Meskipun memiliki cakupan industri yang sama. Nyatanya, terdapat berbagai perbedaan yang cukup signifikan antara budaya esports di negara barat dengan budaya Esports di negara Timur.
FROYONION.COM - Esports, sebuah fenomena global yang bisa lo temui hampir di penjuru dunia. Dan bisa dibilang esports sendiri pada dasarnya sudah bertransformasi menjadi sebuah olahraga konvensional yang mana semua orang bisa ikut serta memainkannya.
Tapi Civs, meskipun menjadi sebuah fenomena global, nyatanya gua menemukan cukup banyak perbedaan mengenai esports di negara-negara Barat seperti di Eropa dan Amerika dengan esports di negara-negara Timur seperti, Asia.
Nyatanya, meskipun memiliki lingkup dan industri yang sama, esports di negara-negara barat dengan esports di negara-negara timur memiliki perbedaan yang cukup signifikan.
Well, kalau kita ngomongin asal-muasal dari esports sendiri, dari catatan sejarah yang gua kutip dari Gloot.com, emang awalnya penyelenggaraan “esports” pertama kali dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1972. Pada tahun tersebut diadakan kompetisi game retro yang mengandalkan kemampuan individual yaitu “Space Wars”. Kemudian di tahun 1980, diadakan juga kompetisi yang sama dengan jumlah peserta mencapai 10.000 orang.
Namun, kompetisi “esports” pertama yang mempertemukan player vs player pertama kali diadakan pada tahun 1991. Saat itu game yang dipertandingkan adalah Street Fighter II yang akhirnya terus diadakan setiap tahunnya.
Di sisi lain, esports bisa dibilang masuk ke Asia pertama kali pada akhir tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an. Beberapa negara Asia seperti China dan Korea Selatan mulai memperkenalkan “esports”. Saat itu di Korea Selatan diadakan kompetisi game Starcraft yang notabene adalah game yang mengandalkan kerja sama tim sebagai kunci kemenangan.
Mungkin lo bertanya-tanya Civs, Jepang yang notabene dikenal dengan industri game-nya seperti Nintendo, justru nggak menjadi awal mula penyebaran esports?
Well, Sebenarnya Nintendo udah pernah mengadakan kompetisi “esports” pada tahun 1990-an. Kala itu Nintendo menyelenggarakan kompetisi Nintendo World Championships pada tahun 1990 dan Nintendo PowerFest pada tahun 1994. Tapi sayangnya, bukannya diselenggarakan di negara-negara Asia, Nintendo justru menyelenggarakannya di berbagai kota di wilayah Amerika Serikat.
Jadi, kalau berdasarkan catatan sejarah, bisa dibilang esports pertama kali populer di negara barat yaitu Amerika Serikat, dan baru masuk ke negara-negara Asia pada akhir 199- an dan awal tahun 2000-an.
Dari ada perbedaan persebaran dan genre game, wajar aja akhirnya terjadi perbedaan “budaya” antara esports di Barat dan juga esports di Timur. Well, apa saja perbedaan-perbedaan tersebut?
Seperti yang udah gua jelasin sebelumnya, penyebaran esports pertama kali dilakukan di Amerika Serikat, yang merupakan negara Barat. Dan genre game yang saat itu dimainkan adalah game retro yang lebih mengandalkan kemampuan individu guna menjadi pemenang.
Di sisi lain, di negara Timur yakni Asia. Penyebaran esports di beberapa negara seperti China dan Korea Selatan adalah genre game MOBA yaitu Starcraft yang umumnya lebih mengandalkan kerja sama dan komunikasi tim untuk menjadi pemenang.
Berdasarkan hal tersebut, nyata perbedaan genre game Esports di negara Barat dan negara Timur masih terbawa hingga sekarang. Yes, emang betul di negara-negara Barat emang ada juga game MOBA, dan di negara-negara Timur pun terdapat genre game yang mengandalkan kemampuan individual.
Tapi, nyatanya baik negara Barat maupun negara Timur cenderung memiliki jenis game yang memang menjadi unggulan mereka. Beberapa tim-tim asal negara-negara Barat cenderung lebih diakui di genre game yang mengandalkan kemampuan individu seperti FPS seperti Counter Strike, Valorant, ataupun game 1 on 1 seperti Street Fighter ataupun Super Smash Bros.
Dan di sisi lain, negara-negara Timur lebih dikenal dengan game-game yang mengandalkan kerja sama tim seperti MOBA, seperti Dota2, League of Legends, ataupun Mobile Legends.
Hal ini bisa kita lihat dari pencapaian kedua belah pihak di tiap ajang kompetisi internasional di setiap genre game yang dimainkan.
Misal FPS, kita bisa melihat pemenang-pemenang di game Valorant pada beberapa tahun belakangan ini. Dari dua edisi Valorant Champions, yang merupakan ajang kompetisi terbesar Valorant. Nyatanya pemenang dari kompetisi tersebut selalu berasal dari negara-negara Barat. Seperti di edisi pertama yang dimenangkan oleh ACEND, tim asal Eropa, dan di edisi kedua yang dimenangkan oleh LOUD tim asal Amerika.
