In Depth

EMOTIONAL VULNERABILITY ADALAH TANDA KAMU LEMAH?

Manusia itu diciptakan nggak sempurna, wajar kan kalau menunjukkan emotional vulnerability yang ada di dalam diri? Namun, masih banyak yang menganggap hal tersebut merupakan tindakan orang lemah.

title

FROYONION.COM - Pasang “topeng” di kehidupan sehari-hari udah jadi kebiasaan masyarakat untuk menutupi wajah. Ya, wajah yang dimaksud adalah emotional vulnerability dan hal ini terpaksa kita lakukan karena keadaan yang menuntut manusia jadi superhero

Pertama-tama, apa sih emotional vulnerability itu? Emotional vulnerability adalah kemauan untuk menunjukkan dan mengakui perasaan, khususnya perasaan yang menyakitkan. Contohnya, mengakui kesalahan yang udah diperbuat, merasakan kesedihan, curhat ke orang terdekat, dan lain-lain.

Ketika memilih untuk menunjukkan emotional vulnerability, itu artinya kamu meruntuhkan tembok tinggi yang menutupi perasaan-perasaan kamu di baliknya. 

Aku pun dulu menganggap kalau emotional vulnerability harus disembunyikan rapat-rapat karena nggak mau aja orang lain lihat aku lagi dalam keadaan lemah. 

Namun, lama-lama aku sadar kalau aku hanyalah manusia biasa yang bisa merasa sedih, marah, atau takut. Nggak realistis kalau pengennya cuma bahagia aja. 

Pelan-pelan, aku belajar merasakan semua perasaan yang hinggap di hati, entah positif atau negatif. Aku biarkan semua mengalir tanpa menghentikannya dengan paksa. Kalau merasa kewalahan, aku berusaha curhat ke temen yang udah aku percaya banget. 

Tentu aja proses itu nggak mudah bagi diriku ini yang memang merupakan pribadi tertutup. Kalau sedang curhat, aku kadang ngerasa nggak enak udah ganggu waktu temen atau malu untuk mengatakan yang sejujurnya.

Keinginan untuk dipandang sebagai manusia sempurna atau kuat oleh orang lain itu wajar sebenernya. Namun, apakah kamu harus terus berada dalam bayang-bayang ketakutan untuk menunjukkan emotional vulnerability hanya demi menjaga image di mata orang lain, Civs? 

Masyarakat telah menanamkan di pikiran kita kalau orang hebat itu ya orang yang tampil sempurna. Sempurna di sini artinya nggak ada satu pun celah dalam penampilan kita yang menandakan kelemahan, nggak peduli saat itu sedang merasa nggak baik-baik aja. 

Hingga saat ini pun, aku masih bertanya-tanya, mau sampai kapan kita harus seperti ini? Memangnya kenapa kalau kita kelihatan nggak baik-baik aja? Sememalukan itukah? 

Pada kenyataannya, menunjukkan emotional vulnerability adalah tindakan yang berani, bukan lemah. Profesor Brené Brown dari University of Houston mengatakan, “Vulnerability is the birthplace of love, belonging, joy, courage, empathy, and creativity”. Itu artinya kamu harus merangkul emotional vulnerability—bukannya berpura-pura kuat—agar bisa lebih enjoy menjalani hidup.

Lho, bukannya berpura-pura kuat itu tandanya kita hebat? Eits, itu pemikiran yang salah, Civs! Coba deh bayangin kalau kamu numpuk baju kotor atau piring kotor berhari-hari karena lagi males atau nggak mau repot? Lama-lama bakalan menggunung dan pekerjaan malah jadi lebih berat dong.

Nah, sama kayak perasaan kamu juga—makin lama kamu menghindarinya, makin menumpuk juga di dalam diri. Kalau mau menyelesaikan apa yang kamu rasakan, tentu harus berani mengakuinya, kan? Ketika hal itu terjadi, kamu mungkin akan merasa ada beban di dalam diri yang terangkat. 

Kamu masih ragu untuk menunjukkan emotional vulnerability? Nih, aku kasih tau beberapa manfaatnya yang bisa kamu dapatkan.

1. Mengenal Diri Sendiri

Hidup ini hanya sekali, apa iya kamu mau terus-terusan merasa tertekan oleh perasaan sendiri? So, jangan takut untuk mengeluarkan atau mengekspresikan apa pun yang ada di dalam diri, Civs. Ketika kamu berhasil untuk nggak menghindar dari perasaan apa pun yang sedang dirasakan, di situlah kamu mengenal diri sendiri.

2. Membangun Empati

Menunjukkan emotional vulnerability ternyata bisa membuat kamu lebih berempati lho, Civs. Kok bisa? Hal itu karena kamu akan jadi lebih mudah untuk memahami perasaan orang lain dan bahkan mendorong mereka untuk berani bersikap terbuka juga. 

3. Mempererat Hubungan dengan Orang Lain

Keterbukaan dengan orang lain—entah keluarga, temen, atau pacar—bisa menjalin hubungan yang lebih dalam. Namun, kebanyakan dari kita menghindar dari keterbukaan karena takut omongan kita bisa jadi boomerang buat diri sendiri. Bener nggak nih?

Ya, terbuka dengan orang lain memang berisiko kalau ternyata orang tersebut nggak bisa dipercaya. Namun, semua yang ada di dunia ini ada risikonya, tinggal kamu mau mengambil risiko tersebut atau tetap di tempat aja. 

BACA JUGA: UMUR 20-AN MASIH TINGGAL DI RUMAH ORTU TERBILANG NGGAK AMAN UNTUK KESEHATAN MENTAL?

Setelah tau manfaat-manfaatnya, terus bagaimana cara untuk mulai menunjukkan emotional vulnerability? Yuk, simak tipsnya di bawah ini!

1. Hilangkan Keinginan Menjadi Sempurna

Di dunia ini, nggak ada satu pun manusia yang sempurna. Semua orang pasti punya kelemahan di balik kesempurnaan yang mereka tampakkan atau yang kamu lihat. Boleh kok kamu berusaha berbenah diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik, itu hal yang bagus malah. Namun, tetap dalam porsi masing-masing ya, jangan terlalu mengejar ambisi yang bisa menggerogoti hati.

2. Suarakan Hati

Seperti yang udah dibahas sebelumnya, kamu bisa curhat ke orang terdekat untuk mengeluarkan apa yang terpendam di dalam hati. Nggak hanya soal perasaan, kamu juga bisa meminta bantuan mereka kalau lagi butuh sesuatu.

3. Sayangi Diri Sendiri

Setelah take action atas perasaan yang kamu rasakan, tunjukkin rasa sayangmu sama diri sendiri dengan bilang kamu hebat karena berani melakukannya. Jangan cuma sayang sama orang lain aja ya, Civs.

Sekarang udah tau kan, Civs, kalau menunjukkan emotional vulnerability itu nggak berarti lemah dan malah sebuah tindakan yang berani? Memang butuh proses untuk mengubah pemikiran salah yang udah nyebar di masyarakat ini. Oleh karena itu, kita sama-sama buat perubahan—sekecil apa pun itu—untuk mendorong diri sendiri dan orang lain agar nggak takut lagi untuk menunjukkan emotional vulnerability. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Hanifah Mustika Suci

Penulis lepas