Berkenalan dengan Resa Boenard, perempuan yang secara sukarela membantu anak-anak dan masyarakat TPST Bantar Gebang demi sarana pendidikan dan perekonomian yang lebih baik. Simak selengkapnya di sini!
FROYONION.COM - Tak banyak yang tahu di balik tumpukan sampah yang menggunung dan berbau tidak sedap, tinggallah sosok wanita hebat yang setengah hidupnya ia curahkan secara sukarela untuk membantu mensejahterakan anak-anak dan masyarakat di Bantar Gebang.
Ialah Resa Boenard. Perempuan berdarah Minang yang banyak orang menyebutnya sebagai Princess of The Dump ini telah berkontribusi besar bagi keberlangsungan hidup anak-anak dan masyarakat di sekitar Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Bekasi.
Sejak 2004, ia telah membangun sanggar belajar BGBJ bagi anak-anak Bantar Gebang dan kini aktif membina kelompok ibu-ibu untuk mengasah kemampuan mengolah kerajinan berbahan limbah melalui startup Arbie Indonesia yang belum lama ia dirikan.
Ditemui di gelaran M Bloc Design Week, Kamis (28/9/2023), perempuan yang karib disapa Mbak Resa itu bercerita kepada tim Froyonion.com bahwa perjuangannya membantu masyarakat di Bantar Gebang bermula karena krisis ekonomi yang melanda kehidupan mereka.
“Aku, tuh, sedih melihat orang-orang di Bantar Gebang. Makin ke sini mereka makin susah untuk beli makanan karena semua harga kebutuhan pokok juga naik, ‘kan. Sedangkan, pekerjaan mereka rata-rata mengepul sampah,” ujar Resa saat diwawancarai Froyonion.com.
BACA JUGA: SISI GELAP FAST FASHION: JADI PENYUMBANG SAMPAH TERBESAR
Sedikit demi sedikit, ia membantu mulai dari kalangan anak-anak agar bisa menyantap makanan layak hingga memberikan akses pendidikan dengan mengajari kursus membaca, menulis, berhitung hingga mempelajari bahasa asing seperti bahasa Inggris serta melatih minat dan kemampuan mereka di bidang kesenian dan olahraga.
Kaum ibu-ibu juga tak luput ia perhatikan. Resa meluangkan waktu dan tenaganya untuk memberikan keterampilan bagi ibu-ibu di sana terkait kerajinan rumah tangga yang terbuat dari limbah. Semua yang ia lakukan gratis tanpa imbalan apa pun.
Penasaran, kisah inspiratif dari sosok Resa Boenard? Tim Froyonion.com telah merangkumnya khusus untuk kalian melalui tulisan di bawah ini. Baca sampai selesai!
Hal yang lumrah jika mayoritas anak muda menghabiskan masa remajanya dengan nongkrong bareng teman atau berburu kuliner kekinian untuk dipamerkan di media sosial. Namun, hal ini tidak berlaku bagi Resa.
Sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD) hatinya sudah tergerak untuk menolong sesama manusia. Mulai dari langkah paling sederhana, ia sangat senang membagikan jatah makan yang dibawa dari rumah untuk dimakan bersama teman sekelasnya.
Bukan tanpa alasan. Selama puluhan tahun hidup di dekat TPST Bantar Gebang, Resa memahami kondisi teman-temannya yang tak seberuntung dirinya. Terkadang ia tak malu mengajak mereka untuk makan bersama di rumahnya yang kelak menjadi tujuan menghadirkan makanan yang layak di tempat belajar yang ia dirikan, BGBJ.
“Kalau ibuku lagi masak banyak, aku suka ajak teman-teman untuk sekadar makan bareng di rumah karena orang Padang, ‘kan, terkenal masakannya yang enak, ya? Walaupun cuma jengkol, petai, atau ikan doang. Itulah inspirasi aku untuk kasih makan ke anak-anak di BGBJ,” tambahnya.
Kami sempat tercengang ketika Resa menceritakan temannya yang harus berburu jamur di antara tumpukan sampah sebagai bahan makanan mereka sehari-hari. Bahkan, mereka rela memasak makanan sisa yang didapati dari beberapa rumah makan untuk diolah kembali dengan bumbu sekadarnya.
“Kebayang, deh, ketika mereka membawa pulang makanan sisa dari restoran, lalu sesampainya di rumah, mereka cuci, mereka olah lagi dengan bumbu seadanya. Makanya, dari kecil aku selalu berharap jika aku punya uang banyak, aku pengin kasih mereka makanan,” ucapnya dengan nada lirih.
Selain memberi makanan yang layak. Di sanggar BGBJ, Resa bersama relawan lainnya turut memberikan akses pendidikan gratis bagi anak-anak. Meskipun bukan lembaga pendidikan formal, ia ingin sanggar ini bisa menjadi wadah anak-anak untuk belajar menulis, berhitung, membaca, dan sejumlah kegiatan seni dan olahraga.
