Budaya Betawi mulai banyak ditinggalkan dengan berbagai alasan. Padahal mengenal budaya adalah identitas dan jati diri yang harus dilestarikan.
FROYONION.COM - Fifi Firman Muntaco di kediamannya di daerah Kramat Jati, Jakarta Timur bercerita tentang upaya yang ia lakukan selama melestarikan kebudayaan Betawi. Fifi kerap menulis cerpen dan berita dengan bahasa Betawi pada tahun 2008-2010.
Fifi baru saja mendapat apresiasi sebagai Tokoh Lokal Legendaris kota Jakarta oleh Grab dalam acara Festival Legendaris GrabFood. Grab memberikan tanda penghormatan kepada sosok-sosok yang andil dalam menjaga dan melestarikan budaya lokal kepada Fifi. Dia terpilih sebagai salah seorang Tokoh Lokal Legendaris dari Jakarta karena usahanya dalam melestarikan kesenian musik Betawi Samrah sejak 1993..
Hingga saat ini, Fifi masih menjalankan sanggar Betawi Firman Muntaco melanjutkan perjuangan ayahnya, almarhum Firman Muntaco. Sanggar tersebut juga melatih berbagai kesenian seperti lenong, tari Betawi, palang pintu, dan marawis. Sanggar yang dikelola oleh Fifi beberapa kali meraih prestasi untuk kompetisi lenong dan perkusi tingkat DKI Jakarta.
BACA JUGA: ASAL-USUL SENI BUDAYA ONDEL-ONDEL DI TANAH BETAWI
Fifi suka membaca tulisan Betawi karya ayahnya dan mengaku takjub dengan kemampuan Firman Muntaco dalam menulis. Dia pernah menyimak serial tulisan Betawi dengan topik cerita silat karya Firman Muntaco yang mencapai 3.400 episode.
“Bapak komitmen dalam menulis, dan mampu membuat tulisan dengan menggunakan banyak topik,” ucap Fifi. “Saya enggak mau mendompleng nama bapak saya.”
Dia pun sempat meraih juara 1 lomba menulis cerpen bahasa Betawi Dinas Kebudayaan pada 2011 yang diikuti oleh sekitar 30 peserta yang hanya diikuti oleh 3 orang wanita, termasuk dirinya.
Menurut Fifi, karir menjadi penulis seperti dia dan ayahnya haruslah mengorbankan waktu dan tenaga dalam mencari ide tulisan, termasuk mengorbankan waktu tidur malam.
Dia kerap membubuhkan pesan moral dan humor ke dalam karya tulisannya. Bagi Fifi, tulisan harus berisi unsur pendidikan dan pesan moral. Tidak lupa untuk menambahkan unsur humor karena orang Betawi terkenal humoris.
Fifi menceritakan bahwa orang Betawi pada zaman dulu sering merasa kesulitan ketika menghadapi kolonialis Belanda. Saat itu orang Betawi menghadapinya—setidaknya untuk dirinya sendiri dengan coping mechanism—lewat berhumor.
BACA JUGA: SEBERAPA PENTING ADAT DAN BUDAYA DAERAH BAGI ANAK MUDA?
Mengutip dari Ensiklopedia Sastra Indonesia, Firman Muntaco adalah satu-satunya pengarang yang sepanjang masa karir menulisnya secara konsisten dan telah berhasil menulis cerita Betawi. Firman Muntaco tidak hanya menggunakan bahasa Betawi sebagai bahasa cakapan para tokoh ceritanya, tetapi hampir pada seluruh bagian ceritanya.
Dalam cerita-ceritanya, tanpa sungkan Firman menggunakan kata-kata seperti ogah, bisa, sembari, nongol, dong, deh, sih, uber, gede, jaro, lampu colen, dan masih banyak lagi kata-kata yang hingga tahun 1960-an tidak lazim ditemukan dalam khazanah kesusastraan kita.
Selain menulis cerita Betawi, Firman Muntaco juga menulis naskah sandiwara, skenario film, dan artikel tentang hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan dan kesenian Betawi. Di samping itu, ia juga aktif menghimpun dan membina kelompok-kelompok kesenian Betawi, baik seni musik, tari, maupun teater. Salah satu naskahnya yang sempat difilmkan adalah Ratu Amplop yang disutradarai oleh Nawi Ismail.
Fifi pun mengamini bahwa anak muda zaman sekarang banyak yang tidak tertarik dengan budaya lokal. Dalam melestarikan budaya Betawi, Firman Muntaco pun harus merogoh kantongnya sendiri dalam menjalankan pentas pertunjukan
“Biarin sekarang jadi martir demi kelestarian budaya Betawi di masa depan,” ucap Firman kepada Fifi.
Misalnya ketika harus menampilkan seni pertunjukan budaya Betawi di televisi, Firman saat itu mengundang Benyamin dan Jaja Miharja dengan merogoh dompetnya sendiri supaya orang lain menyukai budaya Betawi lewat figur artis tersebut. Fifi pun pernah ikut menjadi pemeran pentas untuk menggantikan pemeran yang berhalangan hadir.
Fifi bercerita bahwa anaknya menikah dengan warga negara asing (WNA) asal Prancis. Mereka tetap mengadakan selamatan dan pernikahan adat khas Betawi dengan mengadakan palang pintu di Taman Mini Indonesia Indah.
Pengurus dan anggota sanggar Betawi Firman Muntaco kebanyakan berusia 30 tahun ke atas. Fifi memiliki guru tari dan seni budaya Betawi lainnya. Seni tari yang bisa diajarkan antara lain tari selamat datang, tari kreasi, tari Bali, tari Saman, tari Melayu dan Papua.
Melestarikan budaya Betawi memang membutuhkan banyak hal, termasuk materi. Fifi mengakui bahwa surutnya minat pemuda dalam melestarikan budaya Betawi salah satunya adalah karena faktor ekonomi masing-masing orang.
Contohnya banyak orang akhirnya tidak mengadakan arak-arakan ketika sunat, mengundang ondel-ondel, ataupun potong dan menimbang rambut anak usia 40 hari. Budaya memotong rambut yaitu bayi berumur 40 hari memotong rambutnya dan menimbangnya di toko emas. Apabila berat rambutnya setengah gram, maka orang tua harus bersedekah emas setengah gram juga.
Beberapa budaya Betawi yang masih relevan lantaran mudah untuk dilakukan antara lain melestarikan makanan khas Betawi, seperti toge goreng, laksa dan bir pletok. Fifi pun masih sering menggunakan bahasa betawi hingga saat ini. Acara betawi seperti khataman Al-Qur’an dan pernikahan adat Betawi juga masih relevan untuk dilakukan pada masa kini.
Budaya merupakan identitas dan jati diri yang harus dilestarikan. Dengan mengenal budaya, lo pun bisa mengenal identitas masyarakat termasuk keluarga lo sendiri lewat budaya yang pernah dilakukan pada masa sebelumnya. Maka dari itu, budaya adalah hal penting yang harus dilestarikan. (*/)