Soundtrack atau musik latar tidak hanya berperan sebagai pemanis suatu film, serial, hingga video game. Ada peran lebih besar yang sering tidak kalian sadari.
FROYONION.COM – Musik telah menjadi salah satu aspek penting dalam pembuatan film, tapi seringnya kurang dihargai. Misalnya pada karya musik berupa soundtrack dalam film.
Jurnal akademis Music Perception pada 2001 menunjukkan bahwa soundtrack film tidak sekedar memperkuat dampak emosional suatu adegan, tapi juga membantu kita dalam mengingatnya lebih detail.
Kita mungkin tidak mengingat semua karakter dan adegan dalam film Harry Potter, misalnya. Tapi, musik latarnya yang ikonik akan selalu mengingatkan kita pada dunia magis di sekolah sihir Hogwarts.
BACA JUGA: RAISSA RAMADHANI PERSEMBAHKAN LAGU 'LAURA' SEBAGAI SOUNDTRACK FILM ‘LAURA’
Soundtrack sendiri memiliki “cara kerja” yang berbeda dengan lagu atau komposisi. Sebuah musik pop akan dapat kita nikmati sendiri, tapi soundtrack itu berbeda.
Musik latar menjadi bagian dari keseluruhan yang lebih besar. Ia bekerja sama dengan beberapa elemen lain seperti akting, sinematografi hingga penyuntingan.
Hubungan timbal balik antara musik dan aspek film lainnya itulah yang menentukan efektivitas dari sebuah musik film.
Bisa dibilang, musik latar telah menjelma sebagai bahasa dan menjadi cara lain dalam menyampaikan makna pada penontonnya.
Beberapa bahkan meyakini bahwa film sebenarnya adalah perpanjangan tangan dari musik latar, bukan sebaliknya.
Cara paling mendasar dari bentuk adaptasi soundtrack ke narasi film ialah pertunjukan opera. Dalam bentuk seni ini, seorang komposer akan menggunakan leitmotif atau tema musik yang muncul kembali di seluruh karya dalam menggambarkan karakter yang bergerak melalui cerita.
BACA JUGA: SINGLE ‘BERAKHIR DI AKU’ OLEH IDGITAF BAKAL JADI SOUNDTRACK ‘HOME SWEET LOAN’
Jika ada dua karakter yang sedang merasakan jatuh cinta, misalnya, leitmotif akan bergabung menjadi satu.
Jika salah satu karakter dalam opera tersebut mengalami perubahan drastis, hal ini juga akan tercermin pada musiknya.
Leitmotif tidak selalu dikaitkan dengan orang, bisa juga pada lokasi hingga pemikiran abstrak.
Film Synecdoche, New York karya Charlie Kaufman pada 2008 adalah contoh yang memiliki leitmotif utama terkait konsep kematian.
Musik yang ada dimainkan secara konsisten pada keseluruhan film ketika tokoh utamanya mencapai titik terendah.
Terdiri dari empat nada yang terus menurun secara samar seperti suara orang mengetuk pintu, musik ini memperkuat ketidakmampuan sang tokoh dalam berlari lebih cepat dari apa yang paling ia takuti.
BACA JUGA: LEITMOTIF, PERAN SUARA YANG BISA HADIRKAN CERITA DAN MEMBANGUN SUASANA DALAM FILM
Peran soundtrack dalam film ini tidak sekedar mencerminkan suasana film, namun juga ceritanya.
Sang tokoh utama dikisahkan memiliki gangguan mental dan hal ini tergambar dalam instrumen yang dimainkan dengan frekuensi meningkat tanpa ritme, persis gambaran seseorang dengan gangguan kecemasan.
Contoh lain dapat kita lihat pada film rilisan 2005 berjudul Goodbye, Lenin!.
Disutradarai Wolfgang Becker, film ini berfokus pada remaja pemberontak asal Berlin bernama Alex Kerner yang harus merawat ibunya yang sakit pasca runtuhnya Tembok Berlin pada 1989.
Sepanjang film, Kerner dikisahkan terus menerus melompat maju mundur antara dua dunia berbeda: dunia luar dan dunia di dalam kamar tidur ibunya.
Satunya adalah masa depan, satunya lagi masa lalu. Satunya adalah kapitalisme, satunya lagi sosialisme.
Satunya adalah Pepsi dan Burger King, satunya lagi apartemen bobrok berisi foto-foto Stalin.
Perbedaan antara kedua dunia ini tergambar dari musik latarnya yang ditulis Yann Tiersen.
Suara-suara Berlin masa kini dibuat ramai dan enerjik dengan alat musik tiup logam serta gesek yang bekerja sama dalam harmoni, layaknya anggota masyarakat kapitalis.
Sementara bagian dunia lainnya digambarkan dengan musik yang pelan, muram serta lebih sentimental.
Melodinya sedih, indah dan mencerminkan hubungan rumit Kerner dengan pemerintah tempat ia dibesarkan.
Salah satu sineas yang cukup unik dalam memperlakukan soundtrack untuk film-fimnya adalah Andrei Tarkovsky. Sineas Rusia ini diketahui sangat mengagumi karya-karya Johann Sebastian Bach.
Tarkovsky tidak menggunakan musik Bach untuk memperkuat dampak emosi dalam adegan-adegannya.
Sebaliknya, ia menggunakannya untuk memanfaatkan makna Bach sebagai tokoh yang penting dalam sejarah budaya Barat serta menciptakan efek musikal sinematik tertentu.
Di awal karir Tarkovsky sebagai pembuat film, ia membuat sendiri musik untuk film-filmnya menggunakan orkestra.
Musiknya dikomposisi Vyacheslav Ovchinnikov yang terkenal karena menulis musik untuk adaptasi Soviet novel Tolstoy berjudul War and Peace.
Kemudian, sang sutradara berhenti menganggap musik sebagai lapisan di atas rekamannya dan mencari cara memasukkan suara secara organik ke dalam film itu sendiri.
Tarkovsky menggabungkan isyarat visual serta audio guna menciptakan ritme sinematik menyeluruh.
Sineas Rusia tersebut merasa musik akan paling dapat diterima dalam film saat digunakan seperti refrain dalam puisi.
Penonton akan terbawa dalam pengalaman mereka ketika memasuki dunia puitis film sekaligus materi tersebut dialami sebagai hal baru, namun tetap menjadi bagian dari keseluruhan memori awal.
Makin banyak Tarkovsky belajar seputar musik, makin eksperimental pula seleranya.
Ovchinnikov diganti dengan Edward Artemyev, komposer lain asal Rusia yang mengkhususkan diri pada musik elektronik.
Suara halus serta anorganik Artemyev kemudian menjadi latar belakang yang pas untuk film Solaris karya Tarkovsky, film dengan latar belakang stasiun luar angkasa. Musik elektronik ini kemudian tidak terbatas hanya pada fiksi ilmiah.
Tarkovsky berulang kali menggunakan musik latar mekanis dalam film-film selanjutnya seperti The Mirror dan Stalker.
Ia lalu menemukan ada sesuatu dalam genre ini yang melengkapi gaya pembuatan film secara unik dan puitis.
Bahkan di masa ketika film yang beredar masih merupakan film bisu, teater seringkali menyewa orkestra untuk memainkan musik yang mengiringi aksi film.
Tujuannya sama dengan komposer masa kini, yaitu menciptakan suara guna meningkatkan emosi yang terekspresikan dalam gambar.
Terkadang, keberadaan musik ini bahkan lebih baik dalam hal meningkatkan emosi daripada sutradara. (*/)