FROYONION.COM - Beberapa waktu lalu, PSSI lagi-lagi membuat pecinta sepak bola Indonesia kecewa. Kekecewaan tersebut disebabkan oleh keputusan dari PSSI yang memastikan diberhentikannya perhelatan Liga 2 Indonesia dan juga memastikan bahwa tidak akan ada tim yang terdegradasi dari Liga 1 Indonesia.
Jelas, dengan adanya keputusan tersebut para pecinta sepak bola merasa kecewa dan heran. Liga sepak bola negara mana yang nggak memiliki sistem degradasi sebagai “hukuman” bagi tim yang gagal memberikan penampilan terbaik selama satu musim? Buat apa disebut kompetisi kalau nggak ada degradasi?
Dan dengan hilangnya sistem degradasi sebagai bentuk “hukuman”, justru membuat permasalah match fixing yang sudah menjadi rahasia umum di sepak bola Indonesia malah makin menjadi-jadi.
Tapi kalau kita ingat-ingat, sebenarnya ini bukan pertama kalinya kita dikecewakan oleh PSSI selaku federasi sepak bola Indonesia, maupun oleh sepak bola Indonesia itu sendiri.
Mulai dari dualisme PSSI yang berujung sanksi pembekuan federasi oleh FIFA, kasus sepak bola gajah, kekerasan terhadap wasit, timnas yang ga kunjung meraih prestasi, sampai ke tragedi di Kanjuruhan Malang yang menjadi salah satu tragedi terbesar sepak bola dunia.
BACA JUGA: BAGAIMANA FANATISME DAPAT MERUSAK SEPAK BOLA INDONESIA
Dari adanya berbagai kasus yang terjadi kita sama-sama sepakat, mulai dari federasi, tim nasional, klub-klub lokal, penyelenggaraan liga, sampai ke suporter, seringkali membuat kita kecewa. Tapi anehnya, sepak bola di Indonesia tetap menjadi olahraga yang paling diminati dan bahkan dicintai di Indonesia.
Umumnya sebagai manusia, sekali lo dikecewakan oleh seseorang, pastinya lo ga akan pernah menaruh kepercayaan lagi kepada orang tersebut. Tapi entah kenapa, apa karena sudah terlalu biasa untuk mengalami rasa kecewa, sepak bola di Indonesia nyatanya selalu berada di puncak olahraga populer di Indonesia.
Padahal, dibandingkan dengan olahraga lain seperti bulu tangkis, sepak bola rasanya jadi cabang olahraga yang paling sering bikin masalah dibandingkan mencetak sejarah (Well, sekalinya mencetak sejarah, sejarah yang diciptakan justru bersifat negatif). Terus, kenapa masyarakat Indonesia masih menaruh kecintaan dan harapan untuk sepak bola Indonesia?
Di beberapa tulisan, gua selalu mengatakan bahwa pada dasarnya sepak bola adalah olahraga rakyat. Pemaknaan sepak bola sebagai olahraga rakyat gua rasa sangat relevan dengan sepak bola Indonesia.
BACA JUGA: JELANG WORLD CUP QATAR 2022, APAKAH SEPAK BOLA MASIH MENJADI OLAHRAGA RAKYAT?
Karena gini, Indonesia ga bisa dipungkiri adalah negara dengan ragam etnis, suku, ras, agama, status sosial, dan lain sebagainya. Dan yes, salah satu hal yang bisa menyatukan segala perbedaan yang ada tersebut adalah sepak bola.
Sebagai contoh, di dalam pertandingan sepak bola, lo harus memiliki 11 pemain yang siap untuk bertanding. Dan apakah dari 11 orang tersebut harus berasal dari daerah, agama, atau status sosial tertentu?
Sekalipun klub-klub sepak bola di Indonesia biasanya merepresentasikan suatu daerah, hal tersebut ga serta-merta membuat klub tersebut hanya boleh memainkan pemain yang berasal dari daerah mereka aja. Justru banyak klub yang akhirnya memainkan pemain yang berasal dari luar daerah mereka.
Nyatanya, siapapun bisa bermain sepak bola. Dan ketika kita bicara mengenai modal apa yang dibutuhkan untuk bermain sepak bola, ya jawabannya cuma satu, ya bola. Beda dengan olahraga populer lain seperti bulu tangkis yang setidaknya membutuhkan modal lebih untuk dimainkan, seperti kepemilikan raket dan shuttlecock. Sepak bola di Indonesia umumnya cuma butuh bola aja. Lo mau main di tengah jalan dengan gawang terbuat dari sandal atau main di stadion megah pun, di mata masyarakat Indonesia, apa yang lo mainkan ya tetap sama, sepak bola.
