Sebagai produk budaya, semua film memang punya kecenderungan politis. Tapi, Pinnochio (2022) secara terang-terangan alias eksplisit menonjolkan unsur politiknya. Tanpa ba-bi-bu, langsung sat-set.
FROYONION.COM - Pinokio, boneka kayu ajaib yang kalau lagi bohong hidungnya tiba-tiba memanjang itu, memang selalu menarik untuk jadi bahan obrolan. Gue mengenal dongeng tentang buah tangan Kakek Gepeto itu sejak kecil, terutama lewat film animasi besutan Disney yang dirilis tahun 1940. Agak lawas, ya, tapi dulu stasiun tv swasta rutin nayangin pas musim liburan.
Gue yakin, kalian juga udah nggak asing sama kisah pinokio berikut ajaran moral yang coba disuguhkan. Tapi, gimana kalau cerita boneka kesayangan kita digarap ulang oleh sutradara gaek kayak Guillermo del Toro yang punya pengalaman dan spesialisasi di film-film horor, noir, misteri, bahkan sains-fiksi yang kelewat serius? Hmmm.. Kayaknya menarik, sih.
Film Pinnochio (2002), yang baru banget dirilis sama Netflix ini emang menjanjikan secara visual, karena menggunakan teknik animasi stop-motion. Jadinya, sajian gambar di film ini bukan cuma detail dan indah, tapi juga punya daya magis tersendiri. Sepanjang durasi 114 menit, mata kita dimanjakan oleh pemandangan yang mengagumkan.
Ada banyak improvisasi yang dibikin sama Guilermo del Toro dan Mark Gustafson selaku sutradara, sehingga perbedaan dengan Pinokio yang kita kenal sebelumnya jadi kerasa mencolok banget.
Tapi di tulisan ini, gue bakal fokus sama beberapa perbedaan yang menurut gue penting dan mendasar. Gua enggak bakal masuk lebih detail dan jauh, tentu buat menghindari kecenderungan spoiler yang bikin jengah.
Pertama, ini film terasa politis banget. Sebenernya, gue sadar bahwa sebagai produk budaya semua film memang punya kecenderungan politis. Bukankah selera, pada akhirnya, juga sikap politik? Tapi, maksud gue, film Pinnochio (2022) secara terang-terangan alias eksplisit menonjolkan unsur politiknya. Tanpa ba-bi-bu, langsung gas.
Kalian tahu diktator Italia yang mendirikan Partai Fasis Nasional? Yap, betul, Benito Musolini. Di dalam film ini, dia hadir beberapa kali sebagai pemimpin yang dipuja-puji oleh rakyat. Tapi, Pinokio justru mengejeknya lewat nyanyian dengan lirik yang satire, lengkap beserta goyangan badan yang bikin sang Diktator ngambek. Tentu, sebagai hadiah, boneka kayu ini kena peluru yang ditembakkan sama aparat. hmm, kayak familiar ya.
Semua anak lelaki—termasuk Pinokio, ya, secara teknis dia adalah anak lelaki—juga terlibat dalam program wajib militer. Konsekuensi logisnya, kita bakal lumayan sering dipertontonkan sejumlah penanda politik seperti hormat angkat tangan kanan ala-ala fasis, atribut khas tentara, atau jargon-jargon politik di eranya.
Tapi, yang bikin film ini menarik, karena unsur-unsur tersebut dimasukkan sesuai porsi yang bisa dikonsumsi anak-anak biar lebih relevan. Selain itu, sikap politis para filmmaker juga jelas: mereka membenci perang.
Kedua, tragisnya bukan main-main. Film ini menunjukkan adegan kekerasan dengan komposisi yang lumayan banyak. Maklum, latar waktu cerita ini terjadi di era-era perang dunia. Sang sutradara sebenernya udah mewanti-wanti, ini karya bukan untuk ditonton anak-anak, kecuali para orangtua mau membimbingnya.
Bayangin aja, anak kesayangan Gepetto, Carlo, harus mati tragis karena terkena bom di dalam gereja. Kejadian ini membuat sang Kakek Gepeto demikian membenci perang, dan kemudian melarang Pinokio ikut wajib militer. Adegan tembak-tembakan juga bukan sekali dua kali tersaji.
Selain itu, kita juga bakal dipertontonkan kekerasan terhadap binatang. Count Volpe, pemilik usaha hiburan sirkus, terlihat kelewat kejam kepada asisten monyetnya, Spazzatura.
Dia bukan cuma menyiksa, tapi juga memanfaatkan sang binatang sebagai sumber penghasilan. Pinokio yang masih bocah juga jadi korban human trafficking kelompok sirkus ini. Eh, pinokio human bukan, ya?
Ketiga, kelam yang mencolok mata. Kalian bakal menemukan adegan putus asa yang sangat mengharukan: Kakek Gepeto nangis-nangis sambil nenggak botol alkohol di samping kuburan Carlo, anaknya.
Dalam pengaruh mabuk dan rasa haru, Kakek Gepeto kemudian menebang pohon pinus, menyeret-nyeret gelondongan kayu ke rumahnya, dan voila... jadilah Pinokio.
Di film ini, Pinokio hadir sebagai penghibur haru buat kakek Gepetto. Mula-mula, kehadiran boneka kayu ini tidak bisa langsung diterima, bahkan penduduk sekitar menuduhnya sebagai iblis hasil karya seorang dukun atau penyihir.
Sepanjang cerita, kesedihan demi kesedihan dipertontonkan secara konsisten. Puncaknya, kita akan menemukan pengorbanan Pinokio yang rela kehilangan hak hidup abadi demi menyelamatkan sang kakek; bentuk kasih sayang yang sangat tulus.
Ya, Pinokio memang bisa mati berkali-kali di film ini. Dia akan bangkit sesuai dengan berakhirnya durasi jam pasir di alam sana—kita sebut saja akhirat. Pertama, dia mati terlindas oleh mobil. Kemudian ditembak oleh tentara fasis. Dan yang terakhir, tenggelam di tengah lautan.
Salah satu kutipan favorit, yang keluar pada saat Pinokio mati, “Hidup bisa membawa penderitaan yang demikian besar, hidup yang kekal akan membawa penderitaan yang juga kekal.”
Kelihatan banget, kan, gimana kelamnya film ini? Kematian demi kematian disajikan berulang kali, seolah-olah itu adalah kesenangan yang patut dirayakan, bukan siklus alamiah manusia. Tapi, menurut gue, kita akhirnya akan menemukan kesimpulan bahwa waktu begitu berharga justru saat kita tidak lagi memiliki kesempatan.
Kesimpulannya, apakah film Pinnochio (2022) ini layak tonton? Ya, ini adalah karya mencekam, menghibur, sekaligus mendidik secara bersamaan. Ada banyak nilai yang diusung, tapi tidak lantas menjadikannya sebagai jenis film yang ngotot berceramah tentang ajaran moral.
Film ini bisa ditonton secara resmi di Netflix. Mari kita coba… (*/)