Pernah kepikiran nggak gimana lika-liku kehidupan sepasang kekasih yang mimpinya tersendat dan berujung terdampar di pelabuhan? Itu semua dijawab secara kompleks dalam film satu ini, Civs.
FROYONION.COM - Razka Robby Ertanto kembali hadir menghiasi dunia perfilman tanah air setelah Ave Maryam (2018) dan Jakarta vs Everybody (2020), dua film yang telah malang melintang di berbagai festival film internasional.
Karya terbarunya kali ini, Cross The Line, mengangkat tentang lika-liku kehidupan anak buah kapal yang dipenuhi cinta, dilema, dan mimpi. Anyway, masih ingat sama dua bintang Penyalin Cahaya nggak, Civs? Nah, Shenina Cinnamon dan Chicco Kurniawan kembali beradu peran di film ini sebagai Maya dan Haris.
Film ini nggak beda jauh sama karya Robby sebelumnya yang memang sering masuk ke festival film. Cross The Line sempat tayang di pagelaran Jakarta World Cinema Week 2022 pada Oktober lalu. Sampai kemudian kembali ditayangkan pada festival tahunan yang diselenggarakan di Yogyakarta, yaitu JAFF ke-17 atau 17th Jogja-NETPAC Asian Film Festival.
Selama 70 menit durasi film ini, gue dibawa jauh untuk mengikuti kisah cinta sepasang kekasih dalam perjuangannya untuk meraih mimpi. Premisnya sebenarnya cukup sederhana, yaitu dua anak lulusan sekolah menengah atas yang mau mengubah hidupnya dengan cara bekerja sebagai TKI di Singapura. Namun, perspektif yang dipilih menurut gue agak lain, cukup unik, dan fresh banget di industri film.
Ngomongin teknis, menurut gue alurnya berjalan cukup cepat, tetapi masih bisa enjoy mengikuti. Adegan demi adegan bikin gue cukup geregetan dan mengernyitkan dahi. Meskipun ada juga beberapa yang membuat gue nebak-nebak kayak ‘abis ini pasti begini’ menjadi nyata, tapi gue sangat menikmati proses yang apa adanya itu.
Set lokasinya juga sebenarnya monoton dengan sebatas hanya di pelabuhan saja. Meskipun begitu, dialog, sinematografi, dan komposisi musik pendukungnya bikin gue betah nontonin sampai habis. Kebetulan juga, saat itu sang sutradara datang langsung dan ikut nonton di studio JAFF yang menayangkan film ini. Robby menjelaskan kalau syuting film di set pelabuhan ini hanya berlangsung lima hari. Nggak kebayang sih gimana ruwetnya dengan waktu yang minim dan set lokasi seperti itu.
Bergeser ke penampilan Shenina dan Chicco, menurut gue di film ini mereka all out banget. Mereka adalah selayaknya sepasang kekasih di tengah tuntutan ekonomi dan keadaan yang serba susah. Intim, natural, penuh masalah, penuh tangis, juga penuh cinta.
Bayangin aja mimpi lo ditahan untuk waktu yang nggak ditentukan. Lo sudah keluar banyak, sudah effort ini itu, sudah memenuhi segala persyaratan, tapi lo nggak pernah kemana-mana, nggak pernah ngerubah apa-apa. Di lain sisi juga, tuntutan ekonomi semakin mencekik ditambah kehilangan salah salah satu orang yang bikin kuat sampai titik ini.
Situasi terdampar di pelabuhan sembari mengerjakan apa saja asalkan bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah membuka fase awal film ini. Mulai dari Haris dengan pekerjaan kasar seperti mengurus mesin kapal dan mengecek muatan truk-truk, sampai Maya dengan pekerjaan yang sama kasarnya, tapi dengan pendekatan yang sedikit lebih humanis, yaitu petugas kebersihan dan pelayan restoran.
Semuanya terasa normal dan wajar, sampai sisi gelap mulai menyeruak secara bertahap. Hal-hal kelam yang selama ini hanya bisa dilihat dari susunan paragraf dalam berita, kali ini bisa divisualisasikan secara nyata. Penyelundupan manusia, penjualan manusia, eksistensi mucikari, sampai dinamika pekerja seks komersial disajikan dengan narasi dan latar belakang yang dapat divalidasi. Hal tersebut dapat dilihat di paruh tengah sampai akhir film. Tensi yang dibangun begitu pelan, tapi meluas secara menyeluruh. Membawa gue untuk terus khusyuk menikmati perjalanannya.
Penonton diperlihatkan karakteristik Haris yang bucin banget sama pacarnya, Maya. Tanggung jawab moral maupun ekonomi dipikul berat olehnya, terlebih ketika tahu Maya terlilit utang dan denda dengan nominal fantastis. Haris melupakan dirinya untuk sesaat dan fokus pada masalah Maya. Sementara itu, Maya di sini nampak labil, berpikir pendek, dan egois.
Tapi ya, itu semua cuma sebatas penilaian sepihak gue saja. Kita kan mudah sekali menilai untuk hal-hal yang belum pernah alami. Maklum. Tapi yang jelas, gue nggak bisa memungkiri kalau keputusasaan dan perasaan depresi yang dilakonkan oleh tiap-tiap pemainnya bikin gue berempati lebih.
Paruh akhir film menjadi sesuatu yang getir dan dipenuhi metafora. Punya mimpi dan angan tinggi, serta kerja keras tanpa henti terkadang nggak cukup buat mendapatkan apa yang kita mau. Pada akhirnya, hidup adalah hidup, banyak lika-likunya, banyak masalahnya. Malahan kadang datangnya bersamaan, atau datang terus nggak berkesudahan.
Cross The Line merupakan tontonan yang menarik buat diselami, terlebih bagi para penonton dewasa yang butuh film dengan sudut pandang yang unik dan baru. (*/)