Movies

PECAHAN SEJARAH YANG SELALU SIMPANG SIUR

‘Science of Fictions: Hiruk Pikuk Si Alkisah’ adalah potret nyata bahwa sejarah selalu dituliskan oleh si pemenang.

title

FROYONION.COM - Tepat tanggal 1 Februari lalu platform menonton film legal Netflix kedatangan film panjang garapan sutradara Yosep Anggie Noen, film berjudul Science of Fictions (2019) akhirnya tayang secara komersil dan bisa dinikmati oleh masyarakat Indonesia yang mungkin belum pernah menyaksikannya. Seperti yang sudah bisa lo liat di bio gue di setiap artikel yang gue tulis untuk lo semua Civs, gue sebagai seorang movie enthusiast dan seseorang yang memang selalu gemar dan menikmati keriweuhan dunia filmmaking, akhirnya memutuskan untuk menonton film ini setelah sepersekian tahun lamanya “Science of Fictions” mangkrak di dalam list tontonan gue dan belum pernah terealisasikan sama sekali.

Apa yang gue saksikan tentu membuat gue terpukau, bingung, heran, excited dan lain sebagainya (terlalu banyak ekspresi yang tidak bisa gue tuliskan di sini). Segudang pertanyaan bahkan setelah film selesai gue tonton membawa gue kepada pemahaman yang menarik mengenai bagaimana sejarah selama ini dituliskan.

ASTRONOT TANPA GRAVITASI

Film berawal dari sebuah padang pasir luas dimana seorang pria bernama “Siman” yang diperankan oleh Almarhum Gunawan Maryantoduduk mengintip di sela-sela gundukan pasir di sekitar daerah terlarang yang disakralkan oleh tetua-tetua di kampungnya. di lokasi tersebut, tengah terjadi suatu proses dimana  pendaratan manusia di bulan tengah di rekayasa oleh seorang laki-laki berpakaian militer berbadan gempal dan berambut gondrong. Dari awal film kita sudah diajak kebingungan dengan aspec ratio 4:3 dan setting lampau dengan warna monocromatic, menunjukkan kesan bahwa kejadian tersebut sedang terjadi di masa lalu. 

Nahas, di tengah persembunyiannya Siman tertangkap oleh tentara yang berjaga di area sekitar situ, segerombolan tentara Belanda yang memang ditugaskan disana untuk membantu pengamanan dan pengerjaan rekayasa pendaratan manusia di bulan. Siman yang tertangkap dipaksa menggigit lidahnya sendiri hingga terputus, mengakibatkan dirinya tak bisa lagi berbicara secara permanen akibat terlepasnya lidah dari mulutnya. 

Dilanda kepedihan dan kepiluan serta fakta bahwa dirinya tak lagi bisa berbicara, membuatnya berusaha mengungkapkan kebenaran melalui Bahasa tubuh dimana Siman mulai bergerak dan beraktifitas seolah-olah menceritakan bahwa dia tidak ingin apa yang ia lihat dilupakan begitu saja, Siman mencoba menceritakan pengalamannya kepada orang-orang di desa. Apa daya, tanpa lidah, ia terpaksa berbicara menggunakan bahasa tubuh. Menirukan gerak aktor di padang terlarang, ia bergerak lamban, seolah-olah berada di luar angkasa. Sayang, ia justru dianggap gila.

Siman sama sekali tidak menyerah, bergerak lamban selalu ia lakukan. Berharap ada orang-orang yang mengerti dan berhasil menangkap makna yang berusaha ia sampaikan. Tetapi apa daya, orang-orang yang ia rasa bisa membantunya menterjemahkan apa yang dia lakukan justru pergi satu persatu. Ibunya meninggal dan orang-orang di desanya di tangkapi satu persatu karena dianggap menjadi bagian dari Partai Komunis Indonesia

KOMPLEKSITAS SEJARAH MELALUI PENYINTAS YANG TERSISA

Siman dan gerak lambatnya, adalah sebuah metafora kengerian akan sebuah kejadian di masa lalu yang masih tersisa. Sebagai penyintas atas kejadian di masa lalu, Siman memposisikan diri sebagai penyintas yang tak lagi memiliki hak bicara maupun hak untuk bersikap. Kejadian di padang pasir terlarang dan pendaratan manusia di bulan yang direkayasa di padang tersebut, meninggalkan Siman yang suaranya tak pernah didengar, fakta di manipulasi dan seiring berjalannya waktu kita di jejali dengan informasi serta noktah sejarah yang telah diciptakan oleh penguasa.

Sepanjang babak ini, Siman tetap keukeh memperjuangkan kebenaran yang berusaha ia sampaikan ke semua orang. Untuk memperkuatnya ia membuat pakaian astronot dan membuat rumah yang dibuat seolah-olah sebuah pesawat luar angkasa dari bahan kulkas bekas dan mesin cuci bekas. 