Bicara soal reaksi dari keluarga, ia kerap menemui tanggapan yang beragam. Ada yang setuju, ada pula yang kurang setuju. Misalnya, tanggapan dari sang kakak yang kurang setuju jika Resa rela menghabiskan uang jajannya untuk membeli makanan dan dibagikan kepada teman-temannya.
“Sejak tahun 2004, kakakku udah nggak setuju dan dia sering bilang begini, ‘Ngapain, sih, bantu-bantu orang kayak orang susah dan setiap minggu selalu beli gorengan buat kasih anak-anak, terus bikin agar-agar?” timpalnya dengan meniru pembicaraan kakanya.
Penghasilan orang tua yang tidak menentu menjadi alasan mengapa sang kakak tidak sudi ketika Resa sibuk membantu orang lain. Di samping ini, Resa juga sempat mengubur impiannya untuk melanjutkan ke bangku perkuliahan sebelum akhirnya ia meraih kesempatan itu dengan pembiayaan yang dibantu oleh sahabatnya.
Gimana respon dari kedua orang tua Resa? Mereka tidak banyak berkomentar terhadap apa yang sedang diperjuangkannya. Ini menjadi sinyal hijau bagi dirinya untuk bisa bebas mengeksplorasi kegiatan kedermawanan yang tengah ia gerakkan berupa dukungan penuh dari sang orang tua.
“Kalau orang tuaku, sih, setuju. Mereka paham kalau aku orangnya sangat ambisius dan beruntungnya mereka sangat mendukung keputusan aku,” terangnya.
Sebagaimana yang diberitakan oleh media nasional maupun mancanegara. Sosok Resa mampu menjadi pahlawan lingkungan bagi sekitarnya. Tak sedikit wisatawan asing yang tertarik untuk tinggal dan belajar bersama anak-anak di Bantar Gebang.
“Hampir setiap bulan kita kedatangan tamu dari luar negeri yang sengaja datang ke tempat kita cuma untuk ketemu sama anak-anak, terus ada juga yang pengin ajak mereka makan bersama. Karena mereka mau sesuatu yang berbeda. Makanya, nggak heran jika mereka rela menginap selama 5 bulan untuk membantu mengajari bahasa Inggris dan keterampilan lainnya,” kata Resa.
Sekitar tahun 2021 - 2022, Resa harus menghadapi rintangan yang membuatnya benar-benar syok. Bangunan yang ia dirikan belasan tahun silam untuk ditempati oleh anak-anak di sanggar BGBJ terpaksa digusur karena perluasan kawasan TPST Bantar Gebang.
Tapi bukan namanya Resa Boenard jika ia menyerah kepada keadaan. Segenap tenaga, waktu, dan materi ia kerahkan untuk bangkit dan kembali mendirikan wadah filantropi baru bernama Arbie Indonesia. Seperti dijelaskan di awal, startup yang ia dirikan belum lama ini memiliki tujuan yang mulia.
Mengambil nama dari huruf depan nama lengkapnya, Arbie Indonesia dilambangkan melalui sebuah logo bergambarkan tanaman teratai. Resa berkisah tentang makna di balik pemilihan tanaman teratai yang ternyata sarat akan arti yang mendalam.
“Logonya terinspirasi dari teratai yang bisa hidup di lumpur untuk melambangkan BGBJ yang berada di lahan penuh sampah dan terkesan nggak bisa jadi apa-apa. Tapi dengan filosofi ini kita bisa mematahkan stigma itu dan bisa berdaya, berpendidikan, berkemampuan. Artinya, kita bisa wangi walaupun hidup di tempat yang kumuh,” jelasnya.
Bersama dengan komunitas Rambah Runtah memberikan dukungan startup yang didirikan Resa ini. Mulai dari pelatihan bagi ibu-ibu untuk mengolah limbah menjadi sesuatu yang bernilai serta Arbie Indonesia turut memamerkan hasil karya mereka dengan tajuk #madeinBantarGebang di acara M Bloc Design Week 2023.
Di penghujung obrolan, Resa menyampaikan sebuah pesan untuk anak muda yang ingin mendirikan organisasi ataupun startup berlandaskan kedermawanan.
“Pesanku buat kalian tetap semangat. Walaupun kita merasa bingung mau ngapain, lebih baik merenung dulu, pikirkan, dan pasti ada waktunya untuk mewujudkan itu semua. Ayo! Kita bisa bikin dari barang-barang yang sudah terbuang untuk kita olah menjadi sesuatu yang bernilai dan bermanfaat buat semua orang,” pungkasnya. (*/)
BACA JUGA: ANGKAT ISU LINGKUNGAN, M BLOC DESIGN WEEK 2023 JADI AJANG KREATIVITAS DESAINER DALAM BERKARYA