Yang paling vital dalam tim adalah komunikasi yang selalu kita jaga. Kalau kita lagi ngumpul seolah-olah kita ini seperti sekumpulan pelawak. Memang ada hal yang kita sampaikan ya serius cuman ya dengan cara bercanda.
FROYONION.COM - Power Metal telah tegak berdiri sejak tahun 1987. Banyak referensi menyebutkan, dekade tahun itu adalah masa kejayaan musik rock dan metal, terutama di Surabaya. Itu sebabnya, kota pahlawan itu dijuluki sebagai barometer rock Indonesia.
Masih tetap aktif, di tahun 2023 kini Power Metal berusia 36 tahun dengan total karya yang sudah dibuat sebanyak 11 album. Beruntungnya, penulis bisa bertemu dan wawancara langsung dengan Power Metal di Pasuruan bulan Juli lalu lalu saat mereka menjalankan tur Jawa Timur.
Saya menemui para personil di backstage. Tentu, pertanyaan pertama yang saya sodorkan mewakili pertanyaan jamaah metalia seluruh Indonesia, “Kok bisa Power Metal bertahan sampai sejauh ini?”.
Pertanyaan itu dengan cepat disambar oleh sang bassis, Baba Blunky.
“Takdir, Mas, takdir yang memisahkan kita. Eh, maksudnya mempersatukan kita hahaha,” kata Baba terkekeh.
Dari jawaban Baba, sekilas bisa kita tebak kenapa mereka tetap eksis. Yup, itu karena Power Metal diisi oleh orang-orang yang suka guyon barangkali.
Setelah jawaban Baba, sang gitaris yang merupakan personil generasi pertama Power Metal, Ipunk, memvalidasi asumsi saya itu.
“Yang paling vital dalam tim adalah komunikasi yang selalu kita jaga. Kalau kita lagi ngumpul seolah-olah kita ini seperti sekumpulan pelawak. Memang ada hal yang kita sampaikan ya serius cuman ya dengan cara bercanda,” kata Ipunk.
Pria bernama lengkap Purwadji Susanto itu menjelaskan resep langgengnya Power Metal karena prinsip keterbukaan yang mereka terapkan dalam band. Mulai dari pembuatan lagu, hingga manggung selalu diobrolkan. Tidak lupa, selalu mengevaluasi atas apa saja yang telah dikerjakan bersama-sama.
Meskipun begitu, para personil ini jarang ketemu secara langsung selain acara panggung. Mereka terpisah jarak yang lumayan jauh satu sama lain. Ipunk berdomisili di Pati dan Baba di Gresik. Sedangkan Ecko (drummer) di Surabaya, Morin (keyboardist) di Kendari, dan Bais (vocalist) di Medan.
Patut diacungi jempol memang, mereka mampu mengelola sebuah band hanya bergantung pada grup WhatsApp sebagai media berkomunikasi. Hmmm, tidak seperti kebanyakan keluhan band pada umumnya ya yang menuding jarang ketemu adalah pemicu bubarnya band.
“Sekarang media berkarya udah banyak. Handphone aja, bikin salah satu lagu dengan lagu gini pakai akustik direkam pakai handphone. Lalu disusun di komputer, juga liriknya, semua bisa di WA grup. Saat ketemu baru kita matangkan,” terang Ipunk.
Kembali guyon, Baba mengatakan bahwa chemistry mudah dibangun karena mereka semua adalah ‘sahabat beras’, alias sama-sama suka makan.
Melanjutkan, saya meminta tanggapan Ipunk tentang banyak warga facebook dari sebuah forum pecinta musik rock yang bilang bahwa musik rock di Indonesia telah mati. Berbeda dari anggapan itu, Menurut Ipunk, musik rock tidak mati. Bahkan, pelakunya di zaman sekarang justru lebih banyak dengan turunan aliran musik yang semakin beragam.
“Tapi sebetulnya kalau melihat kuantitasnya jauh lebih banyak sekarang daripada dulu, dan memang kompetitif. Ya kan akhirnya semakin banyak, kalau dulu ada rock and roll, glam rock, classic dan lain-lain. Lalu berkembang lagi ada heavy metal, speed metal, black metal, death metal dan lain-lain. Dan masing-masing genre itu punya banyak grup. Jadi bukan mati, tapi wadahnya jarang ada,” katanya.
Menurut Ipunk, kalau memang dirasa rock telah mati, maka dapat dibangkitkan dengan cara memberikan dukungan penuh untuk para musisi rock.
“Saya cuma berharap kepada semua penikmat musik rock itu menghargai para musisi Indonesia, artinya kalau ada event ya nonton dengan membeli tiket, kalau ada karya ya beli CD, kalau streaming jangan bajakan. Dengan begitu ikut memelihara bahwa grup ini hidup dari situ,” pungkasnya. (*/)