
Kiki Pea, Nuran Wibisono, dan Purnawan Setyo Adi duduk bersama memperbincangkan tentang jurnalisme hari ini yang tidak bisa lepas dari berbagai tantangan. Dari mulai menjadi jurnalis musik yang harus mencari job side hingga minimnya diskursus musik.
FROYONION.COM - Sebelum pelaksanaan Cherrypop Festival pada Sabtu-Minggu, 19-20 Agustus 2023, pihak penyelenggara mengadakan berbagai macam agenda. Salah satunya adalah Di Balik Panggung Cherrypop: Road to Cherrypop 2023 dengan mengadakan diskusi yang mengangkat judul Jurnalisme & Swasembada Musik.
Acara ini diadakan di Downtown Diner, Yogyakarta pada Sabtu, 05 Agustus 2023 sore hari dengan mendatangkan pria yang akrab disapa Kiki Pea sebagai moderator, Nuran Wibisono selaku jurnalis musik, dan Purnawan Setyo Adi yang bekerja sebagai Redaktur Pelaksana Mojok.co. Ketiganya memang terbilang dekat dengan jagad permusikan.
Setelah diawali dengan cerita Nuran dan Purnawan bisa terjun ke jurnalisme musik, di mana ringkasnya mereka menulis musik berangkat dari pengalaman personal, Kiki Pea memantik obrolan bagaimana melihat jurnalisme musik hari ini.
“Gue percaya jurnalisme musik nggak akan punah selama masih ada orang yang dengerin musik. Tapi kaitannya adalah jurnalisme musik hari ini tuh gimana?,” kata Kiki Pea yang ditujukan kepada Nuran pada Sabtu, 05 Agustus 2023.
BACA JUGA: PERPRES JURNALISME BERKUALITAS JADI KUBURAN BAGI PELAKU KONTEN DIGITAL DAN MEDIA INDIE
Nuran pun menjawab bahwa hari ini lanskap media jurnalisme musik telah berbeda. Ketika era dulu ada korporasi media raksasa sebut saja seperti Majalah Rolling Stone, HAI, dan Trax, tapi kini sudah tidak ada lagi media musik yang sebesar itu.
Bahkan publik saat ini tidak lagi mendapatkan informasi khususnya musik melalui institusi, melainkan melalui perorangan. Seperti misal ada podcast Ngobryls yang host-nya adalah Jimi Multazam dan Ricky Malau, lalu ada juga podcast Authenticity yang dipandu oleh Soleh Solihun, dan lain sebagainya.
“Aku bisa bilang jurnalisme musik sekarang masih hidup tapi bentuknya berbeda. Makanya format jurnalisme musik hari ini bukan melulu lewat teks tapi melalui platform video,” kata Nuran Wibisono pada Sabtu, 05 Agustus 2023.
Jurnalis Tirto.id itu juga mengatakan bahwa menjadi jurnalis musik hari ini perlu mencari job side. Lantaran pekerjaan menjadi jurnalis musik tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya sandaran untuk mencari uang.
“Ngomongin menjadi jurnalis musik emang harus didasari semangat senang-senang, bukan hanya berorientasi kepada mencari uang. Karena sekarang udah nggak massanya,” imbuh Nuran.
Purnawan Setyo Adi atau yang akrab disapa Ipang juga turut mengamini pernyataan Nuran. Bahwa sangat susah untuk seseorang bisa menggantungkan hidupnya menjadi jurnalisme musik. Karena hal ini berkaitan dengan disrupsi media.
Cuma bagi Ipang, adanya disrupsi media ini justru bisa menjadi peluang sekaligus tantangan. Karena ketika dulu orang bisa diakui menjadi jurnalis musik ketika bisa terunggah ke media media, tetapi sekarang orang bisa menulis musik di blogspot ataupun media sosial yang banyak orang bisa membacanya. Pun berhubung media besar sudah tidak menguasai, media-media alternatif bisa mengambil kesempatan itu.
“Tapi memang tantangannya itu ada pada konsistensi. Dan bener kata Nuran harus menjadi jurnalis musik harus didasari senang-senang,” ujar Ipang pada Sabtu, 05 Agustus 2023.
Selain konsistensi, tantangan lain yang disampaikan Ipang ada pada kualitas tulisan. Karena bagi redaktur pelaksana di Mojok.co itu artikel musik yang baik dan bagus adalah tulisan yang disertai riset mendalam dan mengaitkan sisi personal.
“Beda, ya, antara yang hanya berpacu pada selembar kertas (semisal press release), dengan yang merisetnya lebih jauh lagi. Karena itu menentukan seberapa dalam tulisan yang dibuat. Kalau berpacu pada press release hanya akan jadi hard news saja, tidak lebih dari itu,” begitu imbuh Ipang.
Memang akhir-akhir ini banyak sekali tulisan musik yang menjenuhkan karena para penulisnya terpaku kepada press release yang disebar. Selain itu membuat artikel musik di satu media dengan yang lainnya tidak jauh berbeda.
Bergeser ke Nuran, perihal fenomena press release itu sebenarnya bisa dikaitkan dengan minimnya diskursus soal musik di ruang publik. Bahkan sekalinya ada saja biasanya heboh walau pada akhirnya hilang begitu saja.
“Diskursus musik semakin jarang, tapi sekalinya muncul heboh. Jadi ibaratnya di sebuah kota nggak ada konser terus tiba-tiba Noah ingin menggelar konser di situ pasti akan heboh. Itu yang terjadi pada kritik musik,” imbuh Nuran.
Omongan Nuran itu dapat dibuktikan dengan memberikan beberapa contoh, seperti halnya saat banyaknya acara musik yang batal, Delpi Dongker Nyaleg, Lagu “Polisi Yang Baik Hati” dari Slank, bahkan yang baru-baru ini kasus Aris Setiawan yang menulis di Pop Hari Ini dengan judul Ketika Kritik Musik Merambah Media Sosial, dan lain sebagainya.
“Jadi diskursus soal musik itu kemewahan tersendiri atau ketika ada ramai-ramai soal musik itu maka bersyukurlah,” tutup Nuran. (*/)