Berawal dari kecintaannya terhadap film, Wregas Bhanuteja memulai karier di depan layar hingga menjadi sutradara yang mampu menciptakan film panjang yang mendapatkan 12 Piala Citra FFI. Simak cerita singkat dari sutradara yang satu ini, Civs!
FROYONION.COM - Kalo ngomongin industri film beberapa tahun ke belakang, Indonesia bisa dibilang lagi di masa-masa jayanya nih. Dari film pendek sampe ke layar lebar, beberapa ‘nama’ sukses jadi kebanggaan negara hingga ke panggung Internasional.
OTT (over the top) media services seperti Netflix pun udah mulai ‘berani’ untuk memajang karya-karya dari sineas lokal di platform-nya. Alhasil, nggak cuma masyarakat kita aja yang bisa menikmati karyanya, tapi pesan yang ingin disampaikan dalam film lokal ini pun bisa sampai ke telinga orang-orang di penjuru dunia.
Beberapa waktu lalu, gue mengikuti seminar online yang berjudul “Career As Filmmaker”, dan narasumber yang diundang di acara itu adalah Wregas Bhanuteja, seorang sutradara dari film yang berhasil mendapatkan 12 Piala Citra di FFI 2021 baru-baru ini, yaitu “Penyalin Cahaya”.
Di seminar itu, gue berkesempatan untuk mendengar perjalanan karier Wregas, dari yang dulunya seorang aktor di lomba film saat masih duduk di SMP, hingga akhirnya bisa duduk di kursi sutradara untuk film-film pendek ketika menginjak bangku SMA.
“Pas SMA masuk ekskul film, setiap hari saya membawa kamera ke sekolah, jadilah beberapa film pendek. Ketika kuliah di IKJ ambil perfilman, meskipun perdebatan dengan orang tua cukup panjang, tapi akhirnya setelah 10 film pendek yang saya bikin pas SMA, dapet 1 award, di situ orang tua membolehkan saya untuk ambil jurusan perfilman,” jelas Wregas.
Saat di IKJ, Wregas mempelajari pengetahuan dasar mengenai film. Wregas juga harus membuat 1 project film di setiap semester perkuliahannya.
“Saya bikin film pendek ‘Lemantun’ yang berdasarkan kisah asli keluarga saya. Film ini menceritakan tentang seorang ibu yang membagikan warisan lemari pada 5 orang anaknya, namun anak tengah tidak tahu harus membawa lemari ini ke mana karena ia tidak punya rumah. Dapet penghargaan di XXI short film festival. Dari situ titik pertama saya mulai serius terjun ke dunia film,” terang Wregas.
Wregas meraih Piala Citra pertamanya di tahun 2016. Saat itu, film pendeknya yang berjudul “Prenjak” berhasil jadi film pendek terbaik di FFI 2016. Waktu itu usianya masih 23 tahun.
Dari berbagai macam ‘pintu’ kesempatan yang terbuka, akhirnya Wregas membuat film panjang pertamanya bersama produsernya, Adi Ekatama. Saat itu kondisinya di tengah pandemi, Wregas menulis dan menyelesaikan skenario ‘Penyalin Cahaya’ saat kondisi ‘lockdown’ atau masih PSBB. Proses shooting-nya juga masih dalam kondisi pandemi. Namun, kondisi ini mengharuskan Wregas untuk jadi lebih kreatif, utamanya karena ada social distancing selama shooting, pembatasan jumlah kru, dan juga perizinan lokasi.
Proses shooting ‘Penyalin Cahaya’ berjalan selama 20 hari. Dan bersyukurnya, hingga shooting selesai, tidak ada kru atau pemain yang positif Covid-19. Setelahnya, proses editing film menghabiskan waktu 4 bulan. World premiere pertama kali di Busan International Film Festival, dan yang paling terkini, Penyalin Cahaya berhasil mendapatkan 12 Piala Citra di FFI 2021.
Ketika ditanya bedanya menyutradarai sebuah film pendek dan film layar lebar, Wregas menjawab bahwa film pendek adalah sebuah sarana untuk belajar dan bereksperimen sebelum membuat versi yang lebih panjang.
“Dengan film pendek, kita belajar menyutradarai pemain, belajar pergerakan kamera, dan penataan artistik, dengan tanggung jawab budget yang tidak sebesar film panjang. Kita juga bisa belajar mengeksplorasi artistik yang kita miliki, misalnya kita membuat film dengan hanya 2 warna di situ, misalnya coklat dan hijau, bisa kita lakukan percobaannya di film pendek,” jelas Wregas.
Dari sisi komersial, Wregas juga menerangkan kalo film pendek dapat membantu seorang sutradara dalam membangun kepercayaan investor untuk project film panjang nantinya.
“Film pendek juga membantu kita mendapatkan showreel. Kalo kita bikin film panjang, kita butuh pembuktian dulu, bahwa hasil film yang kita sutradarai itu bagus, berkualitas, kita punya style penyutradaraan yang mantap, dan saya rasa membuat film pendek adalah upaya membuktikan kita bisa menyutradarai suatu film, apalagi kalau kita men-submit film itu ke festival film dan mendapat apresiasi,” jelas Wregas.
Kesulitan yang dirasakan Wregas adalah meyakinkan pemain dan kru bahwa hal yang Ia rasakan itu mereka rasakan juga. Misalkan untuk film ‘Lemantun’, yang ceritanya itu diangkat dari keluarga Wregas yang tinggal di Solo.
“Saya beberkan kepada para pemain, ‘Ini Pakde Joko, Pakde Bambang, Pakde Sigit, mereka karakternya itu yang satu sangat berwibawa, satu sangat pemalu, cara berjalannya santai lemah gemulai,’ saya ceritakan satu-satu, kalau ada foto atau video saya tunjukkan rekamannya, saya kasih background hidupnya, saya ‘transfer’ ke benak mereka (para pemain),” jelas Wregas.
Proses ini dirasa cukup penting. Kalau sutradara nggak mengerjakan hal itu, penonton hanya sekedar merasa “oh kisah ini sedih”. Oleh karena itu, Wregas membutuhkan ‘jembatan’ itu dengan para pemain. Butuh proses reading dan rehearsal yang panjang sebelum memproduksi sebuah film.
Dengan bekerja bersama kru dan pemain dengan kepala yang banyak, Wregas mengatakan bahwa mereka semua punya pandangan dan preferensi berbeda terhadap satu cerita. Peran sutradara di sini sebagai seorang kepala chef, Ia akan mencicipi setiap rasa yang dibikin oleh kru-kru.
“Jadi kepala chef ini bertugas untuk menyeimbangkan rasa yang diciptakan oleh chef-chef. Misalkan cinematographer memberikan usul agar lampu set agak gelap, sutradara lalu bilang terangkan lampu sekitar 20% agar penonton bisa menangkap informasi dalam suatu scene. Harus bisa menjaga harmoni dan balance,” terangnya.
Wregas berpikir bahwa Ia mampu berkontribusi bagi masyarakat melalui film. Ia juga merasa bahwa film yang ia buat harus mampu menghasilkan sesuatu yang lebih. Oleh karena itu, ia selalu memilih tema kemanusiaan dalam filmnya.
“Rata-rata film yang saya bikin adalah respon untuk sesuatu yang saya anggap kurang ‘bener’ bagi subjektivitas saya itu tidak ideal. Misalnya Lemantun adalah respon saya terhadap “Mengapa dalam keluarga harus ada tuntutan bahwa tingkat kesuksesan harus punya mobil, pekerjaan dengan gaji yang tinggi, kalau kamu nggak mencapai itu berarti kamu nggak sukses atau nggak bahagia.” Padahal menurut saya nggak ada standar seperti itu, seperti yang dialami tokoh Tri di film Lemantun yang bahagia ketika ia bisa membantu dan merawat Ibunya. Itulah makna hidup menurutnya,” kata Wregas.
Begitu juga dengan film Penyalin Cahaya. Melalui film itu, Wregas merespon para penyintas kekerasan seksual yang justru malah mendapat ketidakadilan dan tidak bisa speak up karena sistem yang tidak mendukung.
“Kami merasa isu kekerasan seksual terutama yang terjadi di kampus tidak hanya dialami di Indonesia, tapi juga di berbagai negara. Kami rasa film ini ada untuk memberi empowerment kepada para penyintas dan memberikan awareness bahwa kita harus bersama-sama melawan kekerasan seksual,” jelasnya.
Pada saat itu, Adi Ekatama sebagai produser menawarkan Wregas untuk membuat film pendek yang mengadaptasi cerpen buatan Eka Kurniawan. Satu cerpen yang paling relate dengan pandangan Wregas adalah cerpen ‘Tak Ada yang Gila di Kota Ini’ yang akhirnya berhasil diadaptasi menjadi sebuah film pendek di tahun 2019.
“Akhirnya saya pilih, tidak ‘plek-ketiplek’ saya bikin dari cerpen itu, saya diskusi panjang dengan penulis saya, Henricus Pria, karena ada perbedaan cara tutur,” jelas Wregas.
Wregas menjelaskan, bahwa di cerpen, sebuah cerita bisa leluasa untuk ‘time travel’, sedangkan film pendek tentunya punya gaya bahasa yang berbeda, maka penuturan cerita perlu disesuaikan. Ada beberapa elemen yang dimodifikasi atau dibuang, tetapi Wregas masih tetap berpaku pada tema ‘penyalahgunaan kuasa’ dari cerpen karya Eka Kurniawan tersebut.
Bicara soal bekal yang selalu dibawanya dalam menyutradarai sebuah film, Wregas selalu berpegangan kepada ‘bahasa yang universal’. Tapi apa sih bahasa yang universal itu?
“Saya yakin yang universal adalah emosi, kita marah, sedih, cemburu, sakit hati itu seluruh orang bisa merasakannya. Agar emosi tersebut bisa tertransfer, saya berpegang pada kualitas performa (seni peran). Seorang aktor tanpa harus berdialog, namun matanya bisa menyorot suatu kekecewaan, maka dia bisa mentransfer emosi ketika dia lagi kecewa. Atau dia hanya duduk diam tapi kita merasakan bahwa dia belum makan sejak semalam itu bisa dirasakan dari mata,” jelas Wregas.
Menurutnya, sepanjang apapun cerita bergulir, penonton akan bisa mengikutinya, karena sudah meletakkan empati kepada si tokoh. Kalau dari awal penonton sudah tidak berempati, perjalanan cerita hingga ke belakang udah nggak akan menjadi sesuatu yang penonton bisa care lagi.
Percaya kepada apa yang kita kerjakan. Di era ini, dengan berbagai macam sosial media dan arus informasi yang cepat, kita akan dengan mudah untuk membandingkan diri kita dengan orang lain. Hal ini bisa membuat kita minder dan malah membuat kita tidak mau berkarya. Apapun yang kita buat jika berasal dari passion atau keinginan mendalam, maka bisa menjadi satu hal yang baik.
Dengan kita selalu mengkhawatirkan bagaimana opini orang itu justru akan membuat kita tidak produktif. Selama yang kita kerjakan bersifat baik dan tidak bertujuan untuk menyakiti orang, saya rasa go for it. Kita pasti akan memanen sesuatu yang indah.
Kita juga akan premiere di Netflix tanggal 13 Januari 2022, dan ini di seluruh dunia. Netflix memberikan ruang untuk film kita didistribusikan ke seluruh negara, berarti message dari film kita juga akan lebih sampai dan lebih besar.
Sebagai penutup seminar, Wregas memberikan sedikit ‘bocoran’. Di pertengahan tahun 2022 nanti, Wregas dan penulisnya, Henricus Pria, akan kembali memproduksi film panjang dengan genre drama dengan mengangkat isu kemanusiaan.
Dan untuk ke depannya, Wregas juga akan mengeksplorasi bentuk film yang memadukan unsur komersial dan art house. Seperti film Dune yang secara komersial bisa mencapainya, dan secara artistik juga mencakup. Juga seperti film Parasite yang bisa berdiri secara komersial dan estetik. Menarik banget untuk kita tunggu, Civs! (*/)