Banyak sekali jenis genre dan tema dalam sebuah film, gebrakan baru dan tentu bagaimana sebuah film dibuat, lalu pernahkah lo tau tentang Avant-Garde Film? Dan kira-kira apa sih itu?
Semakin ke sini, industri kreatif khususnya film tengah berkembang sedemikian pesatnya. Banyak sekali filmmaker tanah air yang perlahan mulai melebarkan sayapnya ke kancah internasional. Selain itu, pemerintah pun perlahan mulai tertarik menyuntikkan dana nya ke sektor kreatif. Menyajikan banyak sekali program pendanaan serta sounding ke berbagai kalangan di seluruh Indonesia. Tak kurang, selama hampir satu tahun, bisa dibilang banyak sekali film-film tanah air mulai menghiasi gedung-gedung bioskop, mulai dari film bertema action hingga horror semuanya tersaji dan bisa dinikmati oleh semua kalangan.
Akan tetapi, dengan berbagai macam genre serta cerita dalam sebuah film, ada satu genre yang jarang sekali diketahui orang khususnya masyarakat awam. Sebuah tema yang sedikit banyaknya perlu banget kalian ketahui dan barangkali jika suatu saat menonton film dengan tema semacam ini, lo gak perlu kaget dan risau mengenai, “Loh!? Film apaan nih!?”. Karena tentu saja, bahkan di kalangan sineas pun banyak yang sedikit ragu untuk membuat dan mengaplikasikan film dengan tema “Eksperimental” ke sebuah film yang mereka garap.
Film eksperimental atau yang bernama lain Avant-Garde Films, sebenarnya sudah lama sekali ada. Film eksperimental atau disebut sinema eksperimental atau juga sinema avant-garde merupakan sebuah metode pembuatan film yang mengevaluasi ulang konvensi sinematik dan mengeksplorasi bentuk-bentuk non-naratif dan alternatif menjadi naratif tradisional atau metode-metode dalam pengerjaan. Beberapa film eksperimental biasanya berhubungan dengan berbagai macam hal berbau seni, seperti misalnya lukisan, tari, literatur, puisi dan banyak lainnya.
Meski beberapa film eksperimental didistribusi lewat berbagai saluran mainstream atau bahkan sengaja dibuat di studio komersial, sebagian besar diproduksi dengan anggaran yang sangat rendah dengan kru yang minimal atau perorangan. Tujuan dari pembuatan film eksperimental biasanya untuk mewujudkan visi pribadi seorang artis atau untuk mempromosikan ketertarikan pada teknologi baru daripada untuk menghibur atau menghasilkan pendapatan, seperti halnya dengan film komersial.
Intinya, film eksperimental tidak banyak menggunakan plot tetapi tetap memiliki struktur. Struktur tersebut biasanya dipengaruhi oleh pengalaman subyektif dari film maker itu sendiri, seperti gagasan, ide, emosi atau pengalaman batin. Terkadang, film eksperimental juga seringkali dianggap sebagai sebuah film dengan pengalaman menonton yang sangat personal. Biasanya ada campur tangan perasaan pribadi si film maker ketika karya tersebut akhirnya dibuat dan dipertontonkan.
Menurut sejarah, film eksperimental berawal dari sebuah kejadian di Eropa pada tahun 1920. Tahun tersebut dianggap sebagai era kejayaan pertama sinema dunia. Di tahun itu juga, film mulai berkembang dan digunakan sebagai media untuk menghibur. Salah satu perkembangannya terlihat dari gerakan visual avant-garde (garda depan, perlawanan terhadap batas-batas apa yang diterima sebagai norma dalam suatu kebudayaan) dan sudah mulai bercampur dengan unsur surealis dan dadais.
Pada tahun 1924, Fernand Leger, Dudly Murphy, dan Man Ray membuat film eksperimental berjudul Ballet Mecanique. Film tersebut membuat para seniman surealis dan dadaisme mulai memiliki ketertarikan pada medium film dan membawa ideologi mereka ke dalam karya masing-masing. Tidak hanya Ballet Mecanique, seniman surealis bernama Salvador Dali dan Luis Bunuel juga mengangkat popularitas aliran sinema surealis melalui Un Chien Andolou, seniman dadais Marchel Duchamps juga ikut memproduksi film.
Aliran film semacam ini, pada akhirnya menyokong gerakan baru yang kemudian banyak sekali memunculkan berbagai macam aliran yang lainnya juga. Seperti sinema ekspresionis di Jerman, impresionis di Prancis serta gerakan film Montage Soviet pada masa itu.
Pada kasusnya, memang sedikit sekali film-film semacam ini diproduksi secara besar di Indonesia. Seperti yang lo semua tahu, bioskop-bioskop di Indonesia rata-rata hanya memutarkan atau mempertontonkan film-film komersil. Film-film yang memang tujuannya untuk meraup keuntungan. Pangsa pasar film-film Indonesia selalu tak pernah jauh dari drama-drama keluarga, percintaan, atau horror-horror yang seringkali dipertanyakan kengeriannya. Tetapi, meski tak pernah atau bahkan mustahil menghiasi layar konvensional, pada kenyataannya film-film eksperimental justru memiliki banyak sekali tempat di bioskop-bioskop alternatif atau festival-festival film universitas.
Di Jawa Tengah khususnya Semarang, pada beberapa waktu yang lalu, program pemutaran alternatif komunitas “Sudahkah Anda Menonton”, berkesempatan untuk memutarkan 3 film eksperimental filmmaker Jawa Tengah dalam program “Lanskap Liyan : Apakah Hamba Sudah Paham?”. 3 film yang diputarkan ialah “Lampu Merah” yang disutradarai oleh Yohanes Retyanandra & Wahyu Istnaini, lalu ada “Dimensional Journey : Tridhatu” yang disutradarai oleh Dhimas Tirta Franata, serta “Plumeria Alba” oleh Tatang A Riyadi.
Ketiga film itu adalah film yang dipertontonkan dan tentu saja memancing banyak sekali pertanyaan dalam sesi diskusi pasca menonton. Bagaimana alur, pemilihan cerita serta bagaimana proses kreatif banyak sekali dilontarkan oleh audience. Mengingat film-film semacam ini sangat awam dan jarang sekali ada di Indonesia. Pengalaman menonton yang berbeda serta bagaimana ketiga film itu menawarkan warna yang baru, boleh jadi menjadi bentuk gebrakan baru bahwa “ada lho, film-film eksperimental yang perlu lo coba tonton”.
Film Eksperimental atau disebut juga Avant-Garde Films, menurut gue perlu banget kalian ketahui. Adanya orang yang berkecimpung di pembuatan film-film tersebut amat sangat perlu sekali kita apresiasi keberadaannya. So, tunggu apa lagi? Sudahkah lo tertarik untuk mulai mencoba menonton film-film eksperimental, Civs? (*/)