Music

THE KICK, PARA PEMUDA DARI PINGGIRAN JOGJA YANG MENCOBA UNTUK BERMUSIK

The Kick menjadi salah satu band yang belakangan ini sedang naik daun khususnya di skena musik underground Yogyakarta. Band ini diisi oleh lima pemuda yang berasal Kotagede. Mereka terus mencoba untuk bermusik dengan berbagai dinamika dan tantangan yang ada.

title

FROYONION.COM - Kira-kira satu tahun yang lalu saya baru saja mengenal The Kick. Setidaknya sampai saat ini sudah ada tiga acara yang saya datangi untuk melihat aksi panggung mereka: Unpressure Hue, Gigs perdana Asmara Kacau, dan Cherrypop Festival 2023

Ketiga panggung itu boleh dikata yang sah adalah gigs perdana Asmara Kacau dan Cherrypop Festival 2023. Lantaran dari keduanya saya bisa ikut menikmati lagu-lagu The Kick. Sedangkan untuk Unpressure Hue,  jujur saya belum terlalu mengikuti lagu-lagu The Kick. Saya hanya sebatas tahu bahwa mereka menjadi penutup dari perhelatan tour The Jansen di Yogyakarta.

Memang tidak semua band atau lagu yang kita kenal bisa langsung membuat jatuh hati. Kadang butuh waktu agar suatu lagu bisa kita suka. Nah The Kick ini bagi saya masuk kategori itu. Sampai akhirnya belakangan ini lagu-lagu mereka kerap saya putar untuk menemani segala aktivitas maupun waktu senggang. 

Nomor-nomor yang andalan saya antara lain “UFO”, “Raya”, “Mengudara”, “Terbakar di Lampu Merah”, “Liar”, “Badai di Selatan”, dan “Tak Jelas”. 

PERJALANAN DARI THE KICK

Boleh dikata The Kick menjadi salah satu band yang baru-baru ini sedang naik daun khususnya di skena musik underground Yogyakarta. Mereka kerap mengisis gigs, konser, hingga festival macam Cherrypop. 

Tapi jangan salah, The Kick tidak serta merta baru berdiri satu atau dua tahun. Melainkan band ini telah dirintis sejak 2016. Formasi yang mengisinya adalah lima pemuda yakni Jiwe (vokal), Boher (gitar), Ammar (gitar), Adit (bass), dan Rizki (drumer). 

Sejak awal berdiri hingga saat ini, tentu The Kick tidak bisa lepas dari berbagai dinamika. Seperti yang dikatakan oleh Tegar Aji Wibowo, atau yang akrab disapa Jiwe, bahwa The Kick awalnya menjadi band yang tampil di gigs seni rupa di kampus-kampus seperti ISI, UST, dan UNY. Pun pada waktu itu mereka hanya sebatas mencover lagu-lagu dari Ramones.

Berjalan tiga tahun seperti itu hingga ada dorongan dari teman-teman di Kolektif Kumpul Kerbau agar The Kick bisa percaya diri dalam membuat dan membawakan lagu sendiri. Singkatnya mereka tergugah dan pada 2018 merilis single “Tak Jelas”, lalu pada 2021 merilis lagu “UFO”, dan mengeluarkan debut mini album pada 30 Juli 2021 dengan tajuk ‘Suburban Terror’.

BACA JUGA: DARI LAGU BARUNYA, KITA TAHU BAND INI BENAR-BENAR RUMAH SAKIT

Menurut pengakuan Jiwe, alasan The Kick memerlukan waktu tiga tahun untuk membuat karya tidak bisa dilepaskan dari para personilnya yang memiliki kesukaan genre yang berbeda-beda. Sehingga perlu berbagai macam kompromi agar kelima personil bisa tercipta mufakat. 

Tidak berhenti di EP ‘Suburban Teror’ saja, melainkan The Kick belum lama ini mengeluarkan album penuh yang berjudul ‘Rangsang’. 

Baik dari ‘Suburban Terror’ maupun ‘Rangsang’, keduanya berisikan nomor-nomor yang sifatnya tidak ndakik-ndakik. Bahkan Jiwe juga mengakui bahwa lagu-lagu dari The Kick diangkat dari hal-hal sederhana. 

“Penulisan lirik di lagu-lagu The Kick itu terinspirasi dari band-band zaman dulu. Di mana tidak perlu memakai bahasa yang multi tafsir. Seperti lagu The Kick yang judulnya “Raya”, Mengudara “Tak Jelas”, “Terbakar di Lampu Merah,” kata Jiwe pada Selasa, (05/09) di salah satu coffee shop yang dekat dengan Pasar Kotagede. 

Beberapa lagu yang disinggung Jiwe di atas itu memang memuat lirik-lirik yang sederhana. Seperti “Tak Jelas” yang menceritakan bagaimana pemuda tanggung yang bangun siang dan tidak bekerja, mungkin ada diantara kita yang sedang atau pernah di fase itu. 

