Peringatan: Artikel ini memuat bahasan mengenai bunuh diri sehingga jika kamu merasa sangat peka terhadap isu ini, mohon jangan melanjutkan membaca. Di Indonesia yang jumlah kasus bunuh dirinya terus naik dari tahun ke tahun, baru segelintir anak muda yang melakukan gerakan nyata untuk memperbaiki keadaan. Benny Prawira satu di antaranya.
FROYONION.COM – Kalau ngomongin soal fenomena bunuh diri khususnya di negeri kita tercinta ini, susah kayaknya untuk memisahkan itu sama stigma yang nempel di masyarakat. Pasti sering beredar pendapat tentang bunuh diri adalah cara mati yang paling hina, sebuah garansi untuk masuk neraka, dan juga aib keluarga.
Padahal banyak orang gak sadar bahwa fenomena bunuh diri itu sangat kompleks. Pemicunya bisa berbagai macam dan berkaitan erat dengan kesehatan mental seseorang. Fenomena bunuh diri sendiri selalu ada setiap harinya. Bahkan menurut laporan World Health Organization (WHO), kasus bunuh diri bertambah setiap 40 detik setiap harinya.
Menurut data dari Kementerian Kesehatan, Indonesia mengalami sekitar 1.800 kasus bunuh diri per tahun. Kasus ini selalu meningkat setiap tahunnya dengan 75% korban ada di usia produktif (15-64 tahun).
Banyaknya korban jiwa akibat bunuh diri dan kurangnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan mental terkait fenomena bunuh diri membuat Froyonion ingin mengobrol lebih lanjut mengenai hal ini.
Maka, kali ini Froyonion berkesempatan buat ngobrol soal fenomena bunuh diri dengan Benny Prawira Siauw, seorang psikolog dan suicidologist yang aktif mengkaji dan menyuarakan tentang pencegahan bunuh diri di Indonesia melalui komunitas Into The Light yang didirikannya.
Alasan ia mendirikan komunitas tersebut berawal pada tahun 2012 saat Benny masih menjadi mahasiswa psikologi. Kala itu ada beberapa teman yang mengaku bahwa mereka memiliki pemikiran untuk melakukan bunuh diri. Benny yang melihat fenomena ini kemudian merasa bingung harus bagaimana. Padahal ia seorang mahasiswa psikologi pada masa itu, tapi dia ngerasa belum punya kapabilitas untuk menolong.
Salah satu upaya Benny Prawira untuk menyebarkan kesadaran akan pencegahan bunuh diri dan kesehatan mental (Foto: Eben Haezar)
Dari sini Benny kemudian berinisiatif untuk mengadakan seminar tentang pencegahan bunuh diri di tahun 2012. Dari seminar tersebut, ternyata banyak sekali yang reach out dan bercerita tentang keinginan yang sama untuk melakukan bunuh diri. Pria berumur 32 tahun ini pun akhirnya tersadar bahwa fenomena bunuh diri jauh lebih besar dari pada yang ia bayangnya.
Akhirnya di tahun yang sama, ia mendirikan komunitas Into The Light. Sebuah komunitas berbasis anak muda pertama di Indonesia yang berfokus untuk memberikan advokasi, kajian, dan edukasi pencegahan bunuh diri.
Into The Light juga punya berbagai pencapaian yang pastinya mantab banget. Seperti aktif update infografis dan konten untuk menghilangkan stigma tentang bunuh diri di sosial media, aktif mengeluarkan artikel, bahkan berperan aktif dalam sosialisasi pedoman pemberitaan kasus bunuh diri kepada para pers dan jurnalis.
Benny nggak pernah nyangka kalau komunitas yang terbentuk dari hasil nongkrong ini bisa menjadi sarana untuk menolong banyak jiwa. Kalau lo tertarik buat gabung di komunitasnya juga bisa banget kok. Karena Into The Light aktif membuka lowongan untuk sukarelawan yang ingin berperan aktif di dunia kesehatan mental khususnya fenomena bunuh diri. Buat lebih lengkapnya lo bisa langsung aja ke website mereka di sini .
Balik lagi ke pembahasan soal bunuh diri di Indonesia. Jujur penanganannya masih jauh dari kata “baik”. Contohnya aja nggak ada sistem registrasi kematian karena bunuh diri yang melaporkan kepada masyarakat berapa persisnya korban akibat bunuh diri maupun penelitian perihal bunuh diri yang melibatkan semua golongan masyarakat.
