Penasaran gimana jadinya jika dunia sastra diolah melalui artificial intelligence? Waktunya berkenalan dengan Martin Suryajaya, penulis yang ingin membuktikan kemungkinan itu.
FROYONION.COM - Martin Suryajaya dikenal dengan dedikasinya sebagai penulis filsafat, kritikus sastra, novelis, dosen hingga kreator konten. Di pertengahan tahun 2023, ia meluncurkan buku Penyair sebagai Mesin yang membuka mata pembaca soal perkembangan dunia sastra dari kacamata artificial intelligence (AI).
Buku yang disusun selama 2,5 bulan itu dibalut dengan ilustrasi penyair legendaris, Chairil Anwar dengan beberapa bab yang salah satunya membahas eksperimen Martin dalam mengumpulkan korpus puisi-puisi Indonesia dan melatih mesin AI untuk melihat bagaimana teknologi ini bisa membuat karya serupa.
Pada acara peluncuran buku terbarunya, tim Froyonion.com berkesempatan untuk hadir. Diketahui, ia memiliki tujuan tersendiri dari kerja kerasnya menyusun buku berukuran tebal tersebut. Di antaranya adalah untuk melatih AI dalam melihat sejarah puisi alternatif di Indonesia.
“Tujuan saya melatih AI dalam menulis puisi adalah untuk membantu melihat sejarah puisi alternatif. Mulai dari kemungkinan puisi-puisi lain dari seorang penyair, apa saja puisi-puisi yang laten dalam korpus seorang penyair, dan puisi-puisi yang tidak pernah dituliskan tapi mungkin dituliskan berdasarkan gaya penyair tersebut,” ucap Martin.
Jika kalian penasaran bagaimana proses terciptanya buku itu. Paling tidak harus memahami algoritma dan melatih mesin dengan dataset custom yang berasal dari puisi-puisi Indonesia melalui arsitektur deep learning berbasis RNN, LSTM, Bi-LSTM, dan attention-based model. Karena inilah eksperimen yang dilakukan oleh Martin.
“Saya melatih sendiri mesin dengan dataset custom, diambil secara spesifik dari puisi-puisi Indonesia. Kemudian, saya menggunakan arsitektur deep learning berbasis RNN, LSTM, Bi-LSTM, dan attention-based model,” ujarnya.
Hasilnya? Cukup menarik dan membuat siapapun bakal penasaran dari eksperimen Martin. Seperti gaya puisi yang dihasilkan mesin ternyata memiliki karakteristik yang cukup berbeda dibanding ketika manusia membuat sebuah puisi. Biar semakin dekat, mari kita berkenalan dengan sang penulis, Martin Suryajaya.
BACA JUGA: MARAKNYA PENGGUNAAN ARTIFICIAL INTELLIGENCE (AI), BAKAL JADI ANCAMAN BAGI PEKERJA KREATIF?
Martin Suryajaya lahir dan besar di Semarang, Jawa Tengah. Ia menempuh pendidikan S1 jurusan filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya pada tahun 2005 sampai 2009 dan melanjutkan pendidikannya pada almamater yang sama di tingkat S2 dari tahun 2010 sampai 2012 serta jenjang S3 dari tahun 2019 sampai 2021.
Singkat cerita, ketertarikan Martin akan dunia sastra dan filsafat berawal dari kegemarannya membaca buku filsafat sejak bangku SMP, hingga lingkungan keluarganya yang dekat dengan seniman, maupun sastrawan. Bahkan di masa-masa krisis seperti tahun 1998, ia banyak membaca buku tentang spiritual seperti Bhagavad Gita.
Tulisan serius yang pertama kali dibuat oleh Martin tercipta saat ia merasa kecewa atas pelarangan rambut gondrong semasa bersekolah di SMA Kolese Loyola Semarang. Lantas, ia menulis opini sebagai bentuk protes kepada sekolah dengan memasukkan kutipan-kutipan Marx serta pamflet berisi kritik yang dibagikan sebanyak 200 eksemplar ke setiap kelas. Dari situlah Martin menemui keasyikan dalam menulis.
Martin telah melahirkan karya buku dan novel. Diantaranya adalah Sejarah Estetika (2016) yang memenangkan penghargaan Best Art Publication dari Art Stage 2017, novel Kiat Sukses Hancur Lebur (2016) dengan penghargaan Sastra Badan Bahasa 2018 serta menjadi Novel Pilihan Majalah Tempo 2016, buku puisi Terdepan, Terluar, Tertinggal: Antologi Puisi Obskur Indonesia 1945-2045 (2020), dan buku Penyair sebagai Mesin (2023).
Selain itu, Martin juga aktif di media sosial YouTube. Di sana ia menyediakan aneka konten tentang fiilsafat, sastra, dan budaya. Tujuannya agar semua penonton bisa masuk ke seluk-beluk kehidupan para filsuf, sastrawan, seniman dan penulis. Di dalamnya, ia juga mengulas buku, puisi, sajak, maupun kritik sastra, seni, dan film.
AI dengan dunia sastra terlebih sastra Indonesia, kini menjadi diskusi yang gencar dilakukan. Sebagian mengatakan jika AI berpotensi menurunkan kreativitas para seniman, sebagiannya lagi bilang kalau AI justru dapat menjadi lawan baik yang artinya masing-masing memiliki karakteristiknya tersendiri.
Selaras dengan hal itu, menurut Martin, AI dapat memberikan kemungkinan-kemungkinan perkembangan terhadap puisi, penyair, dan seniman di masa sekarang. Bahkan, ini didasari dari beberapa korpus pusi yang ia latih.
“Puisi, penyair, dan seniman secara umum menurut saya masih relevan di era AI ini. Apa yang dilakukan AI dalam bahasa adalah next word prediction berdasarkan korpus teks tempat ia dilatih,” jelas Martin.
Soal komentar negatif dan anggapan miring terhadap keberadaan AI, mulai dari terancamnya posisi manusia terhadap suatu pekerja, atau sumber AI yang dinilai tidak kredibel dan terpercaya. Baginya, ini justru semakin memperkuat bahwa AI dan sastra yang diciptakan oleh manusia, masing-masing memiliki keunikan.
“Buat penyair, ini bisa jadi sparring partner yang baik. Mesin bisa menghasilkan susunan kata puitis yg nggak terpikir sebelumnya oleh penyair. Jadi penyair dan seniman ngga perlu takut sama AI. Justru AI bisa jadi baseline yang baru bagi kegilaan kreatif kita. Kalau AI aja bisa gini, masa kita bikin karya yang biasa-biasa aja?” tandasnya saat diwawancarai.
Meski kehadiran AI memicu pro dan kontra terhadap keberlangsungan dan kemajuan sastra Indonesia. Namun, hal ini sebaiknya bukan menjadi persoalan dan perdebatan abadi karena seperti yang dikatakan Martin, sudah saatnya kita sebagai manusia bisa membuat karya terbaik yang bisa bersaing dengan mesin seperti AI. (*/)
BACA JUGA: BELAJAR DARI ‘MASTERMIND’ CHATGPT MIRA MURATI: ANAK MUDA DAN INOVASI YANG NGGAK ADA MATINYA