Lalu ada juga “Mengudara”, sebuah lagu yang sangat cocok untuk crowd surfing. Ada juga “Raya”, kisah romansa antara laki-laki dan perempuan yang memiliki latar belakang berbeda. 

“Jadi mendengar The Kick akhirnya bisa menertawakan kondisi tertentu,” imbuh Jiwe.

KOTAGEDE YANG BEGITU DEKAT DENGAN THE KICK

Lebih jauh lagi, lagu-lagu The Kick tidak bisa lepas dari fenomena-fenomena dari tempat mereka berasal, yakni Kotagede, sebuah kecamatan yang masuk sebagai pinggiran Yogyakarta. Bahkan band ini justru kerap menarasikan sebagai band Kotagede, daripada Yogyakarta itu sendiri. 

“Kebetulan anak-anak The Kick itu berasal dari Kotagede semua. Kami kerap melihat beberapa momen menarik di sini yang kemudian bisa diangkat menjadi lagu. Jadi nggak usah ngomong soal Jogja secara umum dulu. Ngomongin Kotagede dulu ajalah. Makanya jadi EP Suburban Teror. Di track pertama judulnya juga Suburban Teror, ” papar Jiwe. 

Menyinggung soal “Suburban Teror”, sebagai pendengar kita disuguhkan bagaimana Jiwe, “berpidato” kondisi masyarakat yang ada di pinggiran kota Jogja itu sejauh pengamatan mereka. 

“Orang banyak tahu Jogja selalu dianggap bagus banget padahal kalau mau melihat ke dalam itu tidak selalu demikian. Contoh Kotagede, orang umum mengira Kotagede itu daerah wisata, ada peninggalan kerajaan mataram. Tapi orang tidak tahu bahwa disini juga pernah ribut soal sampah, politik, dan lain sebagainya,” imbuh Jiwe. 

KESAN THE KICK MENJADI BAND PINGGIRAN KOTA JOGJA

Sebagai band yang lahir di pinggiran kota Jogja, perjalanan The Kick tentu bukanlah mudah. Mereka tidak seperti band-band di ibu kota atau kampus-kampus yang dengan mudah mendapatkan privilege. Jiwe sendiri menceritakan bagaimana anak-anak The Kick perlu usaha keras untuk bisa mengakses sarana dan prasarana dalam bermusiknya. 

Pun anak-anak The Kick menyadari hingga saat ini antara utara dan selatan Jogja masih memiliki perbedaan. “Ibaratnya dapurnya itu selatan dan kalau mau jualan ya ke utara,” imbuh Jiwe. 

Sehingga dulu pria yang juga menjadi seniman itu pernah berinisiatif untuk bersosialisasi ke wilayah utara Jogja. Katanya hal itu terbilang cukup efektif. Di mana The Kick lebih dikenal oleh orang banyak, khususnya yang ada di wilayah utara. 

Ngomong-ngomong memang bersosialisasi di skena musik Yogyakarta seperti sudah menjadi budaya. Lantaran dari situ akan terjalin suatu relasi yang bisa saling menguntungkan. 

Tantangan lain yang harus dihadapi oleh The Kick dalam mendirikan suatu band adalah konsistensi. Bahkan Jiwe mengamini bahwa mendirikan band di Jogja itu kuncinya adalah betah-betahan. Dirinya terus mengupayakan agar anak-anak yang terlibat di dalam The Kick bisa terus bekerjasama dan terbuka satu sama lain.

“The Kick itu musik pertemanan. Jadi kalo ada hal yang mengganjal tinggal dibicarakan saja. Makanya aku sering buka obrolan pas ketemuan sama anak-anak The Kick kira-kira ada yang terbebani tidak,” katanya. 

Dan sebagai sekumpulan anak muda yang mencoba untuk terus bermusik, seiring berjalannya waktu The Kick semakin dewasa. Mereka terus mencoba untuk realistis dan mengikuti perkembangan zaman. 

“Anak-anak The Kick makin kesini belajar banyak hal. Bahwa mendirikan band itu tidak seenaknya sendiri. Ada manajemen uang, buat press release, berjejaring, dll,” paparnya. 

“Kami juga tidak menaruh ekspektasi yang berlebih. Seperti ketika lagu-lagu kami bisa meledak dan banyak didengarkan oleh banyak orang. Yo nek betah dilakoni nek ora yo wis. Toh anak-anak sudah paham kalau mendirikan band di Jogja itu panennya lama,” tutup Jiwe. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Khoirul Atfifudin

Masih berkuliah di Universitas Mercu Buana, Yogyakarta. Saat ini sedang memiliki ketertarikan pada dunia musik dan tulis-menulis.