Pernikahan dan kematian adalah dua momen besar dalam hidup manusia yang sakral. Di antara kedua momen inilah, seorang pemuda bernama Ara dihadapkan pada beberapa pertanyaan besar dalam hidupnya.
FROYONION.COM - Pernah nggak lo dalam waktu yang berdekatan atau bahkan di hari yang sama mesti menghadiri dua event yang berbeda? Kalau eventnya mirip sih enak ya. Misalnya pesta ultah disambung resepsi nikahan. Sama-sama ceria dan bisa haha hihi.
Tapi bayangin kalo lo kudu ngehadiri kawinan terus juga menghadiri pemakaman alias melayat seseorang yang memiliki hubungan dekat dengan kita yang baru saja meninggal dunia.
Itulah yang dirasakan sama Baskara atau Ara (diperankan Jourdy Pranata) dan Lea (Putri Marino). Keduanya baru berkenalan di sebuah pagi karena Lea kebetulan diutus seorang kerabat untuk menjemput Ara yang baru tiba di bandara untuk menghadiri pemakaman istri pamannya, Rendra (Tegar Satrya), di kota gudeg.
Di film yang terasa banget atmosfer budaya Jakselnya ini, kita mengikuti perjalanan Ara terombang-ambing di antara dua gadis: Ayu dan Lea. Ayu gadis yang sudah dipacarinya sekian lama tapi tertangkap basah mengkhianatinya. Anehnya Ara tak sanggup meninggalkan Ayu. Sementara itu, Lea baru saja ia kenal tapi ternyata juga menarik perhatian dan memiliki kesan mendalam baginya.
Dalam sebuah adegan, Lea sempat melontarkan pertanyaan krusial ini pada Baskara. Pertanyaan ini menggelitik benak Lea yang sebelumnya berbincang dengan calon mempelai Ruth ( (Ruth Marini) dan Edo (Eduwart Manalu) yang menyinggung bahwa cinta menjadi tempat teraman bagi keduanya untuk kembali.
Di saat yang sama, pertanyaan ini sebetulnya relevan sekali untuk Baskara yang sedang gamang. Apakah ia harus kembali ke cintanya yang sedang menunggu di Jakarta, Ayu? Atau ia hempaskan saja cinta yang jauh di sana untuk Lea yang terasa lebih menarik meski baru saja berkenalan?
Pertanyaan ini juga bisa kita tanyakan pada diri kita sendiri saat kita merasa bahwa kita berada di ‘persimpangan jalan’ dan mesti membuat keputusan ke depan. Apakah harus mempertahankan cinta yang sudah ada di genggaman tapi pada kenyataannya menyakiti kita atau merengkuh cinta baru yang kita belum tahu secara luar dalam tapi setidaknya kita merasa sangat cocok dan menikmati?
BACA JUGA: FILM ‘SRIMULAT: HIL YANG MUSTAHAL’ SIAP BIKIN LO KETAWA
Di film dikisahkan Lea adalah anak dari sepasang suami istri yang awalnya normal-normal saja. Tapi suatu hari sang ayah yang begitu sibuk mejemputnya dari sekolah dan mengajaknya ke tempat-tempat yang ia sukai, melakukan hal-hal yang ia senangi.
Siapa sangka bahwa hari itu menjadi hari perpisahan, karena sang ayah memutuskan meninggalkan keluarga barunya dengan alasan yang bagi Lea konyol dan semena-mena: “kehidupan berkeluarga bukan untuknya”.
“Kalau begitu, kenapa ayah harus menikah?” tanyanya saat mencurahkan perasaan pada Baskara untuk menjelaskan mengapa ia pribadi yang susah menumpahkan airmata bahkan di saat-saat menyedihkan semacam pemakaman yang hari itu mereka hadiri.
Di sini, kita diajak berkontemplasi bahwa pernikahan dan memiliki anak bukanlah permainan. Kita merasa bosan atau berubah pikiran lalu keluarga kita bisa tinggalkan begitu saja. Mereka adalah manusia dengan perasaan dan jiwa.
Maka dari itu, kita tak sepatutnya berlaku seenak jidat apalagi dalam memperlakukan anak-anak kandung kita sendiri. Karena mereka adalah manusia yang bakal menanggung konsekuensi dari pilihan masa lalu kita itu. Jika kita ‘cuci tangan’ seenaknya, dampaknya pada jiwa mereka bakal dalem banget. Dan luka batin itu lebih susah disembuhkan daripada luka fisik.
Film ini memiliki tema kuat soal pencarian jatidiri dan tujuan hidup yang kerap dihadapi anak muda dari zaman dulu sampai detik ini. Buktinya sang penulis naskah sekaligus sutradara Adriyanto Dewo membuka film dengan sebuah kutipan dari Saba Bodokia: “Bumi penuh dengan orang yang tersesat dan mereka berkelana di dunia-dunia mereka sendiri dengan gunung-gunung mereka sendiri dan samudera-samudera mereka sendiri.”
Ditambah dengan perjalanan Lea yang diceritakan di film ini pernah menghabiskan dua tahun sendirian tanpa ditemani seorang pacar atau teman yang ia kenal di sebuah pulau terpencil dengan masyarakat yang masih tradisional cara hidupnya.
Saat ditanya Ara kenapa ia melakukannya, Lea menjawab untuk menemukan dirinya kembali setelah ayahnya meninggal dirinya begitu saja.
Memang ada sebagian orang yang merasa bahwa dengan melakukan perjalanan dan menjelajah bagian dunia yang belum mereka kenal, mereka bakal perlahan mengenal jatidiri mereka juga. Kemudian muncullah tren leisure economy dan traveling beberapa tahun lalu yang seolah mendorong banyak anak muda berkelana ke tak cuma daerah-daerah di dalam negeri tapi juga banyak negara asing. Setiap orang seolah berlomba mengumpulkan konten dari berbagai pelosok nusantara dan mancanegara untuk membuktikan bahwa mereka sudah pernah menjejakkan kaki ke sana.
Tapi sayangnya tren traveling itu cuma menjadi pelampiasan dan ajang pencarian pengakuan semata lewat media sosial. Banyak orang lupa dengan tujuan awal traveling yakni untuk mengenal jatidiri mereka. (*/)
BACA JUGA: MENURUT LO, KENAPA FILM KKN DI DESA PENARI BISA SUKSES CURI PERHATIAN PENONTON?