‘Playing for Keeps’ adalah film bergenre drama roman komedi. Film ini bercerita soal mantan bintang sepakbola yang belajar menjadi ayah yang ideal, yang dapat dibanggakan oleh putranya.
FROYONION.COM - Tak banyak mantan pesepak bola yang sukses selepas gantung sepatu. Beberapa yang punya nama besar, bisa beralih profesi jadi komentator, sebut saja Thierry Henry. Beberapa yang punya pengetahuan taktikal bisa memulai karir sebagai pelatih. Namun, tak sedikit pula harus jatuh dalam kebangkrutan dan menganggur, seperti yang dialami George Dryer, tokoh utama dalam film Playing for Keeps ini.
George adalah bintang pada masa kejayaannya. Namun, di masa pensiunnya, hidupnya malah morat-marit. Ia bercerai dari istrinya. Ia tinggal di kamar sewaan yang sempit, tak punya pekerjaan bahkan terlilit utang. Lebih sialnya lagi, putranya nampak kecewa padanya. Bagi seorang ayah, dibenci oleh anak lelakinya, merupakan sebuah penyesalan terbesar.
George mencoba peruntungan dengan melamar kerja sebagai presenter acara olahraga guna memperbaiki hidupnya. Sambil menunggu kabar baik, kesempatan baginya untuk memperbaiki hubungan dengan putranya, datang ketika ia diminta menggantikan pelatih di klub bola putranya itu. Ia mengambil kesempatan itu.
George adalah pria yang selamanya akan menjadi bocah lelaki. Istilah kerennya, old boy. Sikapnya yang tak dewasa dan doyan main perempuan, membuat mantan istrinya Stacy meninggalkannya. Sikap itulah yang juga membawanya ke titik terendah itu.
Namun, perlahan ia mulai memperbaikinya. Ini terlihat, misalnya, di hari pertama ia melatih, George meminta saran pada asisten pelatihnya. Tanpa sungkan ia mengaku, ini pertama kalinya ia melatih.
Sebelumnya, George juga bersedia menerima tawaran melatih tersebut setelah mantan istrinya berkata, inilah saat baginya untuk melakukan sesuatu bagi putranya.
Bahkan dengan kemauannya untuk melamar pekerjaan sebagai presenter olahraga, perubahan George mulai terlihat. Perlahan ia belajar mendewasakan diri, juga belajar menjadi seorang ayah yang baik. Semua itu ia mulai dengan belajar mendengarkan.
Kedengarannya memang simpel. Namun, justru mendengarkan adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Sebab kebanyakan orang lebih suka didengar ketimbang mendengarkan. Keahlian inilah yang George pelajari kali pertama, hingga perlahan hidupnya membaik.
BACA JUGA: CODA (2021): KISAH HANGAT DARI SEBUAH KELUARGA TULI YANG PANTAS DIANUGERAHI ACADEMY AWARDS!
Kisah di film ini sangat ringan, bahkan bisa dibilang pasaran. Plot ceritanya juga mudah ditebak ke mana arahnya. Seperti kebanyakan cerita roman komedi, film ini punya alur serupa, yaitu saat seorang bad boy berubah jadi pria bertanggung jawab, layaknya impian banyak perempuan. Dan itulah yang terjadi. George pada akhirnya memang ditakdirkan menjadi ayah yang ideal.
Dalam prosesnya, tentu ia menghadapi banyak godaan. George digandrungi ibu-ibu muda. Tarik-ulur pun terjadi. Beberapa kali George terpeleset ke dirinya yang lama–doyan main perempuan. Namun pada akhirnya, ia bisa memegang kendali. Ia seakan tahu apa yang seharusnya ia lakukan.
Ya, belajar menjadi dewasa, apalagi menjadi ayah yang baik, tak pernah diajarkan di bangku sekolah. Maka tak heran, dalam prosesnya seringnya seseorang melakukan kesalahan.
Meski punya narasi bad boy yang akhirnya berubah jadi pria bertanggung jawab demi seorang perempuan, beruntung film ini tak melulu terjebak menceritakan kehidupan cinta tokoh utamanya. Film ini bahkan lebih cenderung memotret kebersamaan George dengan putranya, Lewis.
George punya cara yang unik untuk membangun kedekatan dengan putranya. Menjadi pelatih bola adalah salah satunya. Di satu scene ia bahkan meminta Lewis menyetir Ferrari. Di adegan itu jugalah, penonton jadi tahu, apa yang dibutuhkan seorang anak dari ayahnya. Yaitu, keberanian mencoba tantangan dan mengambil risiko. Saya bahkan membayangkan, Lewis jika sudah dewasa nanti, akan menjadi pria yang berani dalam mencoba hal-hal baru.
Yang patut disayangkan, barangkali endingnya yang seolah tak berani keluar dari zona nyamannya. Ending seperti itu mungkin bikin banyak orang bersorak gembira, tapi di lain sisi, sikap dewasa George jadi dipertanyakan. Benarkah ia sudah berubah? Bukankah menjadi dewasa juga soal menghargai hubungan orang lain, bahkan jika orang lain itu adalah mantan istrinya.
Beruntung kekurangan itu berhasil ditutupi dengan cerita yang menghibur. Unsur dramanya begitu kental dan dekat, terutama saat menampilkan hubungan ayah dan anak. Dari film ini jugalah kita jadi menyadari, bahwa seorang ayah memang harus terlibat dalam membesarkan anak.
Kehadiran beberapa cast jempolan menambah kemeriahan film ini. Gerard Butler yang memegang peran utama di sini bisa dibilang berhasil memerankan sosok bad boy yang berniat insyaf. Detail-detail kecil seperti kegugupannya saat pertama kali syuting sebagai presenter, menunjukkan betapa ia mendalami perannya itu.
Akhir kata, film Playing for Keeps lebih cocok ditonton bersama pasangan, terutama mereka yang telah menikah dan punya anak. Barangkali dari sini mereka bisa belajar bekerja sama dalam membesarkan anak, juga pastinya menjadi ayah yang bertanggung jawab. Selamat menonton. (*/)
BACA JUGA: AYAH, MENGAPA SAUDARAKU ADA 94 ALIAS BANYAK BANGET?