Penanganan dan pencegahan yang belum memadai membuat Indonesia menempati peringkat tertinggi kasus bunuh diri se-Asia Tenggara.
Benny juga menegaskan bahwa angka-angka yang menyangkut hal-hal sensitif seperti bunuh diri itu bagaikan gunung es. Terlihat besar di permukaan, tapi jauh di dalamnya mungkin lebih besar lagi.
“Makanya kita harus sadar bahwa kasus kematian karena bunuh diri itu nggak main-main. Menurut saya 1 nyawa aja udah memprihatinkan, apalagi banyak,” jelasnya.
Maka dalam tujuannya untuk menghentikan stigma terhadap bunuh diri dan mengupayakan kesehatan mental di Indonesia, Benny banyak memfokuskan penelitiannya pada anak muda.
“Menurut saya justru edukasi tentang bunuh diri itu harus dimulai dari anak muda, minimal usia 18-24 tahun. Karena kelompok orang muda di seluruh dunia itu adalah kelompok yang paling rentan untuk mengalami masalah kesehatan mental. Dan setiap tahun rentang umurnya semakin muda.”
Ia juga berkata bahwa siapa saja yang sudah memiliki konsep kematian, sudah bisa membayangkan bunuh diri. Bahkan anak SD sekalipun jika ia sudah bisa membayangkan tentang kematian, bisa saja bisa loh dia berpikir untuk bunuh diri. Makanya Benny sangat berupaya untuk meningkatkan kesadaran akan kesehatan mental dan pencegahan bunuh diri di kalangan muda karena mereka juga punya potensi pemulihan yang tinggi pula.
Sayangnya lagi-lagi Indonesia selalu dipenuhi sama mulut tetangga. Kalau ke psikolog, dicap aneh. Pengen konsultasi ke psikiater, eh malah dicap gila. Makanya sulit banget untuk meniadakan stigma-stigma kayak gini supaya orang Indonesia yang memang merasa butuh konsultasi ke profesional, bisa pergi dengan aman.
“Berhadapan sama stigma aja udah sulit banget, belom lagi kalau diomongin tetangga atau orang sekitar. Ditambah lagi biaya konsultasi yang tidak murah. Yang kayak gini yang coba saya lihat secara lebih luas dan berusaha saya bantu bersama teman-teman di Into The Light,” jelasnya.
Pertanyaan penasaran yang mungkin lo pertanyakan juga: kenapa bisa ya seseorang memutuskan untuk bunuh diri?
Jawabannya kompleks.
Bunuh diri tidak semata-mata karena depresi saja, stres saja, atau kesepian saja, tapi banyak sekali faktornya. Bunuh diri itu nggak simple.
“Banyak banget faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan bunuh diri. Faktor biologis, genetik, psikologi, dan juga sosial adalah faktor-faktor yang berpengaruh. Selain itu ada lebih banyak lagi faktor lain yang muncul dari kehidupan sehari-hari, seperti keluarga, perisakan (bullying), kesepian, ekonomi, dan sebagainya,” jelas Benny saat ditanya apa alasan terbesar seseorang bisa melakukan bunuh diri.
Makanya stigma-stigma soal bunuh diri karena lemah iman, kurang beribadah, dan lain sebagainya, udah bukan saatnya lagi dilanggengkan.
“Stigma itu bahaya karena membuat kita seolah-olah tahu pasti alasan orang bunuh diri. Nah stigma-stigma seperti ini justru akan sangat berbahaya kalau diomongin nggak pada tempatnya. Misalnya lagi ke pemakaman korban bunuh diri lalu kita ngomong ke keluarganya kalau orang itu bunuh diri karena ibadahnya nggak kuat dan sebagainya. Itu kan bisa menjatuhkan keluarganya juga,”
Peran keluarga dan kelompok sosial juga sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental seseorang. Terlebih lagi di Indonesia di mana keluarga masih sangat kuat peranannya dalam membangun emosi dan kondisi jiwa kita, juga peer group yang banyak berpengaruh terhadap cara kita berpikir, merasa, dan bertindak.