Sedangkan di sisi lain, tim-tim asal Asia justru menjuarai game-game MOBA lebih sering dibandingkan negara-negara Barat. Sebagai contoh, pemenang dari League of Legends Championship selalu didominasi oleh tim-tim asal Korea Selatan dan China. Satu-satunya tim asal negara Barat yang memenangkan kompetisi tersebut adalah Fnatic di edisi pertama penyelenggaraan kompetisi tersebut.
Salah satu perbedaan yang cukup mencolok mengenai budaya esports di negara Barat dan Timur adalah tools untuk bermain game. Dan jelas aja, dengan perbedaan kekuatan ekonomi, negara-negara di kawasan Asia cenderung memilih game yang lebih mudah diakses dibandingkan dengan game-game yang membutuhkan modal besar untuk dimainkan.
Lo mungkin jarang melihat kompetisi game mobile diselenggarakan di negara-negara Barat. Hampir semua kompetisi esports di sana, merupakan game-game yang hanya bisa diakses melalui PC. Berbeda dengan di Asia. Di negara-negara Asia, event esports game mobile lebih sering dijumpai dan jauh lebih besar dibandingkan game PC.
Well alasannya ya simpel, rata-rata negara di kawasan Timur yakni negara Asia terutama Asia Tenggara kebanyakan adalah negara berkembang sehingga akses masyarakat untuk menggunakan PC sangatlah terbatas.
Berbeda dengan negara-negara Barat yang notabenenya memiliki kemampuan ekonomi yang jauh lebih kuat. Kepemilikan PC rasanya menjadi sebuah kebutuhan pokok bagi masyarakatnya.
Terlebih, kita semua mungkin akan sepakat bahwa biaya yang dikeluarkan untuk merakit PC yang siap tempur untuk bermain game pastinya membutuhkan modal yang besar sehingga sulit rasanya untuk masyarakat dari negara berkembang untuk memiliki PC sebagai penunjang gaya hidup mereka.
Dan satu-satunya akses untuk memainkan game PC bagi mereka yang nggak punya PC adalah main warnet. Dan rasanya, akan sangat sulit jika lo ingin terjun ke dunia esports jika melulu hanya mengandalkan warnet. Tentunya kepemilikan PC akan lebih memudahkan lo untuk masuk ke dunia kompetitif. Karena lo hanya tinggal “grinding” aja tanpa takut billing warnet abis di tengah match up ataupun hal-hal lainnya.
Dan dari adanya fakta tersebut, alternatif yang bisa diambil adalah dengan memainkan game yang lebih mudah diakses, dan game tersebut adalah mobile game. Karena pada dasarnya mobile game nggak mengeluarkan modal lebih besar dibandingkan PC game. Hanya lewat sebuah smartphone, lo udah bisa bermain game.
Dan dari situlah kita bisa melihat perbedaan mencolok mengenai budaya esports di negara Barat dengan negara Timur. Kekuatan ekonomi sebuah negara nyatanya akan berpengaruh atas budaya dari industri esport-nya.
Perbedaan terakhir yang bisa gua jelaskan adalah mengenai branding dan sponsor dari organisasi-organisasi esports.
Rata-rata, branding dan sponsor organisasi dari negara Barat cenderung masih satu cangkupan dengan esports itu sendiri. Mulai dari sponsor yang biasanya berasal dari, peripheral penunjang para atlet esports, platform yang memiliki kaitan dengan esports, sampai ke produk-produk yang emang dapat meningkatkan performa atlet esports seperti energy drink, dan lainnya.
Di sisi lain, beberapa negara Timur terkhusus Indonesia, cenderung memilih sponsor yang relatif ga ada hubungannya dengan industri esports itu sendiri. Mulai dari makanan ringan, sampai ke brand-brand yang emang nggak ada kaitannya dengan esports itu sendiri.
Selain itu, dari segi branding playernya, gua merasa branding atlet esports di negara Barat cenderung emang mem-branding dirinya sebagai seorang atlet. Mulai dari kerja sama atau endorsement yang mereka lakukan dengan peripheral penunjang kegiatan mereka, lifestyle yang cenderung lebih invest ke hal-hal berbau video games, dan mereka cenderung untuk tidak aktif di media sosial.
Berbeda dengan atlet-atlet esports di negara Timur terkhusus Indonesia. Dari apa yang gua lihat, dibandingkan memanggil mereka sebagai “atlet” esports, mereka lebih cocok sebagai selebgram atau entertainer. Well, dari apa yang gua liat, para atlet esports Indonesia cenderung lebih aktif di media sosial, dan endorsement yang mereka ambil seringkali ga memiliki hubungan dengan profesi mereka.
Dan ini berlaku juga dengan segala “drama” yang terjadi. Beberapa “drama” esports di negara barat umumnya mencakup urusan-urusan dalam game seperti nge-cheat, joki, dan lainnya. Tapi di negara Timur, seringkali dramanya justru drama-drama yang bener-bener ga ada kaitan dengan game yang dimainkan. Seperti percintaan, atau lain sebagainya.
Terlepas dari berbagai perbedaan, industri esports di kedua belah pihak emang terus berkembang dan menjadi industri yang terus menjanjikan. So, buat gua ga ada yang salah dengan perbedaan-perbedaan tersebut selagi esensi kompetisi dari esports ga menghilang hanya karena perbedaan-perbedaan tersebut. (*/)