timnya pun tidak memaksa.
“Tapi ada cerita unik juga. Ada orang yang awalnya menolak rumahnya untuk digambar, kemudian minta rumahnya untuk ikutan digambar keesokan harinya, gara-gara melihat rumah tetangga sebelahnya yang sudah selesai digambar,” cerita XGO.
BACA JUGA: MEMAHAMI ALASAN KENAPA SENIMAN MURAL DAN GRAFITI SUKA CORET-CORET TEMBOK
Tantangan XGO bersama tim tak hanya sampai di situ saja. Beberapa warga yang mengizinkan rumahnya untuk digambar meminta detail tambahan agar tampil beda dengan rumah tetangga di sebelahnya. Padahal XGO dkk. sudah menyiapkan desain gambar sejak sebelum berangkat ke Batu Suli.
Ada beberapa detail yang akhirnya dimasukkan XGO sesuai permintaan. Namun tak sedikit juga detail yang harus ditolak demi menghemat waktu. Meski ditolak warga mengaku puas dengan hasil karya XGO dkk.
Tak hanya menggambar rumah warga, XGO juga diminta untuk menggambar rumah ibadah. Yakni balai ibadah Hindu Kaharingan dan gereja.
Bahkan XGO mengungkapkan salah satu momen spesial di sana adalah saat menggambar satu-satunya gereja di desa tersebut. Karena kebetulan pada saat itu adalah malam natal.
Rintangan lainnya yang mesti dihadapi XGO dkk. selama bekerja berkaitan dengan sulitnya untuk beradaptasi terhadap cuaca di sana. XGO mengungkapkan bahwa ketika siang hari, panas matahari begitu terik dan menyengat sehingga menguras stamina.
Sedangkan ketika malam hari, suhu udara begitu dingin. Bahkan tak jarang mereka harus menghadapi hujan yang sangat lebat sehingga membuat salah satu crew-nya harus tumbang karena demam.
BACA JUGA: LAND OF PLEASURE, RESPONS ATAS SENI INDUSTRIAL YANG SERAGAM NAN MEMBOSANKAN
Selain itu hujan yang lebat membuat sungai Kahayan meluap dan menimbulkan banjir yang menyulitkan XGO dkk. membawa perlengkapan ke rumah warga yang akan mereka gambar.
Selain berkat bantuan warga setempat, dalam menghadapi semua rintangan itu XGO membagikan kiatnya untuk terus bisa menyelesaikan karyanya. Yakni dengan menjaga mood agar tetap menyala.
Salah satu mood booster XGO bersama timnya adalah anak-anak di Batu Suli. Baginya bermain dan menggelar aktivitas menggambar bersama anak-anak adalah cara mereka untuk mengisi ulang mood yang sebelumnya habis terkuras.
Masih setia dengan ciri khas seninya, XGO mengusung beberapa tema dalam karyanya di proyek desa wisata Batu Suli ini.
Di salah satu rumah misalnya, XGO menggambar mural yang bertemakan ‘menggapai mimpi’ dengan hasil gambar berupa seorang gadis yang mengulurkan tangan ke langit meraih bintang.
Di rumah lainnya XGO menaruh tema ‘bhineka tunggal ika’ dengan hasil gambar berupa karakter kartun dari berbagai suku yang berkerumun bersama.
BACA JUGA: MANJAKAN MATA DENGAN ‘HEALING’ DI 4 PAMERAN SENI GRATIS DI WISMA GEHA JAKARTA
Tak jarang juga XGO menyertakan juga motif batik khas dayak dalam beberapa karyanya pada proyek tersebut.
Ketika ditanya apa pertimbangannya hingga akhirnya memutuskan mau mengambil proyek di desa wisata Batu Suli ini, XGO menjawab hal itu untuk mendorong batas atau limit-nya.
Lewat proyek ini XGO ingin menantang dirinya dengan menghitung berapa karya yang bisa dihasilkannya dalam waktu yang sebegitu singkat.
XGO mengelola sebuah studio dan art management yang diberinya nama Bunuhdiri Studio yang kemudian juga menjadi tempat bernaung para seniman jalanan mencari nafkah. Dalam proyek desa wisata Batu Suli ini ada campur tangan crew-nya dari Bunuhdiri Studio.
Berkarya sejak tahun 2000-an awal, sejauh ini XGO telah mengadakan pameran tunggal sebanyak enam kali. Selain itu ia juga pernah menjadi wakil Indonesia di Festival Budaya yang diadakan di Osaka, Jepang pada tahun 2019 lalu.
Proyek di Batu Suli merupakan proyek XGO yang kesekian kalinya sebagai seniman mural. Tak hanya itu XGO juga sempat bekerjasama dengan beberapa brand seperti Cleo hingga Persebaya Store.
Sama seperti kebanyakan seniman mural yang punya nama, XGO punya ciri khas tersendiri dalam karyanya. Sehingga karyanya tak hanya enak dipandang tetapi juga mewakili identitas creator-nya.
Mural ciptaan XGO tampak seperti memiliki konsep doodle art dengan adanya campuran aneka bidang datar dengan beragam warna yang saling tumpang-tindih.
Namun, ketika ditanya siapa yang menjadi inspirasi dari karyanya, mudah dipahami jika di sana ada pengaruh kubisme dari Picasso dan ketidakteraturan yang justru menjadi indah khas pelukis dadaisme, Joan Miro.
Sedangkan untuk proses berkarya, XGO mengaku kalau ia berkiblat pada pelukis lokal, Eko Nugroho.
Kami belum paham secara detail bagaimana proses berkarya yang XGO maksudkan, sebab kami harus mengakhiri percakapan karena satu dan lain hal.
Namun, dalam sebuah wawancara bersama Eko Nugroho yang ditayangkan di whiteboardjournal, terungkap bahwa sama halnya dengan seniman lainnya, Eko Nugroho juga berkarya dengan mengandalkan mood. Oleh karenanya penting sekali manajemen mood yang baik agar tetap terjaga.
Proses berkarya inilah yang agaknya XGO terapkan juga. Hal itu terlihat misalnya saat ia berusaha menjaga mood agar tetap bisa terus mengerjakan mural.
Tak hanya itu, dalam wawancara tersebut Eko Nugroho juga memperkenalkan konsep baterai dalam berkarya dan berkesenian.
Konsep baterai itu bicara soal meracik konsep komunitas yang digerakkan oleh satu baterai (orang atau kepala) saja demi menghindari konflik teknis yang membuat komunitas tersebut menjadi miskin karya.
Sebuah konsep yang merangkul dan menaungi banyak seniman, namun punya tujuan yang lebih terarah. Sesuatu yang agaknya juga diterapkan XGO dalam mengelola Bunuhdiri Studio.
XGO juga sempat menceritakan bahwa ia telah mencoba bermain di berbagai gaya lukisan, mulai dari surealis, realis hingga abstrak sebelum akhirnya menemukan gaya yang membuatnya bisa berkarya dengan jujur.
“Sebelumnya aku mencoba berbagai gaya, mulai dari realis, surealis hingga abstrak. Tapi aku merasa seperti sedang berpura-pura (tidak menjadi diri sendiri dalam berkarya). Sampai akhirnya aku menemukan, aku bisa nyaman dan jujur dalam berkarya dengan gayaku sekarang,” jelas XGO.
Usai proyek di Batu Suli, XGO sedang mengerjakan proyek pribadinya yakni dengan menggambar mural dengan kardus bekas rokok sebagai kanvasnya. Karya-karya XGO bisa dinikmati di akun Instagram-nya @xgo_w dan channel YouTube XGO w. (*/)