Maka menurut Benny, penting juga untuk mengedukasi orang-orang sekitar soal kesehatan jiwa dan pencegahan bunuh diri karena di situlah akarnya.
Ngebahas soal bunuh diri tentunya harus mengingat kalau ada keluarga dan kerabat yang ditinggalkan. Benny juga menegaskan bahwa Indonesia masih jarang ngebahas soal kebutuhan apa yang benar-benar dibutuhkan saat mereka sedang mengalami duka. Karena ketika keluarga atau kerabat mereka ada yang bunuh diri, ternyata mereka juga kena stigma.
Macem-macem perkataan orang yang ngatain nggak becus ngejaga, nggak becus ngedidik, dan lain sebagainya adalah beberapa stigma yang nyerang mereka yang ditinggalkan. Padahal duka itu adalah perasaan yang sangat kompleks dan butuh penanganan yang tepat untuk bisa melewati duka itu.
“Duka itu adalah rasa cinta yang terus ada saat kita ditinggalkan orang yang kita sayangi. Karena di satu sisi kita sadar kalau kita masih sayang mereka, tapi di sisi lain kita juga sadar kalau kita nggak bisa ngerasain kehadiran mereka lagi. Maka penting juga ketika membahas fenomena bunuh diri untuk tidak melupakan orang-orang yang ditinggalkan. Supaya mereka bisa melewati duka itu dengan baik dan bukannya malah ‘ketularan’ pengen bunuh diri juga,” kata Benny.
Gue yakin nggak ada kata lain selain ‘kompleks’ yang bisa menjelaskan fenomena bunuh diri. Kesehatan jiwa bukan lagi hal sepele atau malah tabu untuk dibahas karena pada kenyataannya itu sangat penting.
Apalagi di tengah pandemi yang rasanya nggak ada ujungnya. Siapa sangka kalau bukan cuma virus aja yang bisa nular, percobaan untuk bunuh diri juga bisa.
Thailand misalnya adalah salah satu negara yang paling terdampak karena pandemi COVID-19 ini. Dilansir dari CNA, bantuan sebesar 15.000 Baht (sekitar Rp6.700.000) yang dijanjikan pemerintah untuk membantu masyarakat yang terdampak pandemi ternyata nggak terdistribusi dengan baik.
Banyak masyarakat Thailand yang membutuhkan tidak kunjung menerima bantuan itu. Hal ini ternyata sangat mempengaruhi kesehatan jiwa mereka sehingga mereka melakukan protes dengan memakan racun tikus di depan gedung Kementerian Keuangan Thailand.
Upaya bunuh diri massal ini menjadi teguran keras bahwa sulitnya bertahan hidup di tengah pandemi adalah permasalahan nyata yang tidak membebani ekonomi, tapi juga membebani mental. Jika tidak diatasi dengan benar, percobaan bunuh diri akan terus bertambah dan bahkan menular sehingga menjadi pandemi baru.
Bahkan sejak COVID-19 melanda, kasus bunuh diri di Thailand melonjak sebanyak 2.551 kasus sejak 2020. Dengan kata lain setiap 10 menit terjadi 1 kasus bunuh diri.
Gilanya pandemi tentunya bukan lagi sekedar ilusi apalagi konspirasi tentang virus ini buatan Thanos atau kesempatan buat gacha Titan. Tapi gilanya pandemi, walaupun berat, bisa kita hadapi dengan menjadi resilient dan mindful. Apa itu?
Jika diibaratkan sebagai armor, pencegahan terhadap bunuh diri punya beberapa lapisan. Peran orang-orang terdekat seperti keluarga dan sahabat tentunya dapat menjadi P3K saat pikiran-pikiran untuk mengakhiri hidup itu datang.
Bercerita secara terbuka dengan mereka bisa membantu untuk mengolah emosi yang dirasakan. Maka penting banget untuk punya orang-orang yang dipercaya untuk jadi pertolongan pertama waktu pikiran jadi kalut.
“Menurut saya penting sekali untuk bisa mengelola emosi. Jeleknya di Indonesia adalah emosi yang dianggap negatif malah dikesampingkan. Misalnya dilarang marah, dilarang sedih, dan sebagainya. Padahal waktu mengesampingkan emosi-emosi itu, kita sedang menghalangi diri kita untuk menjadi manusia yang utuh,” kata Benny menyadarkan bahwa sering sekali kita menyembunyikan emosi dibalik topeng berkedok ‘tegar’ dan ‘kuat’.
Lagi-lagi stigma masyarakat yang beredar seperti lagu berlirik ‘Ayahku selalu berkata padaku laki-laki nggak boleh nangis’ sadar nggak sadar bikin orang mikir kalau cowok emang nggak pantes nangis. Takut dibilang lemah, katanya. Sering lupa kalau laki-laki juga manusia.
“Anehnya kalau nangis dibilang lemah tapi kalau marah malah jantan. Kan kasian, belum juga merasakan dan mengolah emosi dengan benar eh malah udah diserang stigma duluan”
Menurut Benny, salah satu langkah awal untuk sehat jiwa adalah dengan mengenali emosi kita. Dengan begitu kita jadi bisa tahu cara mengekspresikan emosi itu dengan benar. Ibaratnya kalau marah, nggak perlu lagi meledak-ledak yang merugikan tapi juga nggak perlu menutup-nutupi dan malah jadi penyakit.
Beberapa cara untuk mengenali dan mengelola emosi adalah dengan betul-betul merasakan emosi yang kita rasakan. Akuilah saat lo marah, akuilah saat lo sedih, begitu juga dengan emosi lainnya. Dengan begitu lo akan mengenal emosi itu saat dia datang lagi. Maka, pikiran kalut untuk melakukan bunuh diri juga dapat dihindari.
Cara lainnya adalah untuk menjadi resilient atau tangguh secara mental. Jika diartikan artinya adalah daya lenting. Maksudnya adalah kemampuan kita untuk bangkit lagi ketika terjatuh. Resiliensi menjadi penting karena dia akan membantu kita menemukan alasan untuk bertahan, beradaptasi, dan bangkit lagi setelah menghadapi masalah.
Benny juga kasih beberapa tips supaya kita bisa jadi resilient.
“Beberapa caranya adalah yang pertama kita harus mengenal diri kita sendiri. Kenali kelebihanmu, kenali kelemahanmu. Kemudian coba pelan-pelan cintai dirimu seutuhnya. Selain itu penting juga untuk punya support system yang baik, seperti keluarga atau teman. Lalu milikilah self faith atas dirimu sendiri. Percaya kalau kamu bisa bangkit lagi.”
Selain resiliensi, menjadi mindful ternyata juga bisa menjadi salah satu cara preventif akan bunuh diri. Perihal mindfulness sudah banyak sekali di bahas. Tapi inti dari mindfulness adalah salah satu teknik meditasi untuk fokus dengan keadaan sekitar, merasakan dan menerima emosi secara terbuka, dan keinginan kuat untuk hadir dan menghidupi apa yang kita jalani secara sadar.
Menjadi mindful dapat membantu kita untuk less worry sama hal-hal yang akan datang maupun yang udah lewat. Dengan begitu pikiran-pikiran yang bikin gelap dan kalut juga bisa diminimalisir.
“Mindfulness ini bisa dilatih. Tapi yang penting waktu mau belajar meditasi mindfulness harus cari pelatih yang tersertifikasi,” kata Benny menjelaskan.
Untuk lo atau kerabat lo yang mungkin pernah berpikir untuk mengakhiri hidup, yakinlah bahwa pasti masih ada alasan yang bisa membuat lo bertahan. Selama lo punya alasan itu, pegang itu erat-erat. Lo nggak sendiri.
Lo bisa kunjungi website Into The Light untuk menemukan artikel-artikel yang bisa jadi P3K waktu kalut di sini. Walaupun hingga saat ini Indonesia belum punya nomor hotline khusus untuk pencegahan bunuh diri, tapi lo juga bisa segera hubungi tenaga profesional untuk konsultasi dan mencegah pikiran itu datang lagi lewat aplikasi kesehatan seperti HaloDoc, Alo Dokter, dan sebagainya.
Mulai sekarang, ayo kita buang semua stigma buruk yang nempel tentang bunuh diri. Bukan untuk membenarkan tindakannya, tapi cobalah untuk melihat fenomena ini lebih bijak dan mendalam, dan lebih sedikit menghakimi. Maka kita akan menyadari bahwa fenomena bunuh diri bukan semata-mata soal aib, dosa besar, ataupun tiket menuju neraka. (*/Grace)