Dalam diskusi bertajuk "Delsy Syamsumar: Yang Terserak, di Luar, dan Sensual" yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta, kita bisa mengenal siapa sosok Delsy Syamsumar. Kiprahnya di perfilman Indonesia tak hanya sebagai penata artistik melainkan juga pelopor.
FROYONION.COM - Selama ini mungkin kamu mengenal para pekerja film yang ada di balik layar hanya sebatas pada penulis skenario, sutradara, dan produser. Namun tahukah kamu bahwa sebetulnya banyak pihak yang terlibat dalam proses produksi sebuah film, yang juga memegang peran tak kalah pentingnya. Salah satunya adalah penata artistik atau biasa disebut juga sebagai art director.
Peran art director dalam sebuah film sangat krusial mengingat di tangan mereka-lah tanggung jawab artistik dan estetika pada sebuah film dipertaruhkan. Mereka-lah yang akan menangkap ide dan konsep yang diberikan oleh sutradara dan penulis cerita, untuk mewujudkannya menjadi visual yang bisa kita nikmati di layar.
Lewat tangan penata artistik, sebuah film tak hanya bercerita melalui dialog yang disampaikan oleh para karakternya, melainkan juga melalui latar dan suasana yang dibangun sedemikian rupa. Dan salah satu art director terbaik yang pernah dimiliki Indonesia adalah Delsy Syamsumar.
Pada diskusi bertajuk "Delsy Syamsumar: Yang Terserak, di Luar, dan Sensual" pihak Froyonion.com berkesempatan untuk mengenal lebih dekat tentang sosok Delsy Syamsumar dan kiprahnya dalam dunia film.
Diskusi yang berlangsung pada Senin malam (26/6/2013) menghadirkan dua narasumber yakni: Hikmat Darmawan yang merupakan kritikus, kurator dan peneliti di bidang budaya populer yang mencakup film, komik dan sastra; juga Kamila Andini yang merupakan sutradara film yang sudah banyak memproduksi film, salah satunya "YUNI" (2021).
Terlahir dengan bakat melukis yang hebat, Delsy Syamsumar mengawali karir sebagai pengarang komik sejak usianya masih belasan tahun. Komik perdana karangan Delsy berjudul "Mawar Putih dan Bajak Laut Aceh" yang diterbitkan oleh Majalah Aneka.
Sejak saat itu, nasib Delsy berubah. Seniman berdarah Minang itu akhirnya mendapat kesempatan mengembangkan karirnya sebagai pengarang komik di Jakarta sekitar tahun 1954. Di bawah naungan sebuah penerbitan, Delsy akhirnya menelurkan sebuah karya komik berjudul "Sejarah Pahlawan Tanah Air" dan "Si Semut".
Kehidupan Delsy di Jakarta membawanya untuk bergabung dalam circle "Seniman Senen" yang anggotanya merupakan seniman teater, orang perfilman, dan jurnalis masmedia. Hal ini kemudian membawa Delsy buat melebarkan sayapnya di dunia perfilman sebagai penata artistik hingga pelukis poster film.
Sumbangsih Delsy Syamsumar dalam dunia perfilman Indonesia bisa dibilang sangat luar biasa. Delsy disebut sebagai pelopor penggunaan poster cetak offset dalam film dan majalah. Bahkan Delsy merupakan pelopor visual effect di film Indonesia ketika profesi tersebut masih sangat asing di masa tersebut.
Selain dalam bentuk komik dan poster film, karya dari Delsy bisa dijumpai juga dalam sampul novel karya Motinggo Busye dan sampul novel stensilan karya Abdullah Harahap. Karya-karya dari Delsy juga berupa storyboard untuk film yang tak hanya berupa tulisan melainkan juga dilengkapi dengan gambar.
Dalam pameran DKJ Fest 2023 yang diadakan di Taman Ismail Marzuki hingga tanggal 7 Juli mendatang, kamu dapat melihat beberapa karya dari Delsy Syamsumar. Mulai dari komik, lukisan, hingga storyboard hasil kreasi tangan dari Delsy.
Seperti judul diskusi pada Senin malam itu, karya-karya dari Delsy Syamsumar banyak yang terserak dan tidak diarsipkan sehingga jejak dari karyanya banyak yang hilang.
Hikmat Darmawan selaku pengamat budaya populer di Indonesia yang mencari jejak karya Delsy mengungkapkan, bahwa minimnya pengarsipan pada karya Delsy karena karya sang seniman dianggap oleh pemerintah di masa itu sebagai seni terapan. Terlebih lagi ciri khas dari gambar Delsy terkesan sensual dalam memvisualisasikan tubuh perempuan.
Meski menyayangkan terseraknya karya-karya Delsy yang menjadi penanda tumbuhnya budaya pop di Indonesia, Hikmat mensyukuri adanya diskusi soal Delsy, akan menjadi awal baru untuk penelitian lebih lanjut soal sang seniman. Terlebih lagi generasi sekarang lebih terbuka dengan seksualitas dan tak lagi menganggapnya sebagai sesuatu yang tabu layaknya di masa lalu.
Sebagai seorang penata artistik, Delsy Syamsumar bahkan sudah merancangnya lebih dahulu melalui storyboard bergambar yang dibuatnya. Penggunaan storyboard bergambar pada produksi film di masa itu berguna untuk mempermudah sutradara dalam menyampaikan ide di kepalanya. Hal itu juga berfungsi dalam menjembatani perbedaan pandangan antara sutradara dan kameramen–di masa itu sutradara tidak punya monitor untuk melihat hasil shoot kamera. Sehingga hasil pengambilan gambar setiap adegannya bisa sesuai harapan dan arahan sutradara.
Walaupun kini masalah tersebut bisa diatasi dengan kemajuan teknologi dalam produksi film, hal ini tidak menjadikan peran penata artistik menjadi berkurang dalam sebuah film. Kehadiran penata artistik dalam film sangat membantu sutradara dalam menyampaikan ide artistik yang diinginkan sutradara.
Namun perlu digaris bawahi bahwasanya mewujudkan ide di kepala sutradara dalam sebuah visual bukanlah hal yang mudah. Hal ini diakui sendiri oleh Kamila Andini ketika ditanya cara mudah untuk menerjemahkan konsep di kepala sutradara untuk divisualisasikan.
"Tidak tahu caranya seperti apa. Bahkan sampai selesai syuting, saya bisa tidak menemukan bagaimana caranya. Karena bagi saya selama proses film making adalah proses mencari dan menemukan. Dan banyak juga (ide di kepala) yang tidak ketemu (cara penyampaian artistiknya). Terlebih lagi saya menyukai pendekatan secara organik. Namun seiring waktu, saya menemukan cara-cara tersendiri untuk menggambarkan ide-ide di kepala untuk mempermudah kerja tim artistik saya," jelas sutradara film Before, Now & Then tersebut.
Kamila Andini juga menyebutkan bahwa adanya tata artistik dalam film membantu sutradara dalam menghadirkan suasana dan tekstur yang ingin dimasukkan dalam cerita. Hal ini misalnya digambarkannya lewat nuansa maghrib yang dihadirkan dalam film Sekala Niskala.
Sutradara yang sukses lewat film berjudul YUNI ini juga menyebutkan bahwa adanya tata artistik dalam film, menambah opsi bagi sang sutradara untuk bercerita selain lewat dialog. Oleh karenanya keterlibatan art director dalam sebuah film, jelas tak bisa dipandang sebelah mata. (*/)