Film dibawa semakin menarik ketika tiba-tiba aspect ratio kemudian berubah ke 16:9, mengajak kita maju lebih jauh ke era sekarang, dimana Siman tetap bisu dan jaman berubah. Kompleksitas film dan bahasan mengenai sejarah semakin terlihat di babak ini dimana orang-orang dari masa lalu Siman yang hilang ditangkapi dan pergi tetiba muncul merupa sosok yang baru dengan latar belakang yang baru lagi dan karakter Siman yang seolah tidak menua. 

Kecerdikan seorang Yosep Anggie Noen selaku sutradara dan penulis cerita ini tampak terlihat jelas ketika ia berusaha memposisikan Siman dan apa yang dialami oleh karakter tersebut menjadi sesuatu yang tak melulu benar. Kemunculan orang-orang di masa lalu dan fakta mengapa Siman tak menua menjadi pertanyaan dan membuat penonton kembali berpikir kritis karena kendati dari awal Siman adalah Korban, Anggie Noen tak mau membuat penonton merasakan iba yang berlebihan. Plotting cerita yang bertumpuk dan kompleks serta permasalahan dan sikap Siman merubah keibaan penonton menjadi pertanyaan apakah apa yang terjadi sepanjang film benar terjadi atau hanya ada di kepala Siman itu sendiri.

PENDARATAN DI BULAN DAN PERISTIWA 65’

Anggie Noen bisa dikatakan cerdik juga memakai Pendaratan di Bulan dan Peristiwa 1965 sebagai plot device. Kedua peristiwa itu kerap diperdebatkan kebenarannya, bahkan hingga sekarang. 

Pendaratan di Bulan oleh kru Apollo 11, tahun 1969, diperdebatkan kebenarannya berkat seorang pria bernama Bill Kaysing. Berbekal pengalaman ikut mendesain mesin roket Saturn V, dari tahun 1965 hingga 1964, ia menyusun sebuah teori bahwa astronot Neil Armstrong dan Buzz Aldrin tidak pernah benar-benar sampai ke bulan. 

Kaysing menuding Pendaratan di Bulan adalah kebohongan, sebuah peristiwa yang sesungguhnya disusun oleh kru produksi Hollywood. Teorinya dibangun berdasarkan tiga poin. Poin pertama, tidak terlihat bintang di video pendaratan. Poin kedua, tidak ada kawah akibat pendaratan Lunar Module. Poin terakhir, bayangan jatuh secara tidak wajar. Apa yang dilihat Siman di padang terlarang mengacu pada teori-teori Kaysing. 

Hal yang sama berlaku untuk Peristiwa 1965. Lewat kuasanya, mantan Presiden Soeharto mencoba mengaburkan kebenararan dari peristiwa tersebut. Ia membangun kisah sejarah di mana Partai Komunis Indonesia melakukan pemberontakan yang menewaskan jenderal-jenderal militer. Hal itu kemudian ia jadikan justifikasi untuk melakukan genosida demi melanggengkan rezimnya. 

Untuk memperkuat sejarah versinya, Soeharto membuat film propaganda yang berjudul Pengkhianatan G30SPKI. Naskah, mise-en-scene, dan karakterisasi film dibuat dengan begitu telaten agar komunis benar-benar tampil "jahat". Ditambah kewajiban menonton tiap bulan September, sejarah versinya sempat dianggap yang paling sahih untuk waktu yang sangat lama. Para penyintas pembantaian, di sisi lain, "dibisukan" seperti Siman. 

Science of Fictions akhirnya menjelma sebagai suatu film yang mengajak kita kembali menelisik kebenaran dari fakta-fakta sejarah yang telah ada dan dituliskan di buku-buku sejarah hingga saat ini. Kita diajak kembali berpikir kritis dan kembali menelisik serta merasakan emosi dari penggambaran sosok Siman itu sendiri. Film ini juga di Tahun ini menjadi bentuk memori dari Almarhum Gunawan Maryanto yang telah meninggal di Tahun lalu, sebuah kado serta pengingat bahwa pernah ada seorang maestro seni peran di Indonesia.

Jadi, sudahkah anda menonton Science of Fictions Garapan sutradara Yosep Anggie Noen ini, Civs? (*/)

BACA JUGA: MENGENAL LEBIH JAUH APA ITU FILM EKSPERIMENTAL

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Naya Rasendrya

Naya Rasendrya Movie Enthusiast, Produser Film Pendek dan fans berat film-film Wong Kar-Wai. Kata-kata Mutiara “Sombonglah jika memang ada yang bisa kamu sombongkan”.