Dari sini seharusnya kita paham, sepak bola di Indonesia sudah menjadi olahraga yang dapat dimainkan oleh siapapun. Karena pada dasarnya sepak bola adalah olahraga yang secara ga langsung diciptakan untuk menjadi penengah dalam sebuah perbedaan. Dan yes, gua ga akan menutupi fakta bahwa memang seringkali terjadi keributan antar suporter klub Indonesia dan hal tersebut harus segera dicarikan solusinya. Tapi ketika akhirnya tim nasional kita bermain, setidaknya masyarakat Indonesia dapat bersatu dalam satu nama, yaitu Indonesia.
Dari berbagai rasa kecewa yang diciptakan, nyatanya sepak bola Indonesia selalu memberikan sebuah harapan yang akhirnya membuat masyarakat kita terus mencintai olahraga tersebut.
Kita memang sering banget dibikin kecewa oleh sepak bola di Indonesia, baik dari federasi maupun dari tim nasional itu sendiri. Tapi entah kenapa, kita sebagai masyarakat Indonesia seringkali “terhipnotis” dengan harapan-harapan yang diberikan, baik dari federasi maupun dari tim nasional itu sendiri.
Nyatanya, sebesar itulah perasaan cinta kita ke sepak bola di Indonesia. Mau berkali-kali kita ngatain PSSI ataupun tim nasional, sekali diberikan harapan, kita langsung terhipnotis dan percaya akan datangnya perubahan.
Mulai dari “perombakan” PSSI pasca terjadinya dualisme di PSSI, datangnya pemain naturalisasi yang digadang-gadang akan mendobrak prestasi tim nasional, datangnya pelatih-pelatih kelas dunia seperti Luis Milla ataupun Shin Tae-Young, sampai mulai banyaknya pemain Indonesia yang bermain di luar negeri. Nyatanya melalui harapan-harapan tersebut, rasa kecewa kita terus diobati.
Kita sebagai pecinta sepak bola Indonesia, nyatanya sangat mudah untuk percaya akan “harapan” tersebut. Nyatanya rasa kecewa dan skeptis yang dimiliki, bisa dengan mudahnya menghilang melalui harapan-harapan tersebut.
Dan harapan-harapan inilah yang akhirnya justru memperkuat rasa cinta masyarakat Indonesia terhadap sepak bola Indonesia. Mau berapa kali pun disakiti, ataupun dikecewakan. Ketika akhirnya, sebuah harapan untuk perubahan datang, kita langsung terbuai dan percaya akan harapan tersebut. Dan dari situlah terbentuk “Love-Hate Relationship” antara masyarakat Indonesia dengan sepak bola Indonesia itu sendiri.
Dibentuk dari adanya rasa kecintaan yang sama terhadap sepak bola indonesia tanpa memperhatikan latar belakang yang ada, ditambah dengan harapan-harapan akan datangnya perubahanlah yang akhirnya menciptakan hubungan “spesial” antara masyarakat Indonesia dengan sepak bola Indonesia itu sendiri.
Kita sadar, sepak bola adalah satu cara untuk mempersatukan perbedaan yang ada, dan t kita pun selalu diberikan harapan mengenai sebuah perubahan. Tapi disisi lain, kita pun sadar akan seberapa bobroknya sepak bola di Indonesia.
Dan bisa dibilang, mau sekeras apapun kita menyatakan ketidakpedulian kita terhadap sepak bola, nyatanya ketika ada sebuah harapan, hati kecil kita seringkali mendoakan akan terjadinya perubahan tersebut.
Sebenci-bencinya kita membenci sepak bola Indonesia, baik dari segi federasi ataupun tim nasional itu sendiri. Nyatanya, rasa cinta kita akan jauh lebih besar dibandingkan rasa benci yang dimiliki. Sesederhana, GBK yang selalu penuh dengan suporter yang berasal dari Indonesia.
Yes, kita muak dengan sepak bola Indonesia yang makin sering bikin kecewa, tapi kita pun akan mencintai sepak bola Indonesia dengan terus berharap akan terjadinya sebuah perubahan di sepak bola Indonesia